Beberapa pekan lalu, banjir berita tentang seorang gubernur aktif yang sibuk mempersolek diri dengan blusukan ke tempat-tempar marginal ibu kota. Tidak tanggung-tanggung, dia bahkan melakukan audiensi dengan para warga dan menelepon PJ gubernur wilayah tersebut. Ia menyampaikan pengaduan warga agar segera ditangani dan ditindaklanjuti. Tidak sedikit netizen yang mencemooh kampanye “ilegal” itu. Tindakan tersebut dinilai offside karena mencampuri rumah tangga orang lain dan mengabaikan dapur rumah sendiri yang masih berantakan. Tentu perilaku mencampuri urusan orang lain tidak bisa disebut bijak, apa pun motifnya. Terlebih dengan gaya bosy, seakan-akan sudah menjadi pimpinan dan berhak menegur bawahannya yang tidak becus mengurus wilayah yang diamanahkan kepadanya.
Sejujurnya, popularitas blusukan mulai digaungkan sejak sepuluh tahun yang lalu, seiring dengan popularitas seorang pemimpin daerah yang bisa melenggang ke kursi RI-1 dengan strategi yang sama. Nampaknya metode konvesional penuh gimik ini masih mampu menarik atensi publik.
Tentu kita tahu betul hasrat yang begitu menggebu-gebu dari seorang politisi untuk melenggang ke puncak karier kekuasaan politik Indonesia. Kiranya kursi gubernur masih dinilai kurang seksi. Dan lagi-lagi, pandangan “kalau bisa menduduki jabatan yang lebih tinggi, pasti masalah-masalah masyarakat jauh lebih mudah ditangani” masih terjual. Tidak jelas mengapa anggapan cacat logika semacam ini bisa menggejala dalam diri para pejabat kita. Rasionalnya, semakin tinggi jabatan sesorang, semakin luas cakupan wilayah dan tanggung jawabnya. Untuk mengurus wilayah yang lebih sempit saja belum bisa optimal, bagaimana hendak melenggang ke ranah yang lebih luas?
Baca juga:
Oh, baiklah. Mungkin silogisme aristotelian yang tersusun dari dua premis dan satu konklusi mulai tidak laku. Untuk apa bermain logika kalau rakyat masih bisa dibius dengan pencitraan semu? Tambahkan lagi buzzer dan penjilat berani mati yang rela menggadaikan akal sehat demi memuja idolanya. Alih-alih fokus pada adu gagasan dan ideologi, metode blusukan dan pencitraan nampak sangat menggairahkan dan terasa instan untuk meningkatkan elektabilitas.
Paradigma hilang ingatan hanya dengan citra baik dan beberapa ribu rupiah masih menjadi penyakit kronis yang memapar banyak masyarakat Indonesia. Seharusnya, puluhan janji yang diingkari oleh pemimpin negeri ini saat masih kampanye sudah lebih dari cukup untuk menyadarkan masyarakat tentang arti pentingnya memilih pemimpin yang kredibel dan penuh integritas. Jika janji dalam kampanye massal yang diikuti ribuan orang saja mereka bisa ingkar, lantas apa yang bisa diharapkan dari calon pemimpin yang menjanjikan sesuatu saat blusukan yang hanya hitungan jam? Menengok kembali wilayah blusukan saat sudah menjabat pun saya tidak yakin.
Iklan Para Politisi
Narsisme para politisi negeri ini dalam baliho dan berbagai poster-poster sudah begitu akut. Menjelang tahun pemilu, rasa-rasanya partai politik layaknya tim marketing yang habis-habisan menawarkan ‘produk’ kandidat untuk dipilih. Estetika sering tidak diindahkan. Misalnya, mereka secara membabi-buta dan sporadis menancapkan bendera-bendera partai di pinggiran jalan, bundaran, perempatan, pertigaan, dan tempat-tempat strategis lainnya. Becak, mobil, motor, bus, dan kendaraan umum tidak luput dari tempelan poster partai. Kaos sablonan dengan lambang partai atau foto calon kandidat pun dibagikan secara cuma-cuma.
Marketing is everything, everything is marketing. Pernyataan itu juga relevan dengan kondisi perpolitikan negeri ini. Nyatanya, sejauh ini pemilu tidak lebih dari sekadar ajang penawaran produk kandidat untuk meraup cuan melalui jabatan. Lebih jauh, kampanye calon politisi di negeri ini layaknya menawarkan paket bundling. Mereka menjual ‘produk diri’ disertai dengan kaos, paket sembako, dan pernah-pernik merchandise lainnya.
