Saya masih ingat, tak lama usai Tragedi Kanjuruhan, Presiden Jokowi datang ke Malang. Pada kunjungannya itu, Jokowi berjanji akan mengusut tuntas tragedi yang menewaskan 135 orang tersebut.
Jokowi meminta tim pencari fakta independen yang diketuai oleh Menko Polhukam, Mahfud MD, agar melakukan investigasi secara mendalam dan menyeluruh. Jokowi tidak ingin ada yang ditutupi dalam pengusutan tragedi ini. Semua harus diproses secara gamblang demi keadilan, janjinya.
“Kenapa dibentuk tim pencari fakta independen? Karena kita ingin usut tuntas, tidak ada yang ditutup-tutupi, yang salah diberikan sanksi, kalau pidana sama dipidanakan.”
Namun, hingga hari ini, janji Jokowi itu seperti angin lalu. Tidak ada bekas. Masih gelap. Sepertinya hanya tinggal kenangan. Tidak ada tanda-tanda Jokowi akan mengusut Tragedi Kanjuruhan sampai tuntas.
Bahkan, ketika keluarga korban Tragedi Kanjuruhan menyuarakan keadilan pada 24 Juli lalu, Jokowi enggan menemui mereka. Kala itu, Jokowi bersama dengan Menteri Pertahanan Prabowo Subianto dan Menteri BUMN Erick Thohir melakukan kunjungan kerja ke Kabupaten Malang, Jawa Timur.
Saat kedatangan Jokowi, keluarga korban menunggu di pinggir jalan untuk menyampaikan maksud mereka ke orang nomor satu di Republik Indonesia itu. Namun, mereka diadang oleh aparat yang berjaga. Padahal, keluarga korban ini jelas-jelas bukan teroris, bukan juga orang jahat yang ingin mencelakai Jokowi. Mereka hanya ingin menuntut keadilan, menagih janji Jokowi yang katanya ingin mengusut tuntas Tragedi Kanjuruhan.
Setidaknya, ada tiga tuntutan yang ingin mereka sampaikan kepada Jokowi, yakni meminta Presiden untuk menangani kasus Tragedi Kanjuruhan hingga tuntas, mengusut laporan Model B di Polres Malang, dan menolak renovasi Stadion Kanjuruhan. Namun, gara-gara dihadang aparat, niat mereka menyampaikan itu semua jadi batal.
Keadilan jelas tak tampak dalam pengusutan Tragedi Kanjuruhan. Pengadilan Negeri Surabaya menjatuhkan vonis bebas terhadap dua terdakwa dari unsur kepolisian, plus satu orang polisi lainnya hanya divonis penjara selama 1,5 tahun. Petugas keamanan stadion dan ketua panitia pertandingan masing-masing dijatuhi vonis 1 dan 1,5 tahun penjara saja. Belakangan, Pengadilan Militer hanya menjatuhkan hukuman 4 bulan penjara kepada seorang anggota TNI yang menyerang dua penonton sepakbola saat tragedi berlangsung.
Hukuman-hukuman yang dijatuhkan kepada para terdakwa itu tidak sebanding dengan hilangnya 135 nyawa. Dalam kasus besar seperti ini, semua pihak seharusnya bersatu untuk menuntut keadilan secara bersama-sama. Pemerintah janganlah menutup mata. Jangan seolah-olah kasus ini sudah selesai saat baru segelintir pihak yang wajib bertanggung jawab telah dijatuhi hukuman—hukumannya terlalu ringan pula.
Kalau begini, tidaklah adil bagi keluarga korban Kanjuruhan yang mengharapkan para pelaku, termasuk anggota kepolisian yang menembakkan gas air mata, supaya diadili seberat-beratnya. Aksi keluarga korban Kanjuruhan untuk menemui Jokowi sudah tepat demi terciptanya keadilan di negeri ini.
