Teknologi digital saat ini memungkinka kita untuk mencari cuan dengan cara yang mudah. Uang mudah ini bisa didapatkan dari berbagai sumber, misal, honor penulis di situs berbayar, jasa desain grafis, sampai semudah spill link di Instagram Story maupun keranjang kuning Tik Tok.
E-commerce seperti Shopee, Tik Tok, dan Tokopedia saat ini memiliki metode bisnis affiliate. Tren yang sedang berkembang dalam ekonomi digital ini memungkinkan individu atau organisasi mendapatkan komisi dari penjualan produk atau layanan melalui promosi yang mereka lakukan. Misal, dengan menaruh sebuah tautan suatu produk di konten yang kita buat, kita akan mendapatkan cuan dari seberapa banyak orang yang membelinya melalui link yang kita tautkan.
Affiliate e-commerce mulanya dimainkan oleh selebgram yang memiliki banyak follower. Namun, saat ini semua orang bisa menjadi afiliator tanpa perlu memiliki jumlah follower tertentu.
Sayangnya, afiliator saat ini sudah memainkan teknik share link dengan metode spam. Bahkan di X, banyak afiliator yang membuat konten dengan hook yang menarik, menjual kisah seseorang yang sedang viral, kemudian menyempilkan link jualan secara serampangan demi mendapatkan klik.
Tapi bukan itu yang menjadi masalah utama. Tren bisnis affiliate e-commerce ini juga mendorong masyarakat untuk terus berbelanja. Dorongan konsumsi semakin meningkat hingga menjadi overconsumption. Di sisi lain, banyak orang yang secara perekonomian terbantu dengan sistem affiliate e-commerce, bahkan di antaranya content creator bergantung dengan sistem ini. Lalu bagaimana kita mesti menyikapinya?
Konsumsi atau Overkonsumsi?
Jean Baudrillard dalam Masyarakat Konsumsi menyoroti bahwa konsumsi di era modern tidak hanya tentang pemenuhan kebutuhan material, tetapi lebih tentang bagaimana barang dikonsumsi sebagai tanda atau simbol sosial. Baudrillard berpendapat bahwa masyarakat modern didorong oleh sistem tanda yang menjadikan barang sebagai representasi status, identitas, dan gaya hidup. Dalam konteks affiliate e-commerce, konsumen sering kali membeli produk bukan karena kebutuhan fungsionalnya, tetapi karena produk tersebut dihubungkan dengan makna sosial atau citra yang diinginkan.
Affiliate e-commerce mempercepat siklus overconsumption ini. Influencer dan afiliator mempromosikan produk sebagai bagian dari gaya hidup tertentu yang diidealkan. Misalnya, penggunaan produk kecantikan, gadget terbaru, atau pakaian bermerek yang diiklankan oleh para influencer sering kali dipersepsikan sebagai representasi status sosial atau keanggotaan dalam kelompok sosial tertentu. Menurut Baudrillard, ini mengarah pada konsumsi yang berlebihan karena konsumen berusaha memenuhi tuntutan sosial dan simbolik, bukan kebutuhan mendasar.
Baca juga:
- Budaya Populer dan Operasi Kuasa
- Kebenaran dan Kesadaran Palsu dalam Meme
- Personal Branding atau Usaha Mengaburkan Batas-Batas Realitas?
Promosi afiliator yang sering kali hadir melalui media sosial juga memperkuat keinginan untuk terus membeli barang-barang yang belum tentu dibutuhkan. Baudrillard menyebut fenomena ini sebagai fetisisme komoditas. Produk dipuja dan dihargai bukan karena nilainya, tetapi karena asosiasi sosialnya. Sistem afiliasi dalam e-commerce memperkuat fetisisme ini dengan menawarkan diskon, kode promosi, dan penawaran khusus yang membuat konsumen semakin terdorong untuk terus membeli.
Budaya Konsumsi
Martin J. Lee dalam Kebudayaan Konsumsi dan Komoditas berpendapat bahwa konsumen tidak hanya sekadar membeli produk, tetapi juga terlibat dalam produksi makna melalui konsumsi. Lee menyoroti bahwa barang-barang dalam masyarakat kapitalis diubah menjadi komoditas yang memiliki nilai simbolik. Dalam konteks affiliate e-commerce, produk-produk yang dipromosikan menjadi bagian dari budaya konsumsi yang lebih luas, di mana konsumen terlibat dalam upaya memperkuat identitas mereka melalui barang-barang yang mereka beli.