Koar-koar ‘diskon’ harga-harga barang pokok apabila terpilih juga menjadi sales voice untuk menarik minat masyarakat untuk memilihnya. Dalam koridor yang lebih spesifik, nampaknya pemasaran jenis ini mengalami perluasan. Calon kandidat tidak hanya berekspansi melalui media-media pemasaran tadi, tetapi terjun langsung untuk menyapa masyarakat. Terlebih strategi ini terbukti manjur dalam menarik atensi publik. Acara-acara semacam ini dibungkus dengan berbagai embel-embel yang mengesankan dekat dengan masyarakat kecil.
Padahal, jika ingin berpikir lebih rasional, tugas mereka sebagai calon pemimpin adalah mempersiapkan dan nantinya merealisasikan kebijakan pro masyarakat, bukan sekadar meninjau dan melakukan audiensi publik untuk kemudian menyiratkan bahwa mereka baru tahu permasalahan di lapangan.
Fenomena kaget dan tahu dadakan juga menjadi sajian headline berita beberapa waktu lalu. Jika pemimpin negeri ini kaget karena suatu masalah yang seharusnya menjadi tanggung jawabnya, masyarakat tentu lebih kaget lagi karena ada pejabat yang tidak tahu tugas dan tanggung jawabnya. Lagi-lagi, kiranya kita perlu mengingatkan para pemimpin negeri ini bahwa tugas mereka bukan sekadar membangun citra baik dan elektabilitas tinggi. Hal yang lebih penting adalah membina kehidupan masyarakat agar mencapai kemakmuran bersama sebagaimana yang diamanatkan oleh pembukaan UUD 1945.
Integritas, Bukan Branding
Rasa-rasanya kita semakin tidak asing dengan istilah pencitraan. Beberapa kalangan menganggap hal tersebut biasa dan lazim. Sisanya merasa alergi dangan perilaku ini. Terlebih jika istilah ini disematkan kepada seorang pejabat. Meski begitu, disadari atau tidak, kita sering melakukan pencitraan. Sekecil apa pun bentuknya. Kita sering memoles citra diri agar terkesan baik di depan atasan, rekan, keluarga, atau kolega bisnis.
Fenomena pura-pura sibuk kerja ketika ada atasan juga dapat dikategorikan sebagai pencitraan. Tujuannya tentu saja agar tidak dinilai sedang menganggur atau tidak produktif. Memang, istilah ini berkonotasi pada sesuatu yang tidak asli, artifisial, dan dibuat-buat. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika sebagian orang merasa alergi. Alih-alih sibuk mem-branding diri dengan pencitraan, blusukan, dan serangkaian strategi marketing diri lainnya, sudah seharusnya seorang kandidat pejabat memiliki integritas yang tinggi.
Baca juga:
Tentu yang dimaksud integritas di sini bukan hanya sekadar jargon kampanye. Integritas harus ditunjukkan dengan pemenuhan janji, program dan kebijakan pro rakyat, serta berani mengakui kekeliruaan. Khusus poin yang terakhir, ini adalah hal yang perlu dikembangkan oleh para pejabat kita. Melakukan kesalahan atau kekeliruaan dalam mengambil kebijakan tentu hal yang wajar. Sebagai manusia, tentu saja mereka bisa mengambil langkah yang tidak sesuai selama menjabat. Hal yang tidak layak dilakukan adalah jika mereka melakukan kekeliruan tetapi tidak mau berlapang dada mengakuinya. Alih-alih mengakuinya, mereka justru sibuk membela diri, menggerakan buzzer, dan melakukan segala cara agar citranya tidak jatuh. Toh pada akhirnya, setiap orang ada masanya dan setiap masa ada orangnya.
Adagium itulah yang perlu ditanamkan betul dalam benak calon pejabat atau mereka yang saat ini sedang menjabat. Tak perlu seseorang melakukan afiliasi citra yang dibuat-buat. Saat dia memiliki integritas dan dedikasi yang kuat demi kemajuan bangsa, sejarah tidak akan buta untuk mencatat itu semua. Sebaliknya, pencitraan yang dibuat-buat, suatu ketika akan diungkap oleh generasi yang akan datang. Saat hal itu terjadi, pencitraan dan segala kerepotan pemolesan diri yang telah dilakukan tidak ada artinya lagi, yang tersisa hanyalah pertanggungjawaban atas kebijakan yang telah dijalankan.
Editor: Prihandini N