Kapan terakhir kali kita benar-benar merasakan kesenangan yang hadir secara otonom dalam diri kita? Apakah saat bergantung dan berharap kesenangan kita didapatkan saat mendapatkan “Maxwin” dari Zeus di situs judi online? Ataukah saat kita mengajak kencan orang tercinta kita untuk menikmati suasana asri Bandung dengan berlibur ke Ciwidey, Pangalengan, atau Lembang seperti kebanyakan orang lainnya? Atau saat kita bermain Mobile Legend atau Call of Duty lalu setelah bosan dengan game tersebut, kemudian kita melanjutkan kebosanan dengan menonton serial Netflix dengan genre romance atau maraton One Piece karena tidak mau tertinggal Mugiwara Pirates dalam aksi-aksinya dan petualangannya?
Mencari kesenangan memanglah sangat erat kaitannya dengan kebahagiaan, entah itu dalam bentuk kebahagiaan fisik ataupun kebahagiaan materialistik, termasuk salah satunya dengan liburan. Sebab dengan liburan manusia membebaskan diri dari kewajiban rutinitasnya dan memberikan ruang untuk dirinya keluar dari rasa penat. Oleh karenanya, menjelang Natal dan Tahun Baru yang penuh dengan sukacita dan identik dengan liburan, masyarakat urban dari golongan mana pun entah pekerja, pelajar, atau sang empunya bisnis berbondong-bondong rela menghabiskan uang dari separuh gajinya, menghabiskan waktunya dengan macet-macetan, atau menghabiskan waktu dan uangnya untuk menelusuri tempat-tempat atau barang-barang yang menawarkan promo murah akhir tahun yang terpampang disebarkan oleh iklan.
Dari hal tersebut, tampak bahwa sebenarnya liburan dalam budaya modern seolah-olah menjadi hal yang menyenangkan setelah melakukan aktivitas yang telah membuat penat, namun sebenarnya persoalan tersebut merupakan akumulasi kapitalisme yang telah mendominasi pengaturan waktu. Persoalan waktu luang manusia modern sudah terkolonialisasi oleh sistem yang dibentuk oleh budaya industri kapitalisme dengan cara mengkomodifikasi kesenangan dengan hanya memikirkan aspek affluence atau kelimpahan pada pemuasan dirinya saja.
Komodifikasi Kesenangan
Dalam teori hegemoni Gramsci dijelaskan bahwa alat yang digunakan kapitalisme untuk menaklukkan dan mendominasi kelas sosial yang ditindas dengan memainkan industri budaya lewat pengaruh ideologinya bahwa standarisasi dapat diproduksi melalui reproduksi kesenangan yang menguntungkan mereka saja (Ibrahim, 1997). Hal ini tergambar pada industri budaya saat ini yang mendukung sikap komersialisme dan konsumerisme yang dibarengi dengan keuntungan kapitalis saja.
Sebagai contoh, telah banyak perilaku dekadensi masyarakat saat ini ketika hendak membeli barang hanya untuk pemuas kesenangan dirinya bukan pada kebutuhan yang sebenarnya, sehingga membuat dirinya terjebak dalam perilaku konsumtif dan hedonis semata yang pasif, seperti misal ketika tren iPhone yang hanya hitungan bulan terus berkembang, masyarakat akan bertindak konsumtif. Ketika dirinya masih mempunyai iPhone 12 Pro Max, namun pasar yang dibuat para kapitalis sudah banyak menawarkan dan menjual iPhone 13 Pro, maka terkadang lebih memilih untuk mengganti dengan keluaran baru, ketimbang mempertahankan yang masih bisa digunakan atau ketika masih mempunyai iPhone 14 Plus yang masih terbilang keluaran baru, namun mendengar bahwa iPhone telah merilis yang lebih baru, yakni iPhone 15 Pro dengan iming-iming bahwa layar OLED-nya seluas 6,1 inci serta ditambah performa chip Apple A17 Pro dengan opsi penyimpanan yang lebih besar, maka otomatis Masyarakat saat ini akan bekerja keras demi gaji untuk membeli iPhone 15 Pro dengan alasan sebagai selfreward dari hasil penat melakukan pekerjaan.
Sejalan dengan contoh kasus tersebut, Max Horkheimer yang terkenal sebagai tokoh awal mazhab Frankfurt melakukan kritik terhadap industri budaya yang demikian, menurutnya kapitalis telah berhasil memuluskan kebutuhan perusahaan dengan menjadikan masyarakat sebagai komoditi yang bisa diperjualbelikan, sehingga mereka dapat meraup keuntungan. Lebih jauh, kritik Horkheimer mengarah pada industri budaya modern. Istilah modern sering dikaitkan dengan menuju tren baru atau meninggalkan tren yang lama demi sebuah kesenangan.
