Petuah lama dari Socrates, Gnothi Seauton Kai Meden Agan (kenalilah dirimu sendiri, jangan berlebihan), nampaknya masih perlu kita pahami kembali. Situasi sosial dan ekonomi yang tak dapat diprediksi, mewanti-wanti kita agar tak terjerembab ke jurang kebangkrutan.
Tulisan Kompas (26 Februari 2024) dengan judul “Kelas Menengah Indonesia Berusaha Tetap Keren Mesti Gaji Pas-Pasan” menyisipkan kisah dari beberapa orang yang berjuang untuk menghadapi hidup yang sarat dengan ketidakpastian. Tiga sampel yang berada dalam himpunan kelas menengah dalam tulisan itu, kudu cermat dan teliti menenteng uang mereka guna memenuhi kebutuhan hidup, termasuk menyoal berbusana.
Tren dan Tuntutan
Salah satu dari sampel yang ditemukan, mengeluhkan besaran gaji yang tak sesuai untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Mulai dari beban angsur kendaraan hingga rumah. Tuntutan dari luar pun muncul, sehingga mengharuskan mereka tampil nyentrik sesuai dengan gaya hidup muda-mudi kiwari.
Baca juga:
Berpakaian dengan berbagai merk, warna, dan gaya membuat pusing kepala. Berpakaian yang normal menutup lekuk-lekuk tertentu, nyatanya belum cukup bagi beberapa kalangan. Ada indeks penilaian tertentu, seperti merk, gengsi, dan bandrol harga yang melekat. Indeks tersebut punya pengaruh tertentu ketika seseorang mengenakannya.
Pernak-pernik, merk, dan fashion hadir dalam haribaan manusia kiwari. Keberadaan tanda-tanda bila calon konsumen tak mawas diri mengubah dan menyeret manusia jadi lebih konsumtif. Kumpulan tanda-tanda itu, bagi beberapa kalangan, jadi kesepakatan apakah seseorang bisa dikatakan menjadi bagian mode kiwari atau dituduh kuno.
Beberapa merk seperti Louis Vuitton, Hermes, Under Armour, Prada, atau produk elektronik seperti Samsung, IPhone, dsb, dapat dikatakan menjadi tolok ukur seseorang dapat dijuluki up to date dan memiliki kasta sosial yang tinggi.
Terselip sebuah pemaknaan secara sosilogi, ekonomi, sampai semiotik mengapa para calon pembeli dapat tergiur dengan barang-barang branded. Diktat anggitan DR. Bagong Suyanto berjudul Sosiologi Ekonomi; Kapitalisme dan Konsumsi di Era Masyarakat Post-Modernisme menyuguhkan gambaran bahwa konsumen bertingkah laku untuk menentukan gaya hidup ditentukan oleh aspek-aspek kebudayaan yang begitu padat.
Menurut Piliang (dalam Adlin (Ed,) 2006:81), sifat umum dari gaya hidup memiliki beberapa aspek; Pertama, gaya hidup sebagai sebuah pola, yaitu sesuatu yang dilakukan atau tampil secara berulang-ulang; Kedua, gaya hidup itu diproduksi massa atau pengikut sehingga tidak ada gaya hidup yang sifatnya personal; Ketiga, gaya hidup mempunyai daur hidup (life circle), artinya ada masa kelahiran, tumbuh, puncak, surut, dan mati.
Dalam Semiotik dan Dinamika Sosial dan Budaya, Benny H Hoed membeberkan maksud tanda-tanda yang semakin basah dalam haribaan manusia, menyinggung gaya hidup yang memantik, perenungan, dan penentuan dari rasionalitas setiap individu.
Gaya hidup muncul dari proses pembacaan tanda-tanda (semiosis) yang intens. Mereka tidak muncul begitu saja. Gaya hidup muncul dari produksi tanda-tanda yang didistribusikan, kemudian disepakati untuk menentukan tanda-tanda mana yang cocok atau memiliki nilai lebih tertentu. Alhasil, tanda-tanda mengenai gaya hidup, tumbuh, berkembang, silih berganti.
Manusia tidak dapat hidup sendiri, mereka membutuhkan ketersalingan antarmanusia satu dengan lainnya. Mafhum, dalam ruang sosial, terdapat pelbagai gejala sosial yang silih berganti memengaruhinya. Jean Paul Sartre mengakui objektivitas itu tak dapat dihindarkan (l’autrui). Antarindividu saling mengamati dan mengobjekkan. Syahdan, mereka saling melirik melalui penampilannya masing-masing yang sarat dengan kalimat dipengaruhi atau memengaruhi.
Gaya hidup didapatkan dari proses pengamatan. Calon konsumen mengamati pola-pola atas hidup, termasuk kumpulan tanda-tanda dalam produk. Produk-produk itu memiliki status sosial bagi siapa pun yang memiliki atau menggunakannya.
Baca juga:
Peniruan Hasrat
Kondisi demikian diakibatkan kerena mimesis. Mimesis terjadi ketika hasrat untuk membeli suatu barang ditumbuhkan dari meniru hasrat orang lain. Calon pembeli sudah tak menilik manfaat yang terkandung dari produk yang dibelinya, mereka rela menggelontorkan uang baik dari tabungan pribadi atau dengan sistem kredit untuk membeli produk yang telah digunakan massal, guna merengguh pengakuan sosial di balik tanda-tanda itu.
Menurut data Kompas, dari 102,48 juta penduduk Indonesia dengan rentang usia 17-40 tahun, sebanyak 48,49 juta orang atau 47,32% tergolong dalam kelompok calon kelas menengah. Sedangkan yang sudah menyentuh kelas menegah sebesar 20,51 persen. Dengan jumlah yang tak sedikit itu, calon kelas menengah dan menengah perlu mawas dan memperhatikan diri sendiri agar tak salah langkah mengelola keuangan akibat ikut-ikutan panjat sosial yang fana.
Gnothi Seauton Kai Meden Agan (kenalilah dirimu, jangan berlebihan), begitulah kiranya Socrates mengidentifikasikan diri sebagai jiwa. Socrates menyigi bahwa di dalam jiwa terdapat hukum tarik-menarik. Epithumia adalah hasrat untuk makan, minum, dan seks yang terletak di area perut. Thumos adalah kebanggan yang terdapat di dada. Dan rasio berada di kepala. Ketiga komponen itu saling memengaruhi jiwa manusia. Bagi Socrates, rasio adalah aspek paling pokok dari dua lainnya. Bila manusia mampu menggunakan rasio-nya untuk meredam gejolak thumos dan epithumia, manusia akan mencapai arête-nya (kondisi optimal).
Dengan mengenali diri sendiri, diharapkan kelas menengah bisa lebih bijak memilah maupun memilih hal-hal yang substansial bagi dirinya agar tak membuat tekor isi dompet, sebab etape kehidupan masih panjang, seperti mencicil rumah, tabungan hari tua, hingga biaya pendidikan.
Editor: Prihandini N