Siapa bisa menebak nasib? Siapa bisa mengetahui jalannya sejarah? Tak ada yang tahu. Jagad semesta menyimpan misteri sejak awal penciptaan. Tetapi selalu ada tanda-tanda. Semacam peringatan dini yang samar, agar kita waspada.
(Iksaka Banu, 2017)
Menulis fiksi sejarah membutuhkan riset mendalam. Para penulis fiksi sejarah mengumpulkan data secara cermat dan mungkin juga melakukan komparasi data. Mereka kemudian mengolah data itu, menggabungkannya dengan daya kreasi dan imajinasi untuk merekonstruksi sejarah dalam perspektif fiksi. Sebab, bagaimanapun, ada pameo bahwa sejarah diciptakan oleh penguasa. Melalui fiksi sejarah, para penulis bersuara dari sudut pandang yang berbeda.
Baca juga:
Salah satu penulis fiksi sejarah yang saya baca karya-karyanya adalah Iksaka Banu. Iksaka Banu dikenal sebagai penulis fiksi sejarah bertema masa kolonial. Novel solonya, Sang Raja, terbit pada tahun 2017. Novel itu berkisah tentang Nitisemito, pemilik rokok kretek cap Bal Tiga. Pada zaman bumiputra dianggap warga kelas tiga, Nitisemito hadir sebagai anomali. Ia menjadi bumiputra yang memiliki pabrik rokok besar dan mempekerjakan ribuan karyawan.
Rasina merupakan novel terbaru Iksaka Banu. Novel ini diterbitkan pada Maret 2023. Rasina berkisah tentang Jan Aldemaar Staalhart dan Joost Borstveld, sepasang petugas hukum. Rasina menjadi salah satu korban sekaligus saksi banyak hal penting.
Novel Pangeran dari Timur ditulis bersama sahabatnya, Kurnia Effendi. Buku ini terbit pada Februari 2020. Pangeran dari Timur memiliki dua plot. Satu plot berupa kisah hidup Raden Saleh, sedangkan satu plot yang lain berkisah tentang Syamsudin yang menularkan minatnya terhadap lukisan Raden Saleh kepada Ratna Juwita.
Selain novel, Iksaka Banu juga menulis tiga kumpulan cerpen (kumcer). Semua untuk Hindia terbit pertama kali pada 2014. Buku berisi tiga belas cerita pendek ini telah dialihbahasakan dan meraih Kusala Sastra Khatulistiwa 2014. Dua cerpen di dalamnya, Mawar di Kanal Macan dan Semua untuk Hindia terpilih sebagai cerpen terbaik versi Pena Kencana.
Ratu Sekop merupakan kumpulan cerpen kedua karya Iksaka Banu. Buku ini terbit pada 2017 dan memuat tiga belas cerita pendek. Kumpulan cerpennya yang ketiga, Teh dan Pengkhianat, juga meraih penghargaan Kusala Sastra Khatulistiwa. Teh dan Pengkhianat juga mendapat penghargaan dari Badan Bahasa pada tahun 2019.
Karya-karya Iksaka Banu menarik untuk dipelajari. Pola penceritaan Sang Raja dan Rasina hampir sama dengan Pangeran dari Timur. Bagian yang hampir sama tersebut adalah penceritaan yang berselang-seling.
Pola berkisah berselang-seling ini sebenarnya bukan hal baru. Pada Entrok karya Okky Madasari, misalnya, pola ini juga digunakan. Buku terbitan Gramedia Pustaka Utama ini menggunakan sudut pandang Marni dan Rahayu. Keduanya dikisahkan berselang-seling secara dinamis dan menarik.
Pangeran dari Timur memang memiliki dua plot sehingga kisahnya dituliskan berselang-seling. Sementara itu, pada novel Sang Raja terdapat dua orang yang berkisah tentang Nitisemito. Pada Rasina, satu plot tentang Jan Aldemaar Staalhart dan Joost Borstveld, lalu diselingi buku harian Hendriek Cornelis Adam, kakek Staalhart, yang terkait dengan kasus yang dihadapi Staalhart dan Joost.
Pada Pangeran dari Timur, perubahan plot ditandai dengan judul bab berupa tahun—karena dua plot itu berbeda 100 tahun. Kemudian, Sang Raja menggunakan penanda dalam kurung yang menjelaskan bagian itu diceritakan oleh Filip atau Wirosoeseno. Pada Rasina, bagian Staalhart dan Joost ditandai dengan judul yang didominasi keterangan tempat, sedangkan bagian buku harian diberi penjelasan dari buku harian.
