Setenggak Jazz

Jon Gareng

12 min read

Rhana mendesah, sudah tiga bulan berlalu semenjak dia kembali bersimpuh pada buaian asap tembakau. Namun, dua ratus ekor jangkrik yang berteriak di ujung kepalanya tidak peduli, nikotin atau mati, ancam mereka. Kedua buah hatinya tengah tertidur di dalam kamar, berbagi selimut dan bantal yang coraknya tak sealiran—malaikat bertanduk merah mengembangkan sayapnya memenuhi selimut; sementara seekor anak kelinci tengah berlari mengejar pelangi berwajah manusia di permukaan sarung bantal. Sang kakak memeluk lengan adiknya erat-erat.

Panggilan adik-kakak untuk mereka tidak lebih dari sekadar penanda akan siapa yang lahir terlebih dahulu, bukan tentang hirarki atau otoritas. Si kakak pernah protes karena merasa omelan adiknya sudah melewati batas.

“Dik, kata guruku jadi adik itu harus nurut dan hormat sama kakaknya, bukannya marah-marah. Dan juga…” sejenak dia berhenti saat itu, menelan air ludah dan mengepalkan tangannya memeras keberanian. ”Katanya kalau nonton TV itu yang pegang remote harusnya yang lebih tua.” Berhembus keluar kalimat itu, hampir tertinggal beberapa suku katanya.

“Kak,” berbeda dengan mata kakaknya yang kini melanglang buana ke sekeliling ruangan, mata si adik menatap tajam tanpa keraguan. ”Aku tidak yakin guru kakak bicara tentang remote TV. Dan aku marah karena kakak masih sering ngompol di kasur. Juga jangan suka ngemut jempol!” katanya sambil berkacak pinggang, rambutnya yang dikuncir kuda mengibas ke kanan dan ke kiri mengikuti tubuhnya yang bergerak setiap kali berbicara.

Kedua pipi sang kakak seketika memerah saat itu, perlahan dia menarik jempol dari mulutnya. Tampaknya dia harus rela acara tangga lagu terpopuler kesukaannya berganti dengan kartun kuda poni.

Sudut bibir Rhana mengembang mengingat itu. Omelan jangkrik di kepalanya perlahan menumpul dan tenggelam. Mungkin asap rokok bukan satu-satunya cara. Namun, nada notifikasi pesan masuk di ponselnya menaikkan kawanan jangkrik itu kembali ke permukaan, mengajak serta para kodok yang kini memahat guratan di keningnya, menekan tempurung kepala. Rhana melirik nama yang muncul di tengah layar itu sebelum menggeser ponselny ke sudut meja, bersanding dengan vas bunga dan segelas teh yang tinggal setengah.

Jam 12.15, semilir udara yang menyelinap dari celah pintu mulai menusuk kulit. Rhana kembali menaruh telinganya menempel ke permukaan dinding, menyelidik apakah sang wasit sudah menarik tuas pelatuknya agar bisa segera dia mulai acara penyucian jiwanya ini. Namun, telinganya hanya menangkap degup jantungnya sendiri. Ke mana orang itu? Entah. Tidak banyak yang dia ketahui tentangnya. Hanya dua informasi yang dia miliki dan tidak juga membantu. Informasi pertama tentang suara yang kini tengah dinantinya, lantunan musik jazz yang keluar dari dinding belakang rumah kontrakan ini.

Dulu dia menganggap suara itu sangat mengganggu. Bagaimana mungkin orang tidak sadar bahwa ini pemukiman padat penduduk? Dinding tipis, atap rendah, tentu saja suaranya akan ke mana-mana. Egois.

Musik itu menyala setiap Sabtu malam, waktunya tak menentu, terkadang sebelum anaknya terlelap mereka sudah datang mencumbu telinganya, namun di lain waktu baru terdengar bersamaan dengan suara tiang listrik yang dipukul sebanyak dua belas kali.

