Kontrabas itu dipetik pelan-pelan, kemudian brush stick dari jari seorang drummer menyambutnya. Drum dan bass bercakap-cakap untuk mengawali komposisi. Tak lama percakapan itu disambung oleh dentingan piano. Slashed chord yang kadang ditimpa nada acak pada tuts piano memberi nuansa unik.
Terdengar lembut tapi juga melompat-lompat di ruang harmoni acak, komposisi ini jadi hal yang sulit dideskripsikan. Memang sepintas terdengar seperti jazz ballad, tapi komposisi ini tak terdengar seperti ballad biasa. Tak seperti ballad ikonik dari Miles Davis atau Bill Evans, sajian ini adalah komposisi yang memancing telinga ikut melompat pada harmoni-harmoni yang tak umum.
Komposisi yang berjudul “Le Sol” itu dibawakan oleh Jérémie Ternoy Trio. Komposisi ini menjadi awal dari penampilan mereka sepanjang satu jam setengah di Auditorium IFI Jakarta. Pada 16 Juli 2023, trio jazz ini baru sampai dari Perancis, dengan Jérémie Ternoy pada piano, Nicolas Mahieux pada double bass, dan Charles-Albert Duytschaever pada drum. Mereka memukau para penonton yang sudah memenuhi pelataran IFI di Jalan Thamrin.
Baca juga:
Selama satu jam lebih mendengar komposisi Jérémie Ternoy, saya terkagum pada eksperimen dan eksplorasi bunyi yang mereka sajikan. Meski percakapan musikal trio jazz ini rasanya hanya berputar-putar dalam repetisi, seakan pada tiap komposisi, ada satu pola yang terus diulang dari awal hingga akhir. Seperti orang sedang diskusi, topik yang mereka bicarakan diulang-ulang terus, kadang bisa jauh pergi ke topik lain, tapi akhirnya mereka akan kembali lagi pada topik yang sama dan mengulanginya lagi.
Komposisi “Le Sol” yang membuka sajian mereka adalah contoh menarik dari estetika repetitif. Sebagai ballad, komposisi ini terdengar hanya memiliki struktur yang begitu pendek. Bagian utama komposisi hanya mengembangkan pola harmoni yang itu-itu saja.
Umumnya, ballad sibuk meliuk-liuk dengan modulasi atau perpindahan tangga nada yang lembut dan dinamis. Dengan bumbu-bumbu improvisasi, ballad sering menjadi arena tanding dari kecanggihan teknik improvisasi seorang musisi jazz.
Dalam album “Kind of Blue” dari Miles Davis atau beberapa ballad Dizzy Gillespie, teknik improvisasi dan lengkingan nada yang panjang begitu menonjol. Secara teknis, ballad begitu sulit dimainkan meski terdengar lirih dan lembut.
Uniknya, komposisi repetitif dalam Jérémie Ternoy Trio membuat komposisi semacam “Le Sol” tak terdengar seperti ballad jazz biasa. Apalagi dengan repetisi, komposisi minimalis, dan nada-nada yang terkesan acak, komposisi Jérémie menawarkan tafsir baru atas tradisi jazz.
Tapi, apa yang istimewa dari musik yang hanya diulang-ulang? Apakah pendengar tidak akan bosan? Apakah pemain musiknya sendiri bosan? Atau, justru ada ide-ide baru dalam estetika repetisi yang Jérémie Ternoy tawarkan?
Dari Estetika Repetitif Hingga Musik Minimalis
Sejak pertama kali mendengar komposisi pertamanya sampai terakhir, saya masuk pada permainan ulang-alik Jérémie Ternoy Trio. Komposisi Jérémie bermain-main pada repetisi, seakan ia melihat bunyi sebagai dengung dan denging yang terus berputar. Tanpa akhir, tanpa jeda.
Kadang, dengan improvisasi dari tiap-tiap personilnya, ada upaya ingin keluar dari lilitan repetisi. Improvisasi jadi semacam cara untuk mengeluarkan dirinya sendiri dari putaran arus harmoni dan ritme—yang penuh pengulangan.
Agak sulit memisahkan komposisi Jérémie Ternoy dari musik minimalis dan musik eksperimental era 1970-1980. Musik minimalis begitu terdengar pengaruhnya, terutama pola-pola musikal yang repetitif dari Steve Reich. Mendengar Jérémie Ternoy adalah mendengar komposisi jazz setelah era eksperimental itu.
