Monumen Keris, Akankah Membabat Habis Keragaman Budaya Sumenep?

Puzairi

2 min read

Setelah pencarian identitas kebudayaan yang cukup panjang, Kabupaten Sumenep sekarang mulai nyaman dengan branding Kota Keris. Tak heran kalau Pemerintah Sumenep terus mengerahkan berbagai cara supaya branding ini bisa dikenal oleh publik.

Monumen keris yang sedang marak dibangun dalam beberapa tahun belakangan barangkali jadi bagian dari upaya tersebut. Sebagaimana kata Jaelani dalam bukunya, Semiotika Kota: Pertarungan Ideologis di Ruang Urban (2020), kota bukanlah ruang netral. Kota adalah ruang yang dipenuhi oleh tanda-tanda dari suatu kepentingan. Pembangunan monumen-monumen keris di Sumenep ini pun tak luput dari kepentingan akan signifikansi identitas Kota Keris agar makin mengakar dalam kehidupan masyarakat.

Baca juga:

Dalam beberapa tahun belakangan saja, saya lupa tepatnya, setidaknya ada empat monumen keris yang berhasil dibangun pemerintah. Keempat monumen itu tersebar di segala penjuru kota yang dianggap sebagai ruang publik strategis, mulai dari pintu masuk kawasan kota, pusat perbelanjaan, hingga pusat pendidikan.

Sebenarnya, sudah banyak masyarakat Sumenep yang mengkritik ide ini. Poin-poin kritik itu menyoroti kerja pemerintah yang terlalu sibuk pada pembangunan fisik. Selain itu, mereka juga juga mempertanyakan konsistensi pemerintah terhadap gagasan Kota Keris ini dalam konteks program yang berkelanjutan.

Namun, menurut saya, keberadaan monumen ini bermasalah tidak hanya secara prinsip pembangunan, melainkan juga bermasalah secara etis. Jika kita amati secara saksama, pelan-pelan kita akan melihat bagaimana pembangunan monumen ini menjadi bagian dari upaya pemerintah dalam menciptakan metanarasi kebudayaan alias kebudayaan tunggal. Upaya inilah yang berpotensi melahirkan kekerasan simbolik pada budaya lain.

Metanarasi Kebudayaan

Monumen keris adalah simbol dari upaya pemerintah dalam membangun metanarasi kebudayaan untuk menjadikan keris sebagai representasi budaya Sumenep yang utama, bahkan satu-satunya. Menilik sejarahnya, memang ada keterkaitan erat antara Sumenep dengan keris. 

Keris merupakan produk budaya yang konon katanya lahir dan berkembang di salah satu desa di Sumenep. Namun, aspek sejarah tersebut kurang memadai untuk dijadikan alasan pemilihan keris sebagai identitas tunggal. Sebab, Sumenep merupakan daerah dengan keragaman budaya yang cukup tinggi. Tiap tempat punya ciri dan karakteristik kebudayaannya masing-masing. Keris hanya salah satu dari sekian banyak kebudayaan yang ada di Sumenep.

Kawasan perkotaan, misalnya, dulu dihiasi oleh monumen-monumen yang beragam. Ada monumen kuda terbang, tugu pelar, hingga air mancur. Keberagaman ini tentu disertai makna simboliknya masing-masing. Namun, sekarang ketiga monumen tersebut dibongkar dan ditimpa dengan ide penyeragaman budaya, yaitu monumen keris. Dari sini bisa kita lihat sedang terjadi pembangunan metanarasi kebudayaan di Sumenep, di mana pluralitas dan keragaman budaya jadi korbannya.

Pembangunan keris sebagai budaya tunggal ini secara tidak langsung juga melahirkan kekerasan simbolik terhadap budaya lain. Hal ini terjadi ketika glorifikasi berlebihan pada satu produk budaya diiringi ketidakpedulian pada pengembangan budaya lainnya.

Saat pemerintah terlalu sibuk mempromosikan keris, produk kebudayaan lain sedang diancam kepunahan. Misalnya saja budaya non fisik seperti saronen, tandak, hingga ojhung yang sekarang nasibnya ada di ujung tanduk. Masyarakat pun seakan dipaksa menerima gagasan keris sebagai budaya tunggal.

Secara semiotik, pembangunan monumen keris adalah pemaksaan atas alam bawah sadar masyarakat supaya menerima ide atau gagasan tentang Kota Keris. Setiap hari masyarakat lalu-lalang di pusat-pusat kerumunan kota, setiap hari pula mereka melihat dan menyaksikan monumen keris. Saat itulah alam bawah sadar masyarakat dipaksa menerima bahwa keris adalah bagian dari kehidupan mereka.

Padahal, banyak yang sebenarnya masih terasing dengan gagasan Kota Keris. Kalau ditanya tentang pengetahuan mereka terkait keris, hampir tidak ada yang bisa menyampaikan secara jelas mengenai korelasi kehidupan mereka dengan objek budaya ini. Alhasil, gagasan Kota Keris ini terkesan elitis dan tak menapak tanah.

Baca juga:

Ancaman terhadap Keragaman Budaya

Dari berbagai masalah yang saya urai di atas, saya jadi khawatir akan masa depan kebudayaan di Sumenep jika paradigma pembangunannya tidak diubah. Saya khawatir ide kebudayaan tunggal ini mengesampingkan perhatian pemerintah dan masyarakat terhadap pluralitas budaya di Sumenep. Padahal, seperti yang sudah saya paparkan, beberapa kebudayaan kondisinya sedang berada di ujung tanduk.

Kalau budaya yang beragam ini mulai terancam eksistensinya selagi pemerintah tak punya political will untuk melestarikan, bukan tidak mungkin keragaman budaya yang selama ini jadi kekayaan kultural daerah ujung timur pulau Madura ini juga akan punah.

 

Editor: Emma Amelia

Puzairi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email