Sudah pasti ada seseorang yang sengaja menyalakannya, bukan aplikasi komputer ataupun perangkat otomatis. Karena keacakan waktunya terlalu tidak selaras, tanpa pola. Bukankah yang seperti itu menandakan adanya makhluk minim asas yang terlibat?

Acak. Kamu bisa menebak cerahnya langit esok hari, terangnya bulan malam ini, tapi tidak dengan manusia, gumam Rhana kepada dirinya sendiri.

Yang biasa baik, tiba-tiba jadi menyebalkan. Yang kemarin memberi hati, besok sudah memintanya kembali. Dan juga yang sepertinya menjadi cahaya, justru menuntunmu ke dalam gelap.

***

“Bukannya kamu ada ekskul?” suara pria itu menerobos masuk ke dalam telinga, seakan seorang penyiar RRI sedang membawakan berita. Tubuhnya masih beruap dan basah. Kebiasaan buruk, tak pernah terpikirkan olehnya bahwa membawa handuk sebelum mandi itu adalah suatu kewajiban.

“Lagi malas,” jawab seorang gadis, kepala dan pundaknya yang telanjang menyembul dari dalam selimut.

“Harus ikutlah, ini hari pertama juga, kan?” ujar sang pria kemudian. “Ketemu sama orang, perbanyak kenalan, perbanyak koneksi. Di dunia kerjaku percuma punya kemampuan kalau tidak ada jaringan. Manusia itu makhluk sosial.”

“Dunia orang tua bukan dunia yang kugemari.” Gadis itu melirik dan mengangkat kedua alisnya ke arah sang pria.

Sang pria tersenyum. Selesai dia mengeringkan tubuhnya, kini bergerak meraih botol parfum merk Perancis-nya yang bersanding dengan jejeran boneka babushka, cindera mata saat pergi ke Moscow bulan kemarin, urusan pekerjaan.

“Suatu saat kamu bakalan tua juga. Kamu kira dua puluh tahun adalah waktu yang lama? Sayang sekali ada berita buruk untukmu, nona. Setelah lulus SMA, setiap tahunmu akan terasa begitu cepat. Dua kali lipat.”

“Omong kosong. Waktumu terasa cepat karena kamu menikmatinya, hak istimewa orang dewasa. Tak sepertiku yang setiap mata pelajaran sosiologi akan terasa seperti terdampar di pulau kosong selama berhari-hari, menunggu kapal penyelamat yang tak kunjung tiba.”

Pria itu menggeleng. “Yah, tampaknya bakalan banyak kejutan yang baru akan kamu sadari saat kamu beranjak dewasa.” Pria itu kini berusaha memasukkan tangannya ke dalam kemeja yang ukurannya tampak satu angka di bawah ukuran idealnya, otot-otot lengannya seakan ingin merangsek lepas. “Ayo aku antar ke sekolah, sekalian berangkat. Jangan lupa kartu apartemen, besok aku ada rapat dari pagi.”

“Aku besok harus jaga adikku. Mama pulang malam.” Gadis itu beranjak dan meraih seragamnya yang tergantung di sudut ruangan.

“Dan papamu?”

Si gadis mengangkat kedua bahunya. “Ke neraka?”

***

Bajingan itu benar, banyak sekali kejutan yang terjadi. Terlalu banyak.

Petunjuk kedua juga suara, namun yang mendengarnya adalah Lulu, kawan satu atap Rhana, pengontrak asli rumah ini. Dia mendengarnya sesaat sebelum Rhana pindah ke kota ini dua bulan yang lalu.

Lulu baru bangun dari tidurnya saat itu, dan tengah berusaha menenggak habis segelas jamu kiriman teman prianya. Temannya bersikeras, pahitnya jamu terbukti ampuh untuk bisa mengusir efek-efek margarita yang dari semalam masih menggelayut di belakang bola mata. Sayup suara seseorang yang tengah berbincang terdengar dari dinding itu, tapi belum cukup menggugah niatnya untuk menyimak lebih jauh. Baru saat terdengar suara sesengguk tangis, Lulu merasa sayang untuk melewatkannya. Rasa penasarannya seketika mengusir margarita dari bola mata, mengalahkan khasiat jamu di tangannya.

