Sarinah: Pergerakan Perempuan dalam Kacamata Sukarno

Michelle Jacob

2 min read

Walaupun dikenal sebagai tokoh yang kerap mengencani banyak perempuan, Sukarno nyatanya memiliki gagasan yang cemerlang mengenai pergerakan perempuan. Gagasannya tersebut dituangkan dalam karya berjudul Sarinah: Kewajiban Wanita dalam Perjuangan Republik Indonesia. Dalam tulisan ini, Sukarno mencoba memahami perempuan sebagai kaum pergerakan yang hendak mewujudkan kemerdekaan Indonesia.

Walaupun sebutan “Sarinah” diambil dari nama seorang pengasuh Sukarno saat kecil, ia tidak terbatas pada sosok personal. Sebaliknya, “Sarinah” merupakan ide feminis yang bertujuan untuk mewujudkan sosialisme Indonesia. “Sarinah” mencerminkan perempuan Indonesia kebanyakan yang masih mengalami pembelengguan oleh struktur sosial patriarki lama dan bentuk-bentuk eksploitasi.

Baca juga:

Sukarno membagi pergerakan perempuan dalam tiga tingkatan, yaitu tingkatan keperempuanan, pergerakan feminis, dan pergerakan sosialis. Tiga tingkatan pergerakan perempuan ini harus dipahami sebagai suatu perkembangan dari pergulatan perempuan yang hendak menciptakan tatanan sosial yang setara dan berkeadilan.

Tingkatan Keperempuanan

Tingkatan pertama ini adalah kondisi ketika perempuan mulai melakukan penyempurnaan  diri ke arah “keperempuanan”. Misalnya, mempercantik diri, belajar memasak, mengurus rumah tangga, serta berbagai keterampilan seni, seperti menjahit dan menari. Perempuan berupaya agar cakap melakukan hal-hal tersebut.

Dalam tingkatan ini, berkembang pola berpikir perempuan yang jika ia tidak bisa memiliki elemen-elemen keperempuanan dalam diri, ia merasa inferior. Bagi perempuan yang masih ada pada tingkatan ini, penyempurnaan diri ke arah “keperempuanan” dianggap akan mendatangkan kenyamanan dalam kehidupannya sebagai perempuan.

Lalu, apakah tingkatan ini masih relevan untuk terus dipraktikkan? Faktanya, tingkatan keperempuanan ini sebenarnya hanya memberi perempuan rasa aman dan nyaman yang semu. Penyempurnaan diri ke arah “keperempuanan” ini hanya mampu dipraktikkan oleh perempuan kelas atas saja. Sementara itu, perempuan kelas bawah tidak dapat mempraktikkannya karena masih mengalami eksploitasi ekonomi. Seperti yang dikutip Sukarno dari Henriette Roland Host, pada hakikatnya, tingkatan ini “buat memikat laki-laki” semata.

Tingkatan ini tidak dapat mendorong perempuan ke arah perubahan sosial yang sesuai harapan. Tingkatan ini hanya melanggengkan struktur patriarki yang tidak terkendali akibat kesadaran perempuan yang masih terbatas dan apolitis. Dengan kata lain, tingkatan ini menyangga struktur patriarki lebih kokoh. Dalam struktur patriarki ini, laki-laki bertindak sebagai tuan yang memilih perempuan “sempurna” sebagai objek kepemilikan.

Selain itu, munculnya sekolah-sekolah untuk perempuan hanya bertujuan melatih, menciptakan, dan melahirkan perempuan “sempurna” untuk sekadar menjadi pendamping hidup laki-laki. Hal ini menempatkan posisi perempuan sama halnya dengan barang atau jasa yang dapat dibeli, dimiliki, dan diperlakukan semaunya.

Untungnya, tingkatan ini akan hanya berlangsung sementara apabila terjadi peningkatan kesadaran dan intelektualitas perempuan. Sebab, semangat utama pergerakan perempuan adalah mewujudkan kondisi ketika perempuan memiliki hak serta kedudukan yang setara dengan laki-laki.

Pergerakan Feminis

Seiring dengan peningkatan kesadaran dan intelektualitas, perempuan mulai memiliki kesadaran feminisme. Menurut Sukarno, pada tingkatan ini perempuan mulai menentang diperlakukan sebagai objek kepemilikan layaknya boneka di pasar. Kemudian, perempuan memperjuangkan relasi yang seimbang, serta posisi dan hak yang sama dengan laki laki. Pada tingkatan ini pula revolusi pergerakan perempuan terjadi melampaui tingkat pertama.

Berbeda dari tingkatan pertama, tingkatan kedua ini merupakan gebrakan perubahan pemikiran. Perempuan mulai kritis akan posisinya yang subordinat serta menuntut hak setara dengan laki-laki melalui berbagai upaya.

Sama halnya dengan tingkatan pertama, tingkatan ini juga memiliki titik kekurangan. Gerakan perempuan untuk menuntut kesetaraan hak dengan laki-laki lagi-lagi hanya mampu menjaring perempuan kelas atas saja. Nasib perempuan kelas bawah tidak serta-merta berubah ketika kesetaraan hak dengan laki-laki itu dicapai.

Yang terpenting bagi perempuan kelas bawah tidak sekedar kesetaraan hak dengan laki-laki, tetapi juga kesetaraan ekonomi. Kapitalisme yang bertautan dengan patriarki adalah mimpi buruk bagi perempuan kelas bawah. Kondisi material ini selanjutnya mendorong lahirnya tingkatan ketiga dalam pergerakan perempuan, yaitu pergerakan sosialis.

Pergerakan Sosialis

Pada tingkatan ini, perempuan tidak berada dalam hubungan yang antagonistik dengan laki-laki. Bersama-sama dengan laki-laki, perempuan membangun hubungan kooperatif untuk menciptakan struktur sosial yang tidak sekedar menekankan pada kesetaraan hak dan posisi, melainkan juga keadilan ekonomi.

Dalam dunia yang hendak diwujudkan itu, laki-laki dan perempuan bisa hidup berdampingan dengan posisi setara. Fokus perjuangan tidak lagi berupa perongrongan kekuasaan laki-laki, tetapi terhadap struktur ekonomi dan politik yang menindas. Maka dari itu, hubungan kooperatif antara perempuan dan laki-laki hendak mengupayakan tatanan sosialisme Indonesia sehingga tercipta struktur kesejahteraan yang melayani perempuan maupun laki-laki.

Baca juga:

Sarinah memang masih banyak kurangnya kalau dibandingkan dengan ide dan gerakan feminis yang lebih baru. Namun, posisinya tetap penting sebagai bukti bahwa feminisme pernah eksis secara bermakna di Indonesia sebelum perkembangan wacana dan praktiknya terputus di era Orde Baru.

 

Editor: Emma Amelia

Michelle Jacob

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email