Banyak kritikus melabeli musik eksperimental itu sebagai musik avant garde era 70-80an, dengan komponis terkenal seperti Steve Reich dan John Cage. Jérémie sendiri dalam format trionya ini terlihat tak ingin keluar dari domain dan tradisi jazz, tapi ia terdengar ingin merespons ide-ide musikal Reich hingga Cage.
Sebuah komposisi Jérémie yang sangat kentara dipengaruhi ide-ide eksperimental itu berjudul “Repetitifs”. Komposisi itu dibuka dengan piano yang bermain dengan sepuluh jarinya, tanpa jeda, tanpa henti. Mereka terus mengulang-ulang pola tak berjeda itu, pun bass dan drum kemudian ikut bermain dalam pola yang sama.
Hentakan tomb, snare, dan stick drum yang dipukul pada besi-besi drum juga terus mengulang-ulang tanpa henti. Kadang, kontrabass Nicole menambah bumbu harmoni yang berbeda dengan pola repetisi. Piano juga terus mengulang pola broken chord yang kompleks.
Pola itu terus menerus dilanjutkan, secara serempak, beriringan, dan sahut menyahut dalam pengulangan bersama. Tanpa improvisasi solo tiap instrumen, mereka berfokus pada repetisi itu. Komposisi “Repetitifs” ini mengingatkan saya pada komposisi Steve Reich berjudul “Six Marimbas”. Di mana Reich memakai marimba untuk menggaungkan sebuah pola sirkular, berulang, dan bersahut-sahutan tanpa jeda.
Steve Reich membuat komposisinya ini tahun 1968, ia mengaku terinspirasi dari dentingan gamelan Jawa. Saron, bonang, dan gong yang menyahut-nyahut mengiringi suara sinden, tapi bergerak sesuai pola harmoni dan ritme yang sirkular. Tembang dalam gamelan sering terdengar berputar-putar dalam pengulangan. Mirip seperti mantra dan doa-doa yang sering kita dengar tanpa jeda tiap momen sakral dalam sebuah ritual.
Baca juga:
Mantra bunyi dan bunyi mantra kemudian menjadi tawaran penting dari estetika repetitif semacam ini. Mengembalikan musik dan komposisi pada mantra bunyi, membuat kita masuk kembali pada keberulangan. Seperti bernafas, kita mengulang-ulangnya tak henti agar tetap hidup. Seperti mantra, semakin ia diulang maka semakin terasa sakti dan sakral.
Dalam konteks ini musik minimalis dan estetika repetitif menjadi menarik. Musik bukan dilihat sebagai ruang untuk seorang musisi meliuk-liuk pada indahnya harmoni, tapi justru mengulang bunyi sebagai mantra. Ide-ide musik minimalis dan repetitif seperti ini sangat terdengar dalam komposisi Jérémie Ternoy. Tetapi sebagai musisi jazz, Jérémie Ternoy akhirnya tak bisa benar-benar terlepas dari jazz.
Jazz yang sangat mengandalkan improvisasi justru sangat kuat ketika bertemu dengan estetika repetitif. Sebuah momen improvisasi kemudian menjadi ruang henti, sekaligus ruang untuk tiap-tiap musisi menyampaikan interupsinya pada sirkularitas.
Jazz memang lekat sekali dengan live art dan happening art. Fondasi penting dari jazz adalah improvisasi. Sebuah komposisi tak bisa diulang sama persis dengan ketika ia dibawakan pada sebuah panggung. Komposisi jazz lebih soal panggilan “kemenjadian” ketimbang putusan final seorang komposer tunggal yang otoriter—pembuat skenario besar yang perintahnya adalah sabda untuk dipatuhi total.
Improvisasi Jérémie Ternoy Trio menjadi menarik, karena ia berjalan pada pola repetisi yang sirkuler, sekaligus ingin memecah belah sirkularitas itu dengan improvisasi. Jérémie Ternoy mungkin ada dalam generasi transisi, ketika musik jazz berkelindan dengan ide-ide minimalis dan eksperimental.
Mendengar Jérémie Ternoy Trio kemudian bukan sekadar mendengar jazz yang umum. Trio ini menawarkan jazz yang eksperimental. Mereka membawa kita masuk ke ruang harmoni dan ritme yang minimalis. Apalagi, membawa kita merapal “mantra bunyi” yang menyihir itu bersama-sama.
Editor: Prihandini N