Pram masih tak habis pikir, burung kesayangannya mati mengenaskan. Semua terjadi dengan cepat dan di luar dugaan. Pagi itu saat memandikan burung, ia melihat kucing di seberang jalan, kurus, kotor, dan mengeong-ngeong lemah seolah meminta pertolongan. Pram merasa iba. Ia lantas memancing kucing itu ke beranda rumah dengan sisa sarapan yang tak ia habiskan.
Ia merasa gembira menyaksikan kucing itu makan dengan lahap dan sesekali tersedak-sedak. Membanyangkan kucing itu hidup sebatang kara tanpa masa depan pasti, manarik pikiran Pram ke masa silam.
Sudah delapan tahun sejak kematian Rayssa, istri Pram. Bagi Pram, Rayssa adalah perempuan sempurna. Ia telaten mengurus rumah tangga, sangat cocok bagi Pram yang pemalas. Tiap pagi Rayssa sibuk mengurusi rumah tangga; mencuci pakaian, menyapu halaman, menyeterika, dan menyiapkan makanan. Sedangkan Pram hanya sibuk mengurus burung-burung peliharaan.
Rayssa tak mempersoalkan itu. Dua puluh tahun pernikahannya, mereka belum dikaruniai anak. Rayssa menganggap keberadaan burung itu bisa mengisi kekosongan di tengah-tengah keluarga mereka.
Kali waktu Pram mendapati salah satu kandang burung peliharaanya kosong. Itu membuatnya terkejut dan bersedih sepanjang hari. Rayssa tak tega melihat kondisi itu. Tanpa sepengetahuan Pram, Rayssa membeli burung yang nyaris serupa.
Siang itu, saat Pram tertidur di kursi malas beranda rumah, dengan gerak hati-hati Rayssa naik ke kursi dan menurunkan sangkar kosong. Ia lantas memindahkan burung berwarna kuning cerah dari kotak kardus ke dalam sangkar.
Burung itu melompat ke sana kemari dari satu sisi kandang ke sisi yang lain. Suara kepakannya terdengar seperti pakaian basah yang diempas-empaskan. Dengan gerak hati-hati Rayssa berusaha mengembalikan sangkar ke tempat semula. Ia berpaling ke Pram yang masih tidur dengan tenang sebelum akhirnya pergi dengan kursi plastik di tangannya.
Saat bangun Pram terkejut melihat sangkarnya terisi. Ia mengamati burung itu sebelum akhirnya dengan cepat tahu jika itu bukan burung miliknya. Namun, Pram tak peduli. Ia bahkan merasa haru dengan usaha istrinya. Melihat kemurungan telah hilang di wajah Pram, Rayssa merasa tenang.
Siang hari saat matahari mencapai puncaknya, Pram mendapati Rayssa jatuh pingsan di ruang tengah. Ia lantas membawanya ke klinik terdekat. Ruangan klinik itu berisi dua ranjang pemeriksaan. Keduanya dibatasi dengan tirai berwarna biru. Aroma obat cair khas ruang perawatan menguar di dalam ruangan. Hanya Pram dan istrinya yang berada di dalam ruangan, dokter telah pergi setelah sebelumnya memeriksa keadaan Rayssa.
Sejam berlalu hingga akhirnya Rayssa bangun dengan senyum terukir di bibirnya. Dokter bilang Rayssa kelelahan, namun menyarankan melakukan pemeriksaan lanjutan.
“Tak usah khawatir, aku hanya butuh istirahat,” ujar Rayssa kepada Pram yang tampak khawatir di sampingnya.
Pram memegang tangan Rayssa, menciumnya.
“Kamu harus pintar-pintar urus diri. Kalo aku sakit begini siapa yang akan mengurus lelaki pemalas sepertimu.”
Pram mengeratkan genggamannya lalu tersenyum.
“Aku tak khawatir, selama ada kamu di sampingku semuanya akan beres bukan? Lagipula aku juga sanggup mengurusmu.”
Rayssa membalas dengan senyum ejek.
