Kangean merupakan timbunan sejarah yang tak pernah sempat diterjemahkan dengan jujur dan apa adanya.
Sejak bertahun lamanya, kita senantiasa hidup dalam narasi mistis soal Kangean sebagai epigon dari Madura pun masyarakat Kangean sebagai kepanjangan tangan dari Suku Madura yang berdiam di kedalaman Pulau Madura. Pemandangan ini melempar saya pada satu pemandangan yang terjadi di Amerika Serikat. Betapa Amerika cuma sekadar kepanjangan tangan dari bangsa Eropa yang menggerus penduduk lokal dan tak memberi tempat pada keragaman budaya lain, entitas, ras, dan nilai-nilai multikultural lainnya.
Baca juga:
Sejak awal, perspektif setiap orang yang lahir dan besar di Kangean dijejali satu kesimpulan besar. Kesimpulan itu bernada begini, “Kangean itu secara geografis berada di Kabupaten Sumenep dan Sumenep sendiri merupakan bagian tak terpisahkan dari Madura.” Betapa sebuah kesimpulan besar soal hajat hidup orang banyak, soal identitas dan sejarah suku-bangsa, cuma didasari oleh argumen yang berangkat dari pandangan geografis dan sepenuh-penuhnya menanggalkan aspek historis serta sosio-kultural. Sialnya lagi, nyaris semua orang yang ada di dalamnya mengamini kesimpulan dangkal itu.
Kangean Selayang Pandang: Cerita Rakyat, Adat, dan Budaya berupaya untuk menerang-jelaskan kesalahpahaman itu sekalipun memang tak demikian benderang cahaya yang dilontarkannya. Pada bagian awal buku, pembaca langsung dihadapkan pada satu ungkapan provokatif. Buku ini memang layak disebut sebagai antitesis penjelasan sejarah arus utama yang biasanya bias dan ditulis oleh orang yang tak lahir dari rahim ibu-ibu Kangean, sama sekali bukan warlok (warga lokal). Bagi saya ini penting. Bagaimana orang dapat bercerita tentang kampung yang bukan miliknya? Bagaimana orang yang berhenti di ruang tamu dapat bercerita soal keseluruhan isi rumah?
Sebagai perkenalan awal, selayang pandang namanya, Kangean merupakan pulau di timur jauh Madura. Pun demikian, ini pulau dihuni oleh berbagai suku bangsa sejak bertahun lamanya. Satu-satunya garis persamaan dari lain-lain manusia yang mendiami Kangean ialah soal statusnya sebagai “masyarakat buangan”. Mereka biasanya para korban politik raja-raja lalim yang kemudian terpaksa diasingkan atau bahkan mengasingkan diri karena memang sudah tak ada kebaikan di tanah tempat raja-raja berkuasa.
“Kita adalah orang-orang yang dibenci oleh para raja zalim, sehingga kita diusir ke tempat ini. Kita sama, kita senasib. Buat apa kita bersuku-suku? Sangat bijak kalau kita menjadi satu suku di pulau kita ini, yakni suku Kangean. Kita tetapkan pula pimpinan musyawarah sebagai kepala suku.”
Rekaman soal keberanian awal para masyarakat buangan yang menghuni Kangean di masa-masa awal merupakan provokasi yang saya maksud. Keberanian ini mesti dicatat dan diberi tempat. Soal sekelompok manusia berlainan adat-budaya yang kemudian dihantam realita soal betapa kejamnya jadi korban politik raja-raja sehingga mesti memilih jalan pengasingan di tanah tempat “hantu-hantu” bermukim. Kangean Selayang Pandang adalah catatan awal soal keberanian itu. Hal ini tentu sarat dengan kepentingan politis penulisnya soal perlunya meluruskan identitas diri sebagai masyarakat Kangean dalam sejarah yang bias dan tak berpihak. Buku ini menjelma kutu kecil yang nakal di antara belantara sejarah Kangean yang luput.
Baca juga:
Menggali Tradisi, Mengenal Rumah Sendiri
Bagian selanjutnya dari buku ini ialah tentang tradisi masyarakat Kangean dari titik paling purba hingga munculnya berbagai perangkat nilai hingga produk kebudayaan, termasuk juga soal asimilasi atau pembauran yang sifatnya demikian multikultural. Pemandangan ini lagi-lagi melemparkan saya pada sebaris kalimat di Surat Kepercayaan Gelanggang dalam angkatan sastra Revolusi Agustus yang rupanya sudah sejak lampau diterapkan oleh suku Kangean sebagai kolektif baru dengan angan-angan kebudayaan yang juga baru.
“Kebudayaan Indonesia ditetapkan oleh kesatuan berbagai-bagai rangsang suara yang disebabkan oleh suara yang dilontarkan kembali dalam bentuk suara sendiri”, demikianlah para seniman Gelanggang itu berkata-kata. Demikian pula suku Kangean mendeklarasikan ukuran nilai dan jalannya kebudayaan baru yang lebih sehat bagi setiap orang yang ada di dalamnya—sebuah energi kolektif yang sayang sekali jika harus dilewatkan.
