Frugal Living: Bukan Hidup Hemat Biasa

Endang Sriwahyuni

2 min read

Gaya hidup hemat barangkali terdengar sudah biasa di telinga kita, terutama bagi mereka berlatar belakang ekonomi menengah ke bawah. Namun, belakangan, gaya hidup hemat menemukan nama kekiniannya, frugal living, yang menarik minat tak hanya kaum menengah ke bawah, tapi juga mereka yang ekonominya mapan.

Penerapan frugal living dipandang sebagai salah satu alternatif untuk bertahan hidup dan berhemat di dunia yang serba kapitalis dan konsumeris ini. Momen kemunculan frugal living ini cukup menarik. Pasca pandemi, perekonomian global yang jatuh mulai beringsut naik perlahan-lahan dan media sosial menjadi alat efektif untuk berjual beli. Bujuk rayu iklan membuat orang semakin mudah membuang uang. Bersamaan dengan itu, frugal living mulai digaungkan di tengah kerumunan yang sedang kalap check out keranjang.

Seorang istri yang tidak bekerja dan memiliki seorang anak pamer kemampuannya mengelola gaji suami yang hanya sebesar Rp3.500.000,00 per bulan. Ia mampu mengatur keuangannya untuk biaya bulanan, membayar kontrakan, membeli bahan pokok makanan, listrik, wi-fi, bahkan masih cukup untuk menabung dan memenuhi kebutuhan hiburan bulanan. Dengan menerapkan gaya hidup frugal, keluarga tersebut mampu membeli mobil di tahun ketiga dan rumah KPR di tahun kelima.

Komentar pro dan kontra terhadap unggahan itu tidak dapat dibendung. Namun, yang banyak tentu komentar kontra. “Di jaman serba mahal ini, mungkin gaji tiga jutaan bisa memenuhi kebutuhan bulanan, namun untuk membeli mobil bahkan mengangsur KPR rasanya tidak mungkin!” bunyi salah satu komentar.

Gaya hidup frugal banyak dikritik lantaran tidak sesuai dengan gen Z yang merasa bahwa terlalu hemat dalam mengelola keuangan berarti tidak dapat memenuhi kebutuhan untuk menjaga kesehatan mental. Menerapkan gaya hidup frugal seakan berarti mereka harus serta-merta menahan membeli ini dan itu sebagai bentuk penghargaan terhadap diri sendiri. Ongkos untuk menghadiahi diri sendiri itu dipandang tidak urgent dan bukan prioritas. Keinginan untuk sekadar nongkrong di kafe, membeli figur anime, berlangganan Netflix, atau untuk healing ke tempat-tempat baru yang sedang hype mesti dibuang jauh-jauh ketika menerapkan hidup frugal.

Meskipun istilahnya kekinian, inti dari gaya hidup frugal ini sebenarnya bukan hal yang baru. Sepanjang sejarah, hidup hemat dilakukan karena dorongan kesulitan ekonomi, peperangan, atau bahkan bencana alam. Sebagai contoh, The Great Depression yang berlangsung di awal abad 20-an di Amerika Serikat menyebabkan kemerosotan ekonomi paling buruk dalam sejarah yang berpengaruh hingga seluruh dunia. Hal ini memaksa orang-orang untuk hidup dalam keprihatinan. Di akhir tahun 2020, pandemi juga melumpuhkan perekonomian hampir seluruh negara di dunia, dan, sekali lagi, orang-orang dituntut hemat agar dapat bertahan hidup.

Secara optimis, gaya hidup frugal bisa dipandang sebagai seni mengatur pola keuangan dan skala prioritas. Yang tidak masuk skala prioritas wajib dikesampingkan. Studi tentang hal ini segera jadi marak karena frugality dipandang memiliki korelasi yang erat dengan perkembangan ekonomi konsumen secara individu dan secara keseluruhan, serta berdampak pada sustainability hidup manusia. 

Namun, seperti hal viral yang sudah-sudah, istilah frugal living juga mengalami pergeseran makna. Kreator konten menggunakan frasa frugal living semata-mata sebagai click bait guna menarik lebih banyak viewers pada video yang dimaksudkan untuk meng-endorse barang yang dilabel diskon, berharga miring, dan sejenisnya. Alih-alih mengajak netizen untuk hidup hemat, konten seperti ini malah mendorong netizen untuk lebih konsumtif.

Selain itu, ada juga yang mempromosikan gaya hidup frugal dengan iming-iming bisa membeli mobil atau mencicil KPR. Padahal, dua hal ini bukanlah keputusan yang mudah dan harus dilakukan dengan pertimbangan yang matang dan panjang, bukan berdasar pada tips dari konten-konten di media sosial belaka. Perlu lebih dari terinspirasi gaya hidup frugal untuk memutuskan komitmen keuangan seserius itu.

Baca juga:

Gaya hidup frugal selayaknya dimaknai sebagai pola perkembangan kesadaran akan lingkungan. Semakin hari, manusia seharusnya semakin sadar tentang lingkungan. Jika dulu peperangan mengharuskan kita untuk hidup hemat, kini kita harus hidup hemat agar sumber daya yang kita punya tidak terbuang percuma. Jadi, frugal living bukan hanya karena faktor ingin berhemat di level individu atau keluarga, tetapi juga karena kesadaran akan pentingnya kehidupan berkesinambungan yang layak untuk semua makhluk hidup.

Untuk itu, frugal living perlu dibarengi dengan pola pikir ekosentris yang menempatkan alam dan ekosistem sebagai pusat perhatian. Dengan begitu, segala tindakan atau pengambilan keputusan manusia dilakukan dengan mempertimbangkan keseimbangan ekosistem dan kesejahteraan semua makhluk hidup. Tanggung jawab itu diemban oleh semua orang, termasuk para kreator konten. Konten yang dibuat bukan hanya menekankan pentingnya berhemat dan mencapai kestabilan finansial, tetapi juga harus meningkatkan kesadaran netizen tentang isu lingkungan.

Saya menilai, masyarakat memerlukan banyak konten edukatif mengenai minimalisme. Minimalisme ini mencakup soal bagaimana mengurangi konsumsi yang berlebihan, membelanjakan uang dengan berkesadaran, melakukan 3R (reduce, reuse, recycle), membeli barang karena benar-benar butuh, mengembangkan teknologi dan program-program berkesinambungan, serta menghemat sumber daya alam.

Frugal living sebagai gaya hidup selayaknya dipahami bukan untuk menghemat keuangan saja, tetapi juga bentuk kontribusi bagi kehidupan yang seimbang dan layak untuk kita dan anak-cucu kita di masa-masa mendatang.

 

Editor: Emma Amelia

Endang Sriwahyuni

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email