Tindakan Jokowi yang tak menyempatkan menemui keluarga korban Kanjuruhan patut dikecam. Amnesty International Indonesia menilai tidak sepantasnya bagi seorang pemimpin negara untuk menolak mendengarkan suara rakyat, apalagi rakyat yang menjadi korban kesewenang-wenangan petugas keamanan saat Tragedi Kanjuruhan.
Sebagai pemimpin negara, sudah jadi kewajiban bagi Jokowi untuk mendengar tuntutan keluarga korban. Kewajiban Jokowi tidak gugur sampai situ saja, Jokowi masih punya tanggungan untuk menindaklanjuti tuntutan keluarga korban. Membiarkan aparat keamanan menghalangi aksi keluarga korban jelas tidak akan menuntaskan kedua kewajiban tersebut.
Saya menduga, Pak Presiden negara kita ini sudah abai terhadap kasus Kanjuruhan. Sebelumnya, pada sebuah acara konferensi pers di Istana Negara, Jokowi bahkan tidak mau menjawab pertanyaan dari wartawan soal Tragedi Kanjuruhan.
Ketika itu, wartawan menanyakan tanggapan Jokowi atas laporan Tim Gabungan Independen Pencari Fakta Tragedi Kanjuruhan. Tanggapan Jokowi tidak mengenakan. “Saya jawab di lain waktu,” kata Jokowi, lalu tersenyum dan berdiri untuk menyudahi konferensi pers. Tanggapan Jokowi semakin melukai hati keluarga korban Kanjuruhan yang sangat berharap Jokowi dapat menyelesaikan kasus ini dengan sebaik-baiknya, seadil-adilnya.
Merawat ingatan tentang Tragedi Kanjuruhan:
Sejauh ini, sekurangnya, Jokowi sudah dua kali mengecewakan keluarga korban Kanjuruhan. Pertama, ketika memberi jawaban yang nyeleneh di konferensi pers pada 7 Februari lalu. Kedua, saat tak mau menjumpai keluarga korban Kanjuruhan pada 24 Juli lalu.
Sikap Jokowi atas Tragedi Kanjuruhan sangat bertolak belakang dengan citra sebagai pemimpin merakyat yang sudah susah payah dibangunnya sejak awal berpolitik. Saat baru menjabat Presiden RI, Jokowi menekankan kembali citranya itu dengan janji akan mendengar suara rakyat. Dalam kasus Kanjuruhan, saya sama sekali tidak melihat Jokowi yang merakyat itu.
Jokowi seakan-akan sudah melupakan Tragedi Kanjuruhan. Dia jelas tidak memprioritaskan pengusutan kasus ini. Padahal, keluarga korban belum sepenuhnya mendapatkan keadilan.
Padahal, pemimpin yang baik adalah pemimpin yang mau mendengarkan dan melayani rakyatnya sepenuh hati, bukan malah lari dari tanggung jawab dan enggan menyelesaikan persoalan hingga tuntas. Tanggung jawab atas tragedi Kanjuruhan memang tidak langsung mengarah ke Presiden. Presiden pun tidak terlibat langsung atas peristiwa “pembantaian” pada 1 Oktober 2022 itu. Namun, Presiden punya wewenang dan kuasa untuk paling tidak mengarahkan bawahannya supaya bisa benar-benar mengusut tuntas.
Seperti yang menjadi mottonya—kerja, kerja, kerja—seharusnya Jokowi mampu menginstruksikan bawahannya, entah itu Mahfud MD atau siapa, agar bekerja secara maksimal untuk benar-benar mengusut tuntas Tragedi Kanjuruhan. Keluarga korban hanya butuh keadilan. Menjelang akhir masa jabatannya, semestinya tak sulit buat Presiden Jokowi untuk mengusut tuntas dan memberi sanksi seberat-beratnya bagi para pelaku kekerasan di Tragedi Kanjuruhan.
Editor: Emma Amelia