Sebagaimana kebanyakan masyarakat adat di Indonesia. Masyarakat Kangean mula-mula demikian lekat dan dekat sekali dengan posisi alam sebagai ibu pertama bagi setiap manusia yang terbuang itu. Buku ini menerang-jelaskan posisi alam sebagai penyangga kehidupan utama dan proses adaptasi kelompok masyarakat baru bernama suku Kangean ini. Setiap orang Kangean digambarkan sebagai kolektif yang ulet dan kreatif dalam menjaga keharmonisan hubungan dengan alam untuk sepenuh-penuhnya memudahkan segala sendi kehidupan tanpa melupakan ukuran-ukuran soal kelestarian.
“Menghargai alam dengan berburu dan mengumpulkan buah kamulo, langkasa, kenari, kokap, elos, sowan, karondu, serta gadung untuk umbinya bumi. Mereka juga mulai merambah hutan dan menebang kayu untuk dijadikan bangunan tempat berlindung. Lahan pertanian ditanami palawija dan karang kiteri, sementara kawasan rawa juga digarap untuk lahan sawah.”
Paragraf di atas menerangkan sebuah pemandangan yang kemudian akrab dikenal sebagai peristiwa babat alas. Jika kita kerap mendefinisikan babat alas dalam bingkai perluasan dan ekspansi kekuasaan sebagaimana yang dilakukan oleh raja-raja terdahulu, atau babat alas yang konotasinya pada upaya ambisius negara dalam mengebut berbagai proyek pembangunan infrastuktur, babat alas versi Kangean adalah upaya mengakrabkan diri dengan alam demi terjalinnya sebuah hubungan yang romantis dan harmonis.
Selanjutnya, Kangean Selayang Pandang mengabarkan berbagai produk kebudayaan Kangean beserta kemiripannya dengan berbagai produk kebudayaan lain di sekitaran. Kemiripan produk kebudayaan tersebut senada dengan keberagaman background suku-suku awal yang menghuni Kangean. Dalam buku ini disebutkan di antaranya ialah suku Melayu, Minang, Bugis, Bajo, Mandar, Bali, Jawa, Lombok dan berbagai daerah di Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua. Sama sekali tak ada suku Madura disebutkan dalam buku ini. Baru kemudian belakangan hari terdapat jejak Madura melalui beberapa pembauran bahasa antara bahasa Kangean dengan bahasa Madura.
Beberapa bentuk produk kebudayaan benda yang tercatat dalam buku ini, misalnya, perihal arsitektur rumah masyarakat adat Kangean yang didominasi oleh rumah panggung khas Kalimantan dan Sulawesi, rumah gadang khas Minangkabau, dan rumah joglo khas Jawa. Selain itu, keberagaman produk kebudayaan Kangean juga nampak dari kesenian lokal seperti mamajir yang identik dengan pacu kerbau di Bali dan Minangkabau, pangkak identik dengan tari kecak Bali, kejung identik dengan kidung dalam kebudayaan Jawa, dan tari samman yang identik dengan tari saman Sumatra, khususnya Aceh.
Berbagai wujud kesenian lokal yang berangkat dari berbagai rangsang suara dan rangsang budaya yang berlainan ini kemudian mengalami banyak modifikasi. Ia disesuaikan dengan perangkat kebudayaan baru masyarakat Kangean, dikompromikan dengan berbagai keyakinan lokal dan kondisi alam. Berbagai adaptasi kebudayaan yang berangkat dari lain-lain kebudayaan itu kemudian menjadi budaya Kangean, dideklarasikan langsung oleh kolektif baru yang bernama suku Kangean.
Baca juga:
Di akhir, izinkan saya mengutip satu paragraf awal Surat Kepercayaan Gelanggang. “Kami adalah ahli waris yang sah dari kebudayaan dunia dan kebudayaan ini kami teruskan dengan cara kami sendiri. Kami lahir dari kalangan orang banyak dan pengertian rakyat bagi kami adalah kumpulan campur baur dari mana dunia baru yang sehat dapat dilahirkan.” Sebuah surat tendensius yang rupanya sejak bertahun lamanya sudah dipraktikkan dalam laku hidup moyang penulis, suku Kangean namanya.
Bagi saya, menjaga rumah sama dengan meluruskan identitas dalam sejarah. Buku ini, Kangean Selayang Pandang: Cerita Rakyat, Adat, dan Budaya yang ditulis oleh Musahur dan diluaskan dengan ciamik oleh Komunitas Pencinta Buku Kangean, merupakan stimulus awal untuk meluruskan identitas di tengah karut-marutnya sejarah bias soal Kangean yang sejak pendidikan dasar sudah dijejalkan di isi kepala setiap anak yang lahir di Kangean.
Kangean Selayang Pandang harus jadi buku wajib bagi setiap manusia Kangean. Sebagai pemantik awal untuk mengenal rumah sendiri, sebagai jalan awal menulis lebih banyak lagi berbagai kekayaan budaya sendiri.
Editor: Emma Amelia