Generasi baru masyarakat Jawa Timur penyuka musik tradisi pasti tidak asing dengan lagu-lagu berbahasa Osing seperti Tutupe Wirang, Edan Turun, Kelangan, Kanggo Riko, Lele Diwedangi, dan Nglabur Langit. Sementara itu, generasi sebelumnya pasti akrab dengan lagu Gerajagan Banyuwangi, Gelang Alit, Loro Sesigar, Ngajak Balen Maning, Semebyar, dan, tentunya, lagu Ulan Andung-Andung yang legendaris. Itu semua adalah lagu kendang kempul yang juga dikenal sebagai lagu banyuwangen.
Orang kerap mengira bahwa kendang kempul adalah varian dari campursari karena sama-sama ada nuansa musik tradisinya. Padahal, kendang kempul sama sekali bukan campursari. Dua aliran musik itu memang menggunakan bahasa daerah, tapi keduanya tumbuh dari akar yang berbeda. Campur sari lahir dari musik karawitan dengan nuansa elegan budaya elit keraton di Jawa Tengah dan Yogyakarta, sedangkan kendang kempul lahir dari gamelan Banyuwangi yang lebih egaliter dan bernuansa budaya masyarakat pesisir Jawa Timur, khususnya Banyuwangi.
Kemunculan kendang kempul hampir mirip dengan salah satu varian keroncong, yaitu stambul. Sama halnya dengan keroncong stambul yang merupakan musik pengiring seni pertunjukan sandiwara stambul, kendang kempul juga awalnya adalah musik pengiring seni pertunjukan tari Gandrung. Tari tradisional Banyuwangi ini biasanya diiringi oleh gendang (kendang), gong (kempul), gamel, triangle (kluncing), kenong (kethuk), dan biola (piyul). Sebutan musik kendang kempul merujuk ke alat musik gendang dan gong.
Baca juga: Lorong Kosong Pendengar Keroncong
Musik kendang kempul tidak berkembang di ruang kosong. Banyuwangi penuh dengan seniman kreatif. Maka dari itu, tidak mengeherankan apabila beragam musik tradisi tumbuh subur di daerah paling timur Pulau Jawa ini. Musik tradisi seperti angklung caruk, hadrah kuntulan, musik patrol, musik janger Banyuwangi, dan gamelan barong memengaruhi struktur musik kendang kempul. Kemudian, seiring dengan perkembangan zaman, masuk pula pengaruh dari musik dangdut, keroncong, dan rock yang turut memberi warna pada komposisi musik kendang kempul.
Sejak kemunculannya di era 1920-an, prototip musik kendang kempul pernah mengalami pasang-surut. Ketika Tragedi 1965, aparat menangkap beberapa seniman dari Banyuwangi yang dituduh berafiliasi dengan Partai Komunis Indonesia. Beberapa musisi seperti Muhammad Arief (pengarang lagu Genjer-Genjer) dan Indro Wilis (pengarang lagu Ulan Andung-Andung) harus merasakan menjadi tahanan politik di Malang. Huru-hara politik itu turut membuat perkembangan prototip musik kendang kempul terhenti.
Istilah kendang kempul sendiri secara spesifik baru mulai diperkenalkan pada tahun 1980-an oleh Bung Sutrisno, sang maestro kendang kempul dari Arbas Group. Lagu-lagu yang diciptakannya banyak dinyanyikan oleh penyanyi kendang kempul kala itu, salah satunya adalah penyanyi legendaris Sumiati. Joged Belambangan, Ditinggal Bakale, dan Isun Cemburu adalah beberapa lagu yang dipopulerkannya di era itu bersama almarhum Alif S. Di era ini, musik kendang kempul masih kental dengan nada pentatoniknya.
Barulah pada akhir tahun 90-an, musisi Catur Arum mentransformasikan musik kendang kempul menjadi lebih modern. Catur Arum memasukkan unsur keroncong dalam aransemen musik kendang kempulnya. Hal ini bisa diidentifikasi dari penggunaan cello keroncong yang terkadang menggantikan kendang dalam beberapa karyanya. Selain itu, Catur Arum juga memasukkan iringan gitar akustik yang cukup dominan ke aransemennya. Catur Arum menjadi pionir dalam hal menggabungkan irama alat musik tradisional bernada pentatonik yang kuat nuansa ritmiknya dengan alat musik modern yang dinamis dan lebih luas jangkauan tangga nadanya sehingga terciptalah musik kendang kempul dengan komposisi yang komplit.
