Pembayaran dengan menggunakan metode digital alias cashless semakin menjadi tren di masyarakat, terutama di Gen Z. Memang tidak ada yang salah dengan adanya metode pembayaran digital, tetapi apa jadinya jika metode tersebut menyebabkan penjual yang tidak lagi mau menerima pembayaran tunai?
Berdasarkan data dari Perhimpunan Bank Nasional (PERBANAS), tercatat bahwa QRIS mengalami pertumbuhan yang pesat hingga 194,06% secara tahunan pada April 2024 dengan jumlah pengguna mencapai 48, 90 juta dan jumlah merchant 31, 86 juta. Selain itu, pada bulan Agustus 2024 transaksi QRIS tumbuh 217, 33% secara tahunan dengan jumlah pengguna mencapai 52, 55 juta dan jumlah merchant 33,77 juta. Angka tersebut tentu saja termasuk besar, bukan? Tapi pertanyaannya, apa saja dampak dari pertumbuhan yang sangat pesat tersebut, terhadap perekonomian digital?
Pada artikel ini, saya akan membahas salah satu dampak yang terjadi akibat pertumbuhan angka pengguna QRIS yang sangat pesat, yaitu munculnya fenomena penjual yang hanya menerima pembayaran cashless. Penjual yang hanya menerima pembayaran digital seperti e-wallet, debit, atau QRIS semakin marak terjadi khususnya di kota-kota besar. Meskipun pembayaran menggunakan uang tunai masih menjadi pembayaran yang sah menurut undang-undang, keputusan para penjual untuk menolak pembayaran tunai menjadi perdebatan sebab tidak semua orang siap dengan peralihan pembayaran konvensional ke pembayaran digital.
Baca juga:
Dampak Penerapan Pembayaran Digital
Bagaikan dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan, dampak negatif dan dampak positif dari fenomena ini pun tidak dapat dihindari. Di satu sisi, pembayaran digital menawarkan kemudahan dan efisiensi dalam proses pembayaran. Cukup dengan memindai kode QR yang disediakan oleh penjual, transaksi dapat langsung diproses sesuai nominal yang ingin dibayarkan tanpa perlu menghitung uang kembalian. Selain itu, pembayaran digital dapat menghindari risiko adanya uang palsu, uang sobek, dan uang dicorat-coret. Pembayaran digital, utamanya menggunakan metode QRIS, juga semakin mudah diakses dengan didukung adanya berbagai macam aplikasi e-wallet, seperti OVO, GoPay, dan DANA. Aplikasi-aplikasi ini sering menawarkan diskon atau cashback yang tentunya menarik minat masyarakat untuk menggunakannya.
Dilihat dari sisi negatifnya, transaksi pembayaran digital sering mengalami masalah teknis, contohnya adanya gangguan sinyal internet, sistem yang terkadang error, atau kendala lain yang bisa membuat transaksi menjadi lebih lambat atau bahkan gagal. Selain itu, budaya cashless membuat banyak orang merasa tidak sadar ketika menggunakan uang mereka. Karena pembayarannya hanya perlu memindai kode QR, mereka tak perlu mengeluarkan uang dari dompet atau tas. Akibatnya mereka lebih mudah tergoda untuk menghabiskan uang lebih banyak.
Kebiasaan ini membuat masyarakat lebih mudah mengeluarkan uang tanpa berpikir lebih panjang sehingga menyebabkan perilaku konsumtif. Fenomena pembayaran digital atau cashless ini tidak hanya terjadi di mal-mal atau tempat-tempat “elite”, metode ini sudah menjalar ke hampir seluruh lapisan masyarakat. Contohnya saat ini sering terlihat barcode QRIS di warung makan pinggir jalan, pedagang asongan, dan UMKM. Tukang sayur di pasar pun sudah menyediakan barcode QRIS untuk metode pembayaran dagangan mereka
Namun, hal utama yang dikhawatirkan dari adanya kebijakan penjual yang hanya menerima pembayaran digital adalah mengenai aksesibilitas dalam pembayaran digital ini, khususnya bagi kelompok masyarakat yang tidak terbiasa menggunakan teknologi dalam kehidupan sehari-hari.
Perlu digarisbawahi bahwa tidak ada yang salah dengan penjual yang menyediakan opsi pembayaran digital dalam usaha mereka. Namun, yang menjadi masalah adalah kebijakan penjual yang hanya menerima pembayaran digital. Kebijakan ini tidak ramah terhadap kelompok masyarakat yang masih sangat bergantung pada pembayaran tunai. Lansia, masyarakat miskin, atau masyarakat pedesaan tidak memiliki akses bank digital atau tidak memiliki e-wallet di ponselnya. Kebijakan penjual ini membuat masyarakat yang tidak melek teknologi merasa dikucilkan.
Baca juga:
Penjual tidak boleh hanya memikirkan efisiensi dan kemudahan yang ditawarkan metode cashless. Penjual harus memikirkan aksesibilitas metode pembayaran bagi semua kalangan dengan memastikan bahwa semua kelompok masyarakat dapat membayar sesuai dengan metode yang diinginkan, baik secara tunai maupun digital.
Sikap Bijak terhadap Fenomena Cashless
Pada akhirnya, kebijakan penjual yang hanya menerima pembayaran digital ini perlu dipertimbangkan lebih lanjut. Meskipun metode pembayaran digital menawarkan berbagai kemudahan, efisiensi, bahkan keamanan, kita tidak dapat menutup mata dan mengabaikan fakta bahwa terdapat kelompok masyarakat yang tidak siap dengan pergeseran pembayaran tunai ke pembayaran digital.
Untuk menjaga keseimbangan dalam sistem pembayaran yang dapat dijangkau semua kalangan, penjual perlu menyediakan beberapa opsi pembayaran yang dapat dipilih oleh konsumen, dalam hal ini menerima pembayaran tunai. Dengan begitu penjual bisa bersikap lebih adil kepada semua kelompok masyarakat.
Sebenarnya inilah tantangan yang sedang kita hadapi: bagaimana cara agar kita tetap bisa memanfaatkan teknologi tanpa terkesan meninggalkan mereka yang belum siap terhadap perubahan ini? Tentu saja kontribusi dari pemerintah dan masyarakat dibutuhkan untuk menciptakan sistem pembayaran yang adil.
Editor: Prihandini N