Dalam konsep masyarakat modern, pemahaman modernitas dilihat hanya yang tampak secara fisik saja, semisal seseorang dianggap modern ketika ia bekerja di kantor dengan gedung yang menjulang tinggi dan tinggal di perumahan elite dengan pengawasan satpam dan CCTV yang ketat. Mungkin anggapan orang luar Bandung ketika pertama kali datang ke Bandung akan takjub oleh keindahan Bandung, namun sayang mereka kurang lama untuk mengamati Bandung yang penuh dengan kawasan kumuh yang dalam strata sosial dapat digolongkan ke dalam masyarakat kurang mampu. Jika melihat data Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Bandung dalam tiga tahun terakhir angka kemiskinan di Bandung masih berada pada angka 4,25 persen pada tahun 2022 dan bisa dibilang saat ini masih jauh dari target untuk menekan angka kemiskinan di 2023 yang menargetkan 3,14 persen. Hal ini bagi Horkheimer berarti bahwa proyek perumahan elite yang didesain untuk mengeksklusifkan individu sebagai sebuah unit yang membuat lebih patuh kepada kekuasaan absolut kapitalisme (Horkheimer, 2014).
Masyarakat modern dalam industri budaya hanya dilihat sebagai modal untuk melenggangkan akumulasi kekayaan kapitalis saja. Masyarakat hanya dijadikan objek sebagai modal dalam bentuk pekerja serta konsumen. Industri budaya semacam ini pun menjadi ideologi kapitalis dalam mendominasi manusia untuk dijadikan seragam agar patuh pada sistem yang telah mereka bentuk. Sistem yang demikian, tidak memungkinkan bagi masyarakat untuk berpikir secara kritis. Industri budaya saat ini dibentuk melalui proses komodifikasi budaya yang terletak dalam pengidentifikasian dengan sebuah kesenangan yang dihasilkan oleh nilai komoditi yang di mana komoditi tersebut ialah masyarakat itu sendiri.
Komodifikasi yang telah dihasilkan oleh industri budaya saat ini telah berhasil menciptakan kesenangan palsu dari arti kebahagiaan di sekitar masyarakat yang sengaja ditanamkan oleh paham kapitalisme. Kapitalis dengan peranan modalnya secara tidak langsung telah berhasil menghegemoni pandangan masyarakat terhadap budaya saat ini untuk menikmati kesenangan semu. Jenis kapitalisme yang telah dimodifikasi ini membuat konsumennya bersedia untuk membeli dan mengonsumsi industri budaya dengan alasan kesenangan, padahal ia tenggelam dalam keterasingan karena tidak memiliki kesadaran yang utuh. Lebih parahnya, kebanyakan masyarakat saat ini kesulitan dalam melepaskan diri dari arus kapitalisme yang diproduksi atas nama industri budaya hingga tidak bisa menentukan waktu luang untuk bersikap kritis (Ardana, 2018).
Hubungan waktu luang dan industri budaya juga dipertegas dalam argumen sahabat Max Horkheimer, yakni Theodor Adorno yang menjelaskan bahwa waktu luang sebagai bagian dari ekspansi kapitalisme (Adorno & Bernstein, 2005). Istilah industri budaya sendiri memang pertama kali muncul dalam buku Dialectic of Englightnment karya mereka berdua. Waktu luang dalam pandangan Adorno telah menjadi komoditas yang diperjualbelikan. Waktu luang masyarakat saat ini telah terinfeksi dengan keseragaman dengan suatu kesepakatan bahwa waktu luang harus digunakan untuk mencari kesenangan, sehingga menghilangkan keautentikan setiap individu dalam mengisi waktu luangnya.
Dalam industri budaya kapitalisme, manusia telah dituntun untuk abai terhadap orang lain dan terus mencari pemuasan pada dirinya saja, sehingga sangat jarang budaya ini menuntut untuk melihat lingkungan sosialnya secara kritis. Hasrat individual seperti ini tidak menyentuh persoalan kesadaran manusia yang merenungi dirinya, akan tetapi mendorong manusia untuk mempunyai hak menguasai dan memiliki. Sehingga, manusia akhirnya terpental dalam dimensi subjek pasif yang tak lagi mampu melakukan refleksi kritis, dan hanya bertindak berdasarkan kepentingan individualnya untuk mencapai kesenangan. (*)