Pada perkembangannya, tema lagu kendang kempul juga semakin beragam. Jika lagu-lagu kendang kempul klasik banyak mengangkat tema-tema berat seperti kondisi sosial dan filosofi budaya, lagu-lagu kendang kempul era 2000-an mengusung tema yang lebih dekat dengan anak muda seperti dinamika percintaan, permainan, dan hal-hal ringan tentang kehidupan sehari-hari. Alhasil, musik kendang kempul tidak hanya digemari oleh orang tua atau orang-orang yang akrab dengan musik tradisi saja, tetapi juga oleh generasi muda.
Baca juga: Kritik lewat Musik
Catur Arum termasuk musisi yang sangat produktif dalam berkarya. Beberapa lagu karangannya sukses di pasaran dan laris dinyanyikan oleh beberapa penyanyi pendatang baru. Pembawaannya yang kalem dan dingin sangat selaras dengan beberapa musiknya yang bertemakan tentang patah hati. Jika Jawa Tengah punya Lord Didi Kempot sebagai The Godfather of Broken Heart, maka Jawa Timur juga punya lare Osing (orang Banyuwangi) Catur Arum.
Aransemen kendang kempul yang lebih ngerock banyak dibawakan oleh OmpRock. Grup musik kendang kempul asal Temuguruh, Banyuwangi ini memasukkan gitar elektrik yang berdistorsi, keyboard, dan drum dalam lagu-lagunya. Dengan menggandeng beberapa penyanyi Banyuwangi yang populer seperti Dhany Gumintang, Rose Octavia, Cici Vania, dan Atang Arturo, Omprock menghadirkan kendang kempul dengan beat yang lebih menghentak sekaligus melodious.
Memasuki era 2010-an, nuansa dangdut sangat memengaruhi perkembangan musik kendang kempul. Gelombang baru musik koplo merasuk ke segala lini di penjuru pulau Jawa, tak terkecuali Banyuwangi. Ramai bermunculan beberapa grup musik dangdut yang menggarap dan mementaskan lagu kendang kempul versi dangdut. Uniknya, sebagian dari grup dangdut itu masih mempertahankan bunyi kluncing. Bunyi dentingan kluncing adalah tanda bahwa suatu grup musik dangdut mempunyai ruh kendang kempul Banyuwangi.
Penyanyi yang pernah meramaikan musik kendang kempul dengan musnsa dangdut ini antara lain Reny Farida, Nella Kharisma, Suliyana, Yeni Inka, Ratna Antika, dan Vita Alvia. Tidak semua penyanyi kendang kempul dangdut berasal dari Banyuwangi. Bahasa Osing yang cukup familier bagi orang Jawa membuat lagu-lagu kendang kempul mudah dipahami dan dinyanyikan oleh penyanyi-penyanyi dangdut pada umumnya. Penyanyi Via Vallen yang berasal dari Surabaya juga sering membawakan beberapa judul lagu kendang kempul seperti Lungset, Ojo Nguber Welas, dan Sing Biso.
Di luar itu, masih ada beberapa musisi kendang kempul dengan warna musik yang semakin beragam. Ada Demy yang semakin eksploratif mengembangkan musik kendang kempul dengan campuran musik reggae. Pembawaannya ketika berada di panggung nyentrik dan ada nuansa humor di dalamya. Kemudian, ada Mahesa yang mengaransemen musik kendang kempul dengan sentuhan musik pop rock. Musik Mahesa menggunakan nada diatonis yang dominan khas musik pop modern. Selanjutnya, ada Candra Banyu yang memadukan musik kendang kempul dengan riff gitar khas musik rock.
Belakangan, popularitas musik indie dengan nuansa akustik turut mendorong transformasi musik kendang kempul. Beberapa lagu kendang kempul bernuansa akustik yang hit adalah Top-topan, Welas Hang Ring Kene, Ketampel, dan Janjine. Tren ini membuka jalan bagi musik kendang kempul untuk dimainkan di kafe-kafe tempat nongkrong anak muda sekaligus menunjukkan bahwa musik kendang kempul mampu beradaptasi dengan perubahan zaman.
Baca juga:
Kemunculan dan perkembangan musik kendang kempul mewakili jiwa seni pemuda Banyuwangi yang terus bergelora. Tangga nada mungkin berubah, genre bisa dicampur-campur, dan siapa saja boleh ikut menyanyikan, tetapi musik kendang kempul tetap mempertahankan lirik berbahasa Osing. Lewat musik kendang kempul yang terus beradaptasi dengan tren-tren terkini, masyarakat Banyuwangi merawat, mengembangkan, dan memperkenalkan bahasa Osing ke seluruh dunia.
Ketahui lebih banyak tentang identitas dan tradisi:
Editor: Emma Amelia