***
Mengurus rumah tangga tidak semudah yang dipikirkan Pram sehingga banyak pekerjaan rumah terbengkalai. Rayssa mengeluhkan itu. Pram bilang itu sudah seluruh kemampuannya.
“Memang pria nggak diciptakan buat ngurus hal semacam ini,” bantah Pram sambil nyengir di hadapan istrinya.
Melihat ekspresi suaminya, muka Rayssa berubah cemberut dan mengungkit-ungkit janjinya. Pram meminta maaf, dan kembali berjanji akan mengurus rumah dengan lebih baik sambil mengangkat tangan kanan dan mengacungkan jari telunjuk serta jari tengah.
Seluruh usaha yang dikeluarkan Pram sia-sia. Baginya mengurus rumah tangga itu benar-benar pekerjaan yang tak ada habisnya. Saat membersihkan lantai, masih ada saja sisa debu yang tersisa, begitupun saat mencuci pakaian, sisa noda masih nampak di sana-sini seperti jerawat di muka orang menginjak puber.
Terlintas di pikiran Pram untuk menyewa pembantu. Itu lebih mudah. Ia masih punya banyak uang hasil penjualan warisan orangtuanya. Hasil penjualan itu mereka gunakan untuk bekal hidup. Bagi mereka uang tak bakalan dibawa mati. Mereka juga tak punya penerus yang mesti dipikirkan masa depannya. Di usia yang hampir kepala lima tentu mustahil bagi mereka mendapatkan keturunan, sehingga menjual aset warisan adalah pilihan tepat bagi mereka.
Namun, rencana menyewa pembantu tentu akan ditolak Rayssa. Bagi Rayssa mengeluarkan biaya untuk melakukan hal yang kamu bisa adalah pemborosan, tanda kemalasan, sehingga Pram mengurungkan niat.
“Dasar kamunya yang laki-laki pemalas,” memikirkan itu keluar dari mulut istrinya membuat Pram geleng-geleng ngeri.
***
Sudah seminggu Rayssa menghabiskan lebih banyak waktu di ranjang. Tubuhnya semakin menyusut. Sesakali Rayssa pergi ke dokter untuk melakukan cek kesehatan. Kerap Pram menawarkan diri mengantar Rayssa, tapi Rayssa menolak.
“Akan lebih berguna jika kamu tinggal mengurusi rumah. Lagipula pergi ke rumah sakit, tak seberat membersihkan rumah, jadi kamu tak usah khawatir. Aku masih sanggup,” kata Rayssa tersenyum.
Di tengah kondisi yang semakin buruk, Rayssa masih mengawasi Pram menyelesaikan tugas rumah tangga. Sesekali ia mengeluarkan komentar mengejek atas hasil kerja suaminya.
Meski dirasa sulit, Pram mulai belajar sedikit-demi sedikit. Ia mulai mempraktikkan saran-saran dari istrinya. Mula-mula Pram kesusahan, namun perlahan tapi pasti, ia sudah bisa mengerjakan pekerjaan rumah dengan benar.
Pram mulai paham cara mencuci piring tanpa meninggalkan lemak dan sisa busa, menyapu lantai tanpa meninggalkan debu di telapak kaki, memasak makanan yang tak kelebihan penyedap, dan mencuci pakaian tanpa menyisakan noda.
Malam itu dengan tangan memijat-mijat pundak, Pram duduk di kaki ranjang dan menceritakan keberhasilannya mengurus rumah kepada istrinya yang berbaring. Mendengar nada puas dari suaminya, Rayssa bahagia. Kendati iba, ia merasa telah meninggalkan hal berharga buat suaminya.
“Maaf aku tak bisa memberimu seseorang yang bisa membatu kita mengurus segalanya,” kata Rayssa murung.
“Kau ada di sampingku itu sudah cukup. Lihat, sekarang aku bisa mengurus rumah, kan? Jadi kau tak usah khawatir.”
Sesuatu yang berkilau mulai mendesak keluar dari mata Rayssa.
“Sini berbaring di sampingku,” pinta Rayssa.
