Pernyataan bahwa kepemilikan utang mampu memberi motivasi untuk bekerja secara lebih kreatif dan inovatif terdengar komikal di tengah kondisi perekonomian yang semakin tidak pasti.
Kapitalisme bisa dikatakan sebagai induk masalah manusia masa kini. Modal kerja yang dibentuk alam untuk memproduksi komoditi yang semakin bervariasi, menyebabkan manusia membabi buta memangkas seluruh sumber daya alam. Keuntungan yang diperoleh dari eksploitasi alam digunakan untuk meningkatkan dan ekspansi kinerja agar mendatangkan keuntungan yang semakin besar.
Seseorang yang menikmati berbagai macam komoditas ikut disistematisasi oleh pasar agar terus membeli, memperoleh, dan menikmati komoditi tersebut. Terkadang seseorang dipancing oleh konten-konten flexing yang menuntut perubahan hidup secara radikal. Akibatnya, manusia sering menjebakkan dirinya sendiri dalam siklus utang-piutang.
Dahulu kita bisa melihat bahwa platform pinjaman online tidak mampu berkembang dengan pesat. Namun, kini peningkatan konsumsi akibat pengaruh kapitalisme membuat pijaman online semakin berkembang. Kondisi ini diperparah dengan minimnya edukasi tentang pentingnya manajemen keuangan dan hierarki kebutuhan dasar manusia. Adanya utang menyebabkan seseorang harus membayarnya sehingga ia terasing ke dalam siklus kerja tanpa kenal waktu untuk menyadari keadaan yang menindasnya.
Alienasi Manusia
Manusia tidak hanya teralienasi dari produk yang mereka ciptakan, tetapi juga dari kehidupan di luar waktu kerja mereka. Alienasi ini terjadi ketika seseorang terjebak dalam siklus utang. Ketidakmampuan membatasi diri membuat seseorang menjadi budak dari hasrat konsumsinya sendiri dengan berutang. Konversi naif keinginan menjadi kebutuhan membuat manusia terjebak dalam perbudakan modern.
Baca juga:
Psikologis manusia yang cenderung bahagia ketika memperoleh uang membuat mereka tidak memiliki pertimbangan baik ketika menerima uang dari hasil mengutang. Terdapat dua perbedaan fundamental dalam diri seseorang ketika berurusan dengan utang. Pertama, beberapa orang tidak merasa senang dengan perjanjian terikat yang mengharuskan mereka membayar segelintir uang sebagai bunga. Kedua, beberapa orang secara sukarela membayar segelintir uang sebagai bunga atas pinjaman telah diterima untuk membiayai konsumsi yang tidak terkendali.
Perasaan senang dan tidak senang tersebut menjadi kunci untuk melepaskan diri atau menghindar dari siklus utang-piutang. Manusia sudah cukup teralienasi dari aktivitas produksi yang terus-menerus merusak eksistensi mereka sebagai makhluk berkehendak bebas. Kehendak bebas tersebut pada dasarnya menginstruksikan manusia untuk berekspresi dan melakukan apa yang menurut mereka baik.
Kehendak bebas ini tidak dapat dikonstruksikan oleh orang lain atau otoritas tertentu. Ia memiliki nilai yang fundamental dan memuat seluruh data kehidupan secara mental sehingga membentuk citra seseorang. Akan tetapi, kehendak bebas dapat ditekan dan dihancurkan dengan cara yang seragam. Ketika kita berbicara tentang kehendak bebas di dalam ekonomi, tentu saja utang-piutang menjadi salah satu cara untuk menekan manusia dari eksistensi dan menyebabkan mereka teralienasi, seperti yang dicetuskan oleh Karl Marx.
Akhirnya utang-piutang menjadi salah satu cara yang efektif untuk melanggengkan penindasan dan hegemoni kapitalisme. Utang-piutang menyebabkan seseorang terus menekan orang lain agar mampu memenuhi kewajibannya sebagai debitur. Kewajiban ini tidak dapat dijadikan dasar yang relevan bagi seseorang untuk meningkatkan kreativitas dan inovasi.