Hanya satu suara yang terdengar, seorang pria dewasa. Sedang menelepon, atau berlatih monolog? Cuma tebakan kosong yang bisa Lulu pikirkan, karena dia tidak mengerti bahasa yang kini di dengarnya. Bule? Kemungkinan itu membuat Lulu semakin lekat memasang telinganya, namun suara pintu yang menutup dari seberang sana menjadi akhir acara pengintaian di balik dinding pada hari itu.

Rhana merasa kalau dia lebih baik tidak mengetahui siapa sosok di balik dinding itu, karena tak jarang yang menunggu di seberang pengetahuan itu hanyalah penyesalan.

Dia masih SMP saat tugas bahasa Indonesia membawa dirinya berselancar maya. Mempertemukannya dengan satu blog yang membangunkan hasratnya akan kata-kata. Blog itu memuat tulisan barunya setiap dua hari sekali dan tentang apa pun, dari puisi cinta hingga kisah seorang remaja yang menggunduli alisnya agar dapat bertemu dengan kuntilanak. Banyak hal bodoh dibacanya hanya untuk membuatnya tertawa, karena dia juga ingin merasakan tawa. Sebuah puisi berjudul Dahlia menjadi tulisan yang paling sering dia baca berulang kali.

***

Dahlia

Aku menemukannya di tengah padang
Di antara plastik dan kedunguan yang menjangkit
Sekuat tenaga mendongak kepala
Melempar harap pada murai yang melayang

“Hujamkan paruhmu, jadikan aku bahan bagi sarang yang kau rakit.”

Kelopaknya lusuh tertimpa tanah percikan air hujan
Lunglai diterpa angin, layu tak berkesan
Segerombolan anak kecil merasukiku

“Tak pantas kau meracau meminta tangan,
…Ikut aku, akan kubasuh hingga kembali kau kenali dirimu.”

Aku sediakan untuknya kotak kayu sonokeling
Yang indahnya membuat ibu tiri memecah cermin kaca 
Memaksa fajar untuk menyingsing
Membuat dua raja beranjak dari singgasana
Berbekal mereka tombak, panah dan keris

Ini tentang harga diri, tentang semangat yang berkobar  
Tak peduli mereka mengingkari
Lautan anak kecil tengah menangis menahan lapar

Sisinya kubasuh getah pohon ipuh 
Biar tiada tangan lancang menjamah
Namun mala seribu cara tetap melabuh
Maka bersandarlah perahu dan galah

Tak lewat sedetikpun mataku mengawasi
Tak sehelai rambut mampu menepi
Sayang, juga tak sekelebat mimpi sudi menghampiri
Tubuhku mulai bergerak tak beraturan
Bergetar dari bawah mata hingga ujung tangan

Dewi! Apa yang sudah kuperbuat
Akankah kau datang dan memelukku dengan erat
Katakanlah, apa aku tengah menyendok kuah dalam pengat?
Dan pada hari di mana kulihat bumi jauh di bawah telapak kaki
Kulepaskan dia kembali ke padang berteman plastik dan kedunguan

Tapi dirinya yang tak terlatih, durinya tumpul, batangnya rawan
Perlahan dia menatap ke langit mencari murai yang melayang.

***

Setelah itu Rhana mulai menulis puisinya sendiri. Buku tulis bersampul merah muda menjadi sarana pengepul kalimatnya. Catatan Tumbuh Kembang Kecambah, ditulisnya besar-besar di halaman paling depan, cukup untuk memudarkan niat orang yang membukanya tanpa izin. Dua minggu berlalu, lembar demi lembar halaman itu sudah berdesakan kata-kata. Sajak, prosa, puisi. Bereksperimen dengan kata dan rima, berusaha membangun suasana seperti yang dirasakannya setiap kali membaca tulisan pada blog itu. Esensi dan moral tak dipedulikannya, makna hanyalah hadiah.