Dengan adanya double plot semacam itu, para penulis fiksi sejarah pastinya menghabiskan waktu cukup lama untuk melakukan riset. Dalam praktiknya, riset sejarah yang dilakukan para penulis fiksi sejarah bisa digunakan dalam banyak tulisan. Hal itu juga saya temukan dalam karya Iksaka Banu.
Di halaman 69 novel Pangeran dari Timur, kedua penulis menyampaikan empat cara yang digunakan untuk mengakhiri perang berlarut-larut. Keempat cara itu antara lain membuat benteng di setiap tempat yang berhasil dikuasai, membolehkan para bangsawan menyewakan tanah mereka kepada pemodal Belanda, menghindari dampak aksi militer yang kejam terhadap rakyat jelata, dan memecah pengikut Dipanegara lewat pembagian kekuasaan serta jaminan hidup mewah. Pembaca akan mendapat gambaran jelas tentang keempat hal ini dalam cerpen Teh dan Pengkhianat yang terdapat dalam kumcer berjudul sama.
Di halaman 70 novel Pangeran dari Timur, dituliskan pembelotan Sentot atau Alibasah Sentot Prawirodirjo. Di Teh dan Pengkhianat, peristiwa ini muncul di halaman 40 seperti tampak pada kutipan berikut.
Memang. Akibat kondisi keuangan yang memburuk, ditambah para petani yang sudah bosan diajak perang, dan pajak pasar yang tidak bisa lagi dikutip oleh pasukannya, Sentot bersama 500 orang tentara andalannya mendatangi markas kami. Jenderal De Kock sendiri yang menyambutnya. Ia diberi pangkat letnan kolonel, diberi gaji tetap, dan diperbolehkan memimpin pasukannya sendiri.
Demikian juga pada novel Rasina. Buku harian Hendriek Cornelis Adam sudah ada di cerpen Kalabaka. Sesuai dengan penjelasan Iksaka Banu, novel ini memang pengembangan cerpen tersebut.
Sebagai buah pemikiran, karya sastra juga mencerminkan pandangan penulis terhadap isu yang diangkatnya. Melalui fiksi sejarah, Iksaka Banu menuliskan pandangannya terkait pentingnya mempelajari sejarah.
Hasil penelusuran talkshow, pemberitaan, review, dan artikel jurnal penelitian terkait mempertegas hal ini. Iksaka Banu berpendapat hal yang terjadi pada masa kini sebenarnya juga pernah terjadi di masa lalu. Dengan mempelajari sejarah, kita dihindarkan dari kesalahan atau dampak negatif yang sama.
Hal itu dimunculkan Iksaka Banu melalui dialog antar tokoh. Misalnya, pada dialog Ratna Juwita dalam Pangeran dari Timur halaman 60.
Nah, Syam, persis. Itulah yang kutakutkan. Seperti yang kutulis, kita perlu bercermin pada pola gerakan di Rusia beberapa tahun lalu, yang sekadar menghasilkan putsch, lalu tidak tahu hendak beranjak ke mana selain pecah menjadi perang saudara ….
Sebenarnya tidak hanya itu saja. Pembicaraan tentang radicale concentratie, perang raya, juga diskusi pergerakan yang dilakukan Syam dan Ratna itu menjadi beberapa pesan yang diselipkan terkait pandangan Pak Banu tentang pentingnya belajar sejarah.
Baca juga:
Kekhasan lain dari tulisan Iksaka Banu adalah sebagian besar kisah menggunakan sudut pandang tokoh orang Belanda. Padahal, harus diakui, sebagian besar masyarakat kita punya luka hati mendalam terhadap masa penjajahan Belanda. Mengangkat cerita dari sudut pandang orang Belanda membuat kita mengetahui bahwa Iksaka Banu memiliki pandangan yang khas tentang kemanusiaan. Ia berbicara tentang sifat manusia yang tak hitam-putih saja.
Demikianlah; memang tidak ada orang yang sepenuhnya baik ataupun jahat. Seperti kutipan di awal tulisan ini, tidak ada seorang pun yang bisa menebak nasib. Hal buruk bisa saja terjadi di suatu masa, tapi kita punya pilihan belajar dari masa lalu untuk masa depan yang lebih baik. Bukan malah memperparah keadaan, misalnya dengan mereka-reka sejarah demi kepentingan tertentu.
Editor: Emma Amelia