Sesudah pulang dari Solo, ibu dan nenek mengira saya ikut demo untuk protes harga BBM yang naik. Saya katakan, “tidak, Solo belum ada,” setahu saya memang para aktivis banyak yang masih konsolidasi.
Selepas itu ibu dan nenek nyeletuk satu pertanyaan yang cukup pesimistis. Kira-kira begini, “kalau sudah demo, terus mau apa?” Dua-duanya mengatakan pada dua waktu yang berbeda dengan nada yang serupa.
Saya berusaha maklum dan memahami. Pernyataan dan sikap itu mungkin karena mereka berdua merasakan lebih banyak kenaikan BBM. Dari era Presiden Soeharto sampai Jokowi, terhitung sudah belasan kali BBM naik.
Demo dan Sikap Pesimis
Kesimpulan yang ditarik keduanya cukup realistis, mau demo sesering apa pun, sepengalaman mereka, jarang menghasilkan kabar baik. Buktinya, ketika masyarakat demo di depan gedung DPR, para pejabat itu justru nampak bahagia di dalam gedung. Tak ada simpati dan rasa prihatin dalam diri mereka.
Seperti yang baru-baru ini terjadi. Para pejabat di gedung DPR merayakan ulang tahun Puan Maharani ketika di luar gedung rakyat berdemo menolak kenaikan harga BBM. Pemandangan yang sangat kontras.
Saya pun merasa sikap pesimis itu setengah benar. Saya katakan itu setengah benar karena di satu sisi rakyat memang perlu demo. Kenaikan BBM sudah pasti diikuti kenaikan kebutuhan pokok lain. Hampir semua dapur keluarga terdampak. Maka wajar bila ibu dan nenek saya ikut berkomentar.
Namun satu sisi, kita juga tidak bisa lepas dari realita harga minyak dunia yang sedang naik, salah satunya akibat perang Ukraina-Rusia. Agar BBM tetap murah, tidak ada pilihan lain selain subsidi. Selama ini subsidi cukup memanjakan kita. Angka total yang dikeluarkan pemerintah sudah mencapai kurang lebih 500 triliun.
Subsidi dan Ketergantungan
Langkah subsidi sebenarnya menguntungkan secara ekonomi dan politik praktis. Secara ekonomi beban masyarakat tidak terlalu berat. Subsidi BBM turut menekan harga kebutuhan sehari-hari agar tidak naik. Terlebih ada pula keuntungan politik praktis. Langkah ‘politik subsidi’ membuat Jokowi dan pemerintahannya akan menjadi lebih populis.
Di balik keuntungan itu, ketergantungan pada pemerintah terkadang bisa menjadi bom bunuh diri. Jika satu ketika ekonomi negara anjlok, dan negara tidak bisa lagi memenuhi subsidi BBM yang selama ini dibayar, akibatnya jelas harga tiba-tiba bisa naik sampai, katakanlah 100-200 persen. Seketika pasar menjadi kacau. Harga kebutuhan pokok tidak masuk akal lagi.
Skenario terburuk ini terjadi kepada Sri Langka yang banyak memberi subsidi kebutan pokok, termasuk BBM. Namun, ketika pandemi Covid-19 menggoyahkan pemerintahan Ranil Wickremesinghe hingga tidak mampu membayar utang luar negeri, ekonomi negara terkena resesi. Akibatnya subsidi harus dicabut, rakyat langsung kalang kabut. Sri Langka inflasi dan mengalami krisis yang akut.
Tentu saja Indonesia dan Sri Langka tidak bisa dibandingkan secara telanjang. Sebab memang keadaannya jelas berbeda, perlu analisis lebih dalam jika ingin dibandingkan. Namun, poin saya sampai sini adalah kita juga harus membuka opsi lepas dari subsidi.
Bukan berarti secara tergesa-gesa pencabutan subsidi dilakukan begitu saja. Masyarakat harus terlebih dahulu mampu independen secara ekonomi agar tidak selalu bergantung pada segala macam bentuk bantuan dari pemerintah.
Baca juga:
Jika demikian, apa fungsi pemerintah? Pemerintah menjadi wasit yang menentukan aturan main dalam ekonomi dan transaksi sehari-hari. Aturan ini juga perlu misal agar harga-harga tetap terjangkau, ekonomi makro dan mikro tumbuh, distribusi sumber daya dan kekayaan juga rata, lalu kesempatan terhadap akses ekonomi juga terbuka bagi siapa pun. Singkatnya, ini berprinsip pada keadilan dan keterbukaan.
Pencabutan atau pengurangan subsidi BBM harus dibarengi dengan angka kemiskinan yang juga turun dan pendapatan masyarakat per kapita naik. Jika dicabut dalam situasi demikian, kenaikan BBM tidak akan terlalu berdampak buruk bagi keberlangsungan dapur keluarga. Peran ini juga yang harus dimainkan oleh pemerintah. Proyek besarnya adalah, upaya membuat masyarakat berdikari dalam ekonomi, lalu perlahan mengurangi ketergantungan subsidi.
Ketergantungan Energi Fosil
Di satu sisi, kita mesti mengkritik diri masyarakat sendiri. Kegelisahan BBM naik juga membuktikan satu hal: kita terlalu bergantung pada energi fosil yang suatu saat akan habis.
Pertanyaannya, jika kelangkaan BBM terjadi karena stok menipis, bencana apa yang akan terjadi? Mungkin penggambaran saya agak berlebihan, namun kenyataan bahwa kita terlalu bergantung pada energi terbatas ini juga harus disinggung.
Perlu upaya untuk lepas dari ketergantungan energi fosil, caranya dengan mengurangi emisi karbon. Secara perlahan kita juga mesti meninggalkan—atau setidaknya mengurangi—kendaraan pribadi. Lagu lama memang, sejak sepuluh tahun lalu barangkali kita masih mendiskusikan hal yang sama.
Konsekuensi dari meninggalkan kendaraan pribadi adalah, mesti ada perbaikan ekstrem transportasi umum secara masif. Harus ‘ekstrem’ karena kita tahu dan melihat dengan jelas bahwa tata kelola transportasi kita sangat buruk.
Selain fasilitas transportasi, jalur yang masih belum saling terkoneksi juga menjadi masalah. Kita masih kesulitan bepergian dari satu kecamatan ke kecamatan lain, atau dari kabupaten ke kabupaten lain tanpa kendaraan pribadi. Transportasi yang ideal mesti menjangkau kawasan yang lebih kecil—misalnya satu desa atau kompleks perumahan—hingga terhubung ke distrik yang lebih besar, seperti kota, kabupaten, bahkan provinsi.
Transportasi yang menggurita ke daerah-daerah adalah kunci agar ada orang-orang mau beralih dari kendaraan pribadi ke kendaraan umum. Ini adalah langkah-langkah klasik yang sejak dulu terus dibicarakan, namun tidak kunjung sepenuhnya direalisasikan.
Wacana besar lainnya adalah menggunakan energi terbarukan. Kita mesti mempertimbangkan secara serius upaya untuk malukan transisi ke energi terbarukan. Pilihan ini sangat logis, mengingat upaya untuk pindah ke energi terbarukan juga merupakan solusi jangka panjang untuk kualitas udara yang kita hirup—terutama di kota besar seperti Jakarta— selain juga lepas dari ketergantungan BBM.
Apakah skenario-skenario klise ini akan sepenuhnya dilakukan? Jika tidak, sekali lagi, mungkin sampai sepuluh tahun pun masalah kita akan terus seperti ini. Jangan sampai tulisan ini akan terus relevan setiap kali harga BBM naik, atau setiap kali kita membicarakan krisis energi.