Satu abad lalu, tepatnya pada 16 Rajab 1344 H, sebuah organisasi keagamaan terbesar di dunia lahir. Dengan semangat kebangkitan serta perlawanan terhadap kedzaliman dan penindasan, para kyai bersatu padu membentuk jami’iyah yang diberi nama Nahdlatul Ulama. Semangat melawan kedzaliman penjajah senantiasa dikobarkan oleh para kyai hingga berujung pada fatwa resolusi jihad yang dicetuskan oleh hadratus syaikh KH. Hasyim Asy’ari.
Semangat itulah yang ditularkan kepada para santri-santri NU sehingga ikut berjuang dan peduli terhadap kondisi sosial yang menimpa masyarakatnya. Nahdlatul Ulama sebagai jam’iyyah yang lahir dari rahim pesantren dan masyarakat pinggiran mampu menjelma menjadi kekuatan sosio kultural terbesar hingga memasuki abad kedua. Meski begitu, hingga sekarang masih banyak masyarakat pinggiran serta kaum marjinal yang berasal dari Nahdlatul Ulama luput dari perhatian elite maupun politisinya.
Semangat digdaya pada abad kedua yang tertulis dalam slogan “Mendigdayakan Nahdlatul Ulama Menjemput Abad Kedua Menuju Kebangkitan Baru” agaknya kurang berkelindan dengan konsep besar yang ditawarkan para elitenya ketika puncak resepsi satu abad NU di Sidoarjo. Jika kita menilik aspek historis NU yang lahir dengan semangat persatuan melawan segala bentuk kedzaliman, seyogyanya ada tawaran konsep yang sama menuju abad kedua yang semakin digdaya.
Baca juga:
- Refleksi Menyambut Satu Abad NU: Perbedaan adalah Rahmat
- Akar Kemunduran Peran Ulama
- Antara Derap Berkemajuan dan Merawat Jagat Membangun Peradaban
Jemaah NU berjumlah kurang lebih 90 juta orang tak semuanya hidup dalam kesejahteraan. Apalagi masih banyak di antara mereka yang hidup dalam belenggu keberingasan penguasa. Lantas, apakah konsep berkah dan syukur dalam pidato ketua umum PBNU dapat mereka maknai dengan tepat? Sedangkan mereka berada dalam kondisi termarjinalkan oleh negara. Agaknya berkah dan syukur masih menjadi hipotesa samar dalam kehidupan mereka yang serba terpinggirkan.
Dengan demikian, slogan “Mendigdayakan Nahdlatul Ulama Menjemput Abad Kedua Menuju Kebangkitan Baru” tak selaras dengan konsep pidato ketum PBNU yang belum mengakomodir konsep kemaslahatan dan pengangkatan derajat hidup nahdliyyin dan nahdliyyaat.
Benarkah Digdaya?
Jemaah di basis-basis NU seperti Jawa Timur dan Jawa Tengah masih banyak yang hidup di bawah garis kemiskinan. Menilik data dari GoodStats, Jawa Timur dan Jawa Tengah menduduki peringkat satu dan tiga provinsi dengan jumlah penduduk miskin terbanyak. Lantas, apakah mereka masih menerima konsep berkah dan syukur? sedangkan hal tersebut masih ilusi jika tak diimbangi peta jalan yang jelas dari para pemangku kebijakan di level elite.
Nahdliyyin dan nahdliyyaat di pesisir utara Jawa pun hidup dalam kerentanan akibat krisis iklim. Pekalongan dan Demak bisa menjadi contoh bagaimana masyarakatnya mengalami analogi “sudah jatuh tertimpa air laut”. Bagaimana tidak, mereka kaum mustadh’afin yang mengaku sebagai warga NU hidup dalam kerentanan level tinggi, tetapi masih tidak mendapat lirikan dari elite pemangku kebijakannya.
Baca juga:
Warga Pakel dan Kendeng yang tanahnya dirampas oleh korporasi eksploitatif juga mengaku warga NU. Namun lagi-lagi, tak ada keberpihakan dan langkah-langkah strategis dari elite terhadap situasi yang mereka hadapi. Jika kita menilik Wadas, ada poster besar bergambar Rais Akbar NU KH. Hasyim Asy’ari dengan dawuh “Petani adalah Penolong Negeri”. Namun, jika kita berpikir, siapakah penolong petani? Apalagi mereka mengalami kesulitan-kesulitan perampasan tanah yang dilakukan oleh negara lewat korporasi dan institusi lainnya.
Masyarakat NU yang notabene masyarakat pedesaan kebanyakan berprofesi sebagai petani. Namun, untuk mendapatkan akses pupuk dan penyewaan tanah yang murah, mereka masih harus berhadapan dengan mafia-mafia kepentingan yang tidak mengedepankan kesejahteraan. Masih banyak pula masyarakat NU yang hidup dalam keterbatasan akses pendidikan yang layak dan murah.
Nilai-nilai dan spirit perlawanan terhadap kedzaliman yang diwariskan oleh para muassis seyogyanya harus terus disuarakan oleh para elite NU. Gerakan struktutal dan kultural elite dan politisi NU harus berkelindan dengan mengakomodir kepentingan kesejahteraan para jemaah. Bukan untuk para elite, tapi untuk para jemaah, terutama mereka yang ditindas keji oleh negara.
Kesadaran untuk bangkit dan digdaya pada abad kedua tentu mesti dibarengi dengan peta jalan kesejahteraan jemaah, bukan para elite apalagi oligarki yang mengitari elite. Kedigdayaan tak bisa dimulai dari atas, tetapi harus dari bawah sebagaimana lembaran historis NU berasal.
Selamat harlah satu abad, NU. Semoga digdayamu untuk jemaah. Semoga perlawananmu atas kedzaliman dan kebodohan tuntas ila yaumil qiyamah.
Tumpulkan kritisisme NU agaknya karena pengaruh Khittah 1926 yang diputuskan ketika Muktamar 1984 di Situbondoh. Singkatnya, Khittah tersebut memberikan peran yang cukup besar terdahap depolitisasi NU itu sendiri. Potensi masalah ini setidaknya pernah disuarakan Mahbub Djunaidi ketika berkonflik ide vis a vis melawan Gus Dur di akhir 1980-an.
Namun, sejarah harusnya telah menjawab. Lewat Gus Dur sendiri, NU kembali ke panggung politik. 1998, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dilahirkan langsung dan tak terbantah oleh PBNU di Kramat Raya. Harusnya ini adalah kendaraan yang harus dioptimalkan sampai sekarang.
Faktanya, abad kedua ini dibuka dengan PBNU yang bersebrangan dengan PKB. Pertanyaan saya, untuk menggaungkan spirit politik di NU itu sendiri, agaknya yang perlu diperbaiki adalah PKB atau PBNU-nya itu sendiri?
Hal ini penting. NU harus bersuara mengenai politik. Terutama yang relevan mengenai hajat hidup Nahdliyin kebanyakan. Salah satunya, harus ada yang menjamin (harus ada partai politik yang menjamin), suara Nahdiliyin disuarakan di gedung parlemen.
Ah, harusnya ini diskusi panjang.