stasiun terakhir
mungkinkah kita
telah sampai
di stasiun terakhir;
airmata menggantung
pada setiap papan informasi,
juga ornamen-ornamen biru;
lambaian tangan
yang bisa kita temukan
di setiap peron dan terlihat dari jauh;
jarak antara tubuh dan
keinginan-keinginan
yang terus saling
memunggungi.
tak ada kalimat yang bisa kita baca
selain selamat tinggal yang menyala
pada sepasang mata
dan gerbong-gerbong kereta
yang berhenti.
dan berhenti,
mungkinkah itu berarti
takkan ada perjalanan lagi?
–
bercermin
aku bercermin. kemudian kulihat tubuhku
berdarah. ia marah melihatku di
hadapannya. berdiri tanpa mengenakan apa-apa.
–
sepasang
sepasang kangen
duduk di linimasa;
mengusap rambut waktu
yang berdesakan di antara
gengsi-gengsi yang nangkring
di kotak kalender.
sekotak puisi menyaksikan
mereka dari atas meja;
menyusun kata
tetapi hanya
mampu ditulis
oleh tatap mata.
–
apa yang tak bisa
tak ada yang bisa
kita kembalikan
dari apa yang telah
diambil waktu.
ia hanya akan
menjadi bayang-bayang
yang saban hari
akan kita rindukan.
–
sepanjang jalan karawang
sudah lama aku mengunci
puisi di dalam lemari
dan menumpuknya bersama
aroma tubuhmu yang tercecer
di sepanjang jalan karawang
tetapi barangkali tubuhmu
adalah semua aroma
yang kucium di setiap sudut kota
kau selalu menjadi judul utama
dalam berita yang disiarkan
dengan suara kerinduan
*****
Editor: Moch Aldy MA