Utang-piutang cenderung menekan manusia ke dalam sistem perbudakan untuk terus menghasilkan pundi-pundi rupiah. Perbudakan dilakukan lewat kerja di dalam tubuh dan ototitas kapitalisme pasar. Keadaan ini tidak hanya melepaskan manusia dari kehendak bebasnya, tetapi juga menimbulkan kesenjangan sosial apabila penumpukan hutang terus terjadi. Akhirnya manusia tidak mampu menolong dirinya sendiri dari ketertindasan dan alienasi.
Pertolongan datang dari otoritas tertinggi atau industri yang memberikan sejumlah uang untuk menutup himpitan utang. Sebagai gantinya, orang yang berutang harus bekerja tanpa jeda waktu. Tentu saja ini menjadi strategi yang cukup baik untuk membangun perbudakan modern tanpa harus melakukan penyiksaan secara fisik.
Romantisisasi Utang
Strategi alienasi manusia dengan hutang-piutang semakin efektif ketika ia merasakan euforia yang tidak logis dan ekonomis. Siklus kerja tanpa batas menjadi lumrah karena manusia harus menghasilkan nilai tukar untuk menebus kebebasan yang telah tergadaikan. Kemudahan kredit, pinjaman online, dan paylater menyebabkan batasan logis manusia menjadi bias akibat ketidakmampuan mengendalikan diri.
Tidak jarang kita melihat seseorang membeli produk atas pertimbangan gengsi dibandingkan manfaatnya. Utang yang dikatakan dapat meningkatkan kreativitas dan inovasi seseorang dilegitimasi tanpa memperhatikan banyaknya fenomena sosial destruktif yang timbul. Banyaknya orang yang terjerat masalah hukum akibat tidak mampu membayar utang sepatutnya dijadikan pelajaran berharga. Upaya “gali lubang-tutup lubang” untuk mengatasi permasalahan pembayaran menjadi lumrah di masyarakat kita, bahkan dunia.
Kreativitas dan inovasi timbul bukan karena seseorang mampu membuat terobosan, melainkan sebatas memberikan stimulus bagi naluri manusia yang tidak mau terjebak suatu masalah dalam waktu yang lama. Naluri itu baik jika berkonotasi pada peralihan daya hidup menuju fase yang lebih baik. Namun, naluri itu akan buruk ketika berkonotasi dan dikaitkan dengan konteks utang-piutang. Manusia cenderung mengorbankan orang di sekitarnya agar terlepas dari jeratan utang, tidak jarang mereka akan kembali berutang untuk menutupi utang lainnya.
Beberapa tindakan di atas menjadi umum pada era modern dan diterima begitu saja di masyarakat. Romantisisasi utang akan berimplikasi pada cara pandang seseorang. Gengsi, tren busana, teknologi, dan kekuasaan merupakan faktor-faktor yang menyebabkan seseorang lumrah melegitimasi utang sebagai gaya hidup.
Seseorang yang tidak mampu mengendalikan pembentukan kognisi yang keliru oleh masyarakat akan menjadikan kepemilikan material sebagai dasar melihat taraf status sosial. Artinya, untuk mendapat status sosial yang lebih tinggi, mereka rela berutang demi mendapatkan keinginan yang akan dikonversi menjadi kebutuhan. Risiko paling nyata adalah, pengabaian siklus utang akan menjebak manusia ke dalam jurang alienasi modern dan perbudakan 5.0.
Masalah yang Masih Berlanjut
Masalah utang dan sekelumit dinamika manusia mewarnai cakrawala kesenjangan sosial. Kita harus membatasi diri pada beberapa hal yang kita minati untuk menjaga kesadaran. Kesadaran yang tidak terkendali adalah faktor penyebab kegagalan pemikiran kritis seseorang. Kita butuh aktualisasi diri untuk mengetahui apa yang kita butuhkan.
Masalah utang-piutang masih akan terus ada ketika seseorang tidak memperhatikan sudut pandang lain dalam pendekatan praktis perekonomian. Kultus keuangan tanpa analisis yang baik akan merusak cara pandang seseorang dalam menilai fungsi penting akumulasi uang dan utang-piutang. Romantisisasi utang tidak boleh dilanggengkan. Utang akan merusak kemandirian seseorang untuk berekspresi. Kita harus terbebas dari belenggu fetisisme uang.