Budaya konsumsi kita didominasi oleh komodifikasi, di mana barang-barang tidak lagi dilihat hanya sebagai benda yang memiliki nilai guna, tetapi sebagai komoditas yang memiliki nilai simbolik. Komodifikasi ini berarti bahwa produk atau layanan yang kita konsumsi tidak hanya memenuhi kebutuhan fungsional, tetapi juga menjadi sarana untuk mengekspresikan identitas, status, dan posisi sosial seseorang.
Konsumsi bukan lagi menjadi kegiatan ekonomi semata, melainkan menjadi aktivitas sosial di mana individu dapat menunjukkan status dan gaya hidup melalui produk yang mereka beli. Lee menjelaskan bahwa komoditas tidak hanya memiliki nilai guna, tetapi juga nilai simbolik yang dikaitkan dengan identitas dan status sosial.
Kita bisa melihat bagaimana sistem kapitalisme modern memanfaatkan dorongan manusia untuk memenuhi kebutuhan sosial dan simbolik melalui konsumsi yang berlebihan. Promosi afiliasi yang terus menerus muncul di media sosial menciptakan siklus konsumsi yang sulit dihentikan, dengan terus menerus mendorong konsumen untuk membeli barang-barang baru yang terkait dengan gaya hidup yang sedang tren.
Selain itu, fenomena ini juga membawa dampak sosial dan lingkungan. Overconsumption yang dipicu oleh sistem afiliasi menghasilkan konsumsi berlebihan juga dapat menyebabkan penumpukan limbah dan eksploitasi sumber daya alam.
Lalu, bagaimana dengan masyarakat yang menggunakan ini sebagai sumber mata pencaharian?
Ekonomi Sirkular dan Mindfulness Shopping
Affiliator e-commerce memiliki peran penting dalam mempengaruhi keputusan konsumsi masyarakat, sehingga mereka juga harus lebih berkesadaran dalam mempromosikan produk. Sebagai penghubung antara produsen dan konsumen, afiliator tidak hanya bertanggung jawab untuk memaksimalkan penjualan, tetapi juga untuk mempertimbangkan dampak lingkungan dari produk yang mereka promosikan.
Produk yang ramah lingkungan dan mendukung ekonomi sirkular tidak hanya lebih baik untuk planet kita, tetapi juga memiliki nilai tambah di mata konsumen yang semakin sadar akan pentingnya keberlanjutan. Dengan mempromosikan produk yang dapat digunakan kembali atau terbuat dari bahan yang dapat didaur ulang, afiliator dapat membantu menciptakan tren konsumsi yang lebih bertanggung jawab.
Ekonomi sirkular adalah model ekonomi yang berfokus pada siklus penggunaan sumber daya yang berkelanjutan, di mana produk, material, dan sumber daya digunakan selama mungkin, dipulihkan, diperbarui, dan didaur ulang untuk meminimalkan limbah. Tujuan utamanya adalah untuk menciptakan sistem yang dapat mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan dan mengoptimalkan efisiensi sumber daya.
Selain mengedepankan produk ramah lingkungan, affiliator juga perlu menerapkan konsep mindfulness shopping dalam strategi pemasaran mereka, baik bagi diri sendiri maupun audiensnya. Mindfulness shopping berarti membantu konsumen lebih sadar dan reflektif dalam setiap keputusan pembelian, hanya membeli produk yang benar-benar dibutuhkan dan berkualitas.
Era konsumen yang semakin cerdas dan kritis terhadap dampak lingkungan sudah datang. Promosi produk yang tahan lama, dapat diperbaiki, atau terbuat dari material ramah lingkungan akan memberikan kepercayaan lebih bagi konsumen, sekaligus membantu meminimalkan jejak karbon dari konsumsi. Dengan demikian, afiliator tidak hanya membantu produsen yang berkelanjutan, tetapi juga berkontribusi pada penyelamatan lingkungan dan menciptakan tren konsumsi yang lebih bertanggung jawab dalam jangka panjang. (*)
Editor: Kukuh Basuki