“… Dilihat dari sudut pandang yang berbeda, Bumi adalah selingan bagi angkasa luas yang monoton.” (Goenawan Mohamad, dalam Tuhan dan Hal-Hal yang Tak Selesai [2007])
Bagi saya, puisi adalah suara kemanusiaan, adalah suara-suara cinta—sesuatu yang tak terbahasakan, mungkin “the Real” sebagaimana dimaksud Lacan, mungkin bahaya yang lekas jadi pudar sebagaimana dikatakan Chairil. Apabila puisi berkhianat pada kemanusiaan, maka ia bukanlah puisi lagi—ia adalah alat propaganda, alat pendesak, sebagaimana pernah sejarah kita alami serentang 42 sampai 45, atau mungkin juga menjelang Era 65.
Puisi memang, mungkin, tak berarti apa-apa di hadapan mortir, di hadapan darah dan kecacatan raga-jiwa permanen anak-anak Gaza. Tetapi di hadapan puisi-puisi Darwish dan Qabbani, bukankah perasaan Anda bergejolak menentang pelanggaran hak-hak primordial manusia: hak untuk hidup dengan tenang, bebas menarik-lepaskan napas tanpa debu-debu dari bebangunan runtuh?
Ya, itulah gerbang pertama memasuki diri yang “puisi”—kesediaan mendengar suara yang jauh dalam lubuk jantung kita. Maka sebab itulah, memasuki puisi berarti kesediaan memasuki lorong senyap secara “telanjang”. Anda jangan berpikir yang bukan-bukan, sebab yang saya maksud “telanjang” adalah melepaskan diri dari selaput ketidakjujuran pada diri kita.
Saya pernah membaca, Maslow bilang: pada hakikatnya manusia, secara alamiah, telah dibekali potensi-potensi positif dalam dirinya. Dalam bahasa Islam-nya, mungkin: kita-kita punya suara nurani yang lebih jernih dari suara-suara empirik di luar tubuh. Maka membuka jalan puisi, pertama-tama adalah mengaktifkan tombol “on” Sang Nurani, agar pandangan mata kita yang ringkas ini—pandangan yang kata Al-Ghazali dalam Misykat Cahaya-Cahaya-nya mudah sekali dikibuli—dapat melampaui banyak hal di balik tanda dan gejala-gejala.
Ernst Cassirer bilang bahwa manusia adalah “animal symbolicum”, binatang yang berbeda dengan binatang kebanyakan karena kelihaiannya mengerti, memberi, melekatkan, dan memainkan tanda—benda itu kita beri nama batu, benda ini kita beri nama kursi, dan benda lainnya kita beri nama secara manasuka, dan kemudian berada dalam konvensi masyarakat pemakainya. Inilah bahasa: bahan baku karya sastra, kata Wellek dan Warren dalam bukunya.
Puisi tidak berhenti pada bahasa lapis pertama: seorang penyair, tak boleh hanya melihat batu sebagai batu, tak boleh melihat kursi sekadar kursi. Terokalah apa yang ada di sebaliknya, permisalkan ia, hidupkan ia! Sekali lagi: menjadi penyair, adalah menjalankan mata yang melampaui mata, untuk dapat melihat segala yang berada setelah tanda dan gejala.
Melihat batu, Anda memikirkan kuli, kehidupan orang-orang serupa Karyamin dan perlawanan anak-anak Palestina—batu mengingatkan pada suara “tang-tang-tang” pada tubuh tank. Melihat kursi, Anda memikirkan istana, kedudukan atawa kasta, juga mungkin oligarki dan cawe-cawe jabatan akhir-akhir ini. Itu hanyalah dua dari sekian banyak misal-misal yang bisa Anda cari dan rumuskan sendiri ke depannya.
Maka ketika pandangan ini, pandangan tadi, menggumpal dan mengendap di sebatuk kepala Anda, katakanlah ia mengabstrak, maka Anda mengonkretkannya jadi tulisan-tulisan yang ringkas, bermajas dan berirama, juga seterusnya, tetapi berupaya menyampaikan sebanyak mungkin hal-hal di sekitarnya—persis seperti kata Ralph Waldo Emerson. Percobaan pertama, kedua, ketiga, atau bahkan barangkali keseratus, mungkin belum berbuah manis bagi Anda sendiri dan bagi pembaca yang lainnya—sajak tersebut, Anda anggap belum sempurna dan masih jadi puisi berwajah kekanak-kanakan: puisi sentimentil, curhatan tentang cinta monyet atau simpanse, atau entahlah kau ni ape kau ni ape yang lainnye.
Jalan puisi membentangkan pada kita berkah tatapan yang lebih tajam, juga sepaket anugerah pertimbangan yang lebih panjang dalam bertanduk dan bertindak. Seorang penyair yang telah terbiasa mengorek kata sampai ke sari-patinya, bukanlah pribadi yang gegabah dalam mengambil putusan atas banyak hal. Mata yang tajam dan pikiran yang dalam, menghindarkan orang-orang dari kedangkalan-kedangkalan perbuatan. Penyair bagi saya: mestinya seperti itu.
Saya sepakat bahwa efek puisi mungkin tak sedahsyat (rekaman) ledakan mortir yang akhir-akhir ini sering mondar-mandir di linimasa media sosial kita. Puisi juga mustahil jadi penangkal atau penjeda pendaratan rudal. Tetapi dengan setidak-tidaknya memahami dan menyelami puisi, saya pikir bisa jadi selamanya, mortir dan granat takkan pernah digunakan.
Saya ingin menutup catatan ini dengan mengutip satu bagian tulisan Goenawan Mohamad dalam buku Tuhan dan Hal-Hal yang Tak Selesai (hlm. 14):
“Memang benar: di luas alam semesta, dalam sejarah waktu, planet ini hanya sebuah kerlipan yang jauh dan terpencil. Ia berada di sebuah kosmos tempat kematian dan kehilangan nyaris bukan sesuatu yang luar biasa.
Tetapi kita hidup di Bumi, alamat kita sehari-hari. Dilihat dari sudut pandang yang berbeda, Bumi adalah selingan bagi angkasa luas yang monoton.”
Seperti Bumi yang jadi selingan bagi angkasa luas yang monoton, harus kita akui: puisi mungkin tak begitu bermakna, bagi sebagian pihak di luar kita, bagi sebagian pihak yang tak pernah mencoba berkenalan secara intim, dengan larik-dan-bait puisi. Maka demikian, sebagai hasil dari laku berpuisi pula, para penyair semestinya lebih cermat menahan diri, tidak buru-buru dan kesusu mengatai, bahwa: tak ada manusia yang selamat jika ia tak mencintai puisi. Di luar sana, banyak manusia yang tidur nyenyak, tanpa mungkin, pernah sekalipun berkenalan dengan puisi-puisi.
Juga seperti kata Dea: jangan-jangan, kita, para pelaku penulis puisi hari ini, sudah akut dijangkiti simtom waham kebesaran, alias delusion of grandeur, atas apa-apa yang telah kita kerjakan via puisi selama ini. Barangkali. Demikianlah.
*****
Editor: Moch Aldy MA