“Perasaan kau tambah manja akhir-akhir ini,” Pram tertawa kemudian memberi pelukan hangat kepada istrinya.
Pram menyadari perubahan kondisi Rayssa yang semakin buruk, namun Rayssa beralasan itu hal wajar.
***
Matahari merangkak naik, kening Pram penuh peluh setelah sejak pagi sibuk membereskan rumah. Sembari beristirahat di teras, terdengar tawa keriangan anak-anak di kejauhan. Aroma asap dari sampah daun kering terbakar melintas di ujung hidunganya. Burung peliharaanya berkicau dan melompat-lompat. cahaya pagi muncul-lenyap di sela-sela dedaunan yang digoyang semilir angin.
Saat Pram menikmati pagi, terdengar suara “buk” di lantai. Ia berpikir sejenak, lalu seperti kesetanan ia melopat ke kamar. Jantung Pram berdebar kencang, napasnya berat, kakinya seolah tak punya kekuatan untuk berdiri saat mendapati istrinya di lantai dengan hidung mimisan. Dengan sisa tenaga yang dimiliki, Rayssa mengangkat tangan dan memegang wajah Pram kemudian tersenyum sebelum akhirnya pergi selamanya.
Pagi itu tangis Pram pecah, tubuhnya berguncang sambil mendekap istrinya. Wajah Rayssa tampak tenang seolah meninggalkan dunia tanpa beban.
Sehari setelah pemakaman, Pram tak sengaja menemukan sebuah surat yang diselipkan di bawah vas bunga di atas meja samping ranjangnya. Ia lantas duduk di lantai, melipat lutut ke dada sambil bersandar di kaki ranjang, kemudian membaca isi surat tersebut.
Kepada
suamiku Pram
Aku membuka pesan ini dengan permintaan maaf karena telah merahasiakan penyakit yang aku derita. Enam bulan lalu, Dokter bilang aku mengidap kanker, sisa umurku tak panjang lagi. Aku telah merahasiakan semua ini darimu. Kenyataan jika aku tak bisa memberimu keturunan tentu berat bagimu. Aku tak mau menambah kesedihanmu dengan penyakitku ini. Aku berharap kamu tidak bersedih dengan kepergiaanku, sebab jika tak demikian aku akan semakin merasa bersalah. Yang aku khawatirkan apakah lelaki malas sepertimu bisa mengurus diri sendiri. Namun, jika dipikir-pikir di hari terakhirku, aku menyaksikamu sudah mampu menyelesaikan pekerjaan rumah dengan benar. Aku tentu bahagia melihat itu. Aku selalu dibuat riang dengan setiap usahamu itu. Terima kasih untuk itu. Terakhir, aku ingin menyampaikan terima kasih telah menemaniku hingga saat ini, terima kasih telah menjadi suami yang baik untukku. Jaga dirimu baik-baik.
Dari Rayssa,
istri yang senantiasa menyangimu.
***
Pram bangun dari lamunan saat mendapati kucing itu menjilat-jilati piring makanan yang sudah kosong. Karena merasa iba, Pram masuk ke dalam rumah mencari makanan yang masih tersisa. Setelah mendapatkan potongan ikan, ia kembali ke teras. Dirinya terkejut saat mendapati separuh badan burungnya sudah berada di dalam mulut kucing dengan kedua kaki menyembul keluar.
Ia melihat sangkar burung sudah berpindah dari atas kursi dan tergeletak di lantai dengan pakan yang berhamburan di sekitarnya. Melihat Pram mematung di ambang pintu, kucing itu terdiam menatap balik Pram, mengeram tampak tak bersahabat lalu lari ke seberang jalan dan lenyap di bawah selokan.
Pram tak habis pikir burung kesayangannya mati mengenaskan. Semua terjadi dengan cepat dan di luar dugaan.
“Kepergian memang selalu tak disangka-sangka datangnya,” pikir Pram yang masih terpaku di ambang pintu mengenang nasib burungnya yang malang.
***
Editor: Ghufroni An’ars