Hingga suatu ketika blog itu berhenti menerbitkan postingan baru, dan pada setiap kolom komentar tersemat satu tautan berita yang sama: “Mengaku Mendapat Pesan Ghaib Dari Kakeknya, Seorang Penulis Lepas Menjadi Pembunuh Berantai”. Dan berhenti pulalah perjalanan buku tulis bersampul merah muda Rhana.

***

Rhana sekali lagi menaruh telinganya ke dinding, dan masih hanya degupnya yang terdengar, degup yang akhir-akhir ini terasa hingga ke ujung kepala. Dia menegakkan letak duduknya, lalu melirik pada ponsel yang tadi digeser ke ujung meja. Pesan suara dari ibunya.

Cukup lama jarinya mengambang di atas lambang putar. Dia bisa menduga apa isi pesan itu, mungkin lebih baik untuk segera menghapusnya saja. Namun, dengan napas yang seberat memanggul batu, jari itu dibawanya turun, mengetuk lambang juga putar.

“Assalamualaikum. Anakku yang cantik, semoga kamu dan cucu-cucu mama selalu diberi kesehatan dan keselamatan. Rhana, cobaan dari Tuhan memang tidak ada yang tahu kapan datangnya, seperti waktu ayahmu tiba-tiba menghilang selama 3 bulan lamanya, atau saat dia menjual cincin kawin mama untuk main kartu, sementara kita makan berbagi mie instan. Ingin rasanya mama lari ke ujung dunia, jauh dari semua permasalahan itu. Tapi mama harus kuat, untuk kamu dan adikmu. Mama harus tetap menjalaninya dengan sabar dan tak berhenti berdoa serta yakin suatu saat papa pasti akan berubah. Ya, yang ada dalam pikiran mama hanya kamu dan adikmu. Bagaimana agar kalian tidak tumbuh tanpa adanya sosok ayah di samping kalian. Dan itu juga yang sekarang mama khawatirkan ke kamu dan cucu-cucu mama. Paling tidak, coba dibicarakan dulu sama Fajar. Dia tadi pagi datang lagi ke rumah, sekali lagi meminta maaf dan menanyakan apa ada kabar dari kamu…” kata-kata itu tidak runcing, namun entah mengapa hatinya terasa berdarah.

Apakah benar dirinya egois? Untuk menemukan kedamaiannya sendiri dia menjerumuskan masa depan kedua anaknya pada ketidakpastian. Memang Rhana tidak bisa memungkiri bahwa mencari kerja di kota ini—kota yang masih asing baginya, dengan hanya Lulu satu-satunya orang yang dia kenal di sini—tidak semudah seperti yang dia bayangkan tatkala dulu memutuskan untuk pergi.

***

“Sebelumnya bekerja di mana?”

“Tidak bekerja, Pak.”

“Ibu rumah tangga?”

“Iya.” Rhana menurunkan pandangannya. “Apa banyak juga ibu rumah tangga yang ikut di sini?”

“Tidak banyak. Janda-janda yang suaminya meninggal, atau yang suaminya masuk penjara, ada juga yang ditinggal suaminya tiga tahun tidak pulang dan tanpa kabar. Ibu salah satu dari itu?”

“Bukan.” Kini dia menggaruk punggung tangannya yang tidak juga gatal. “Saya yang pergi.”

“Pergi kenapa?”

“Ada masalah, Pak.”

“Masalah apa?” tak ada perubahan dari raut pria muda itu sedari tadi, tidak juga nada bicaranya. Jika suatu saat kau dapati dirinya tengah mencari orang bernama Sarah Connor, maka sudah barang tentu pria itu adalah robot pembunuh. “Maaf bukan saya ingin mencampuri masalah Ibu, tapi agensi kami harus benar-benar menyeleksi orang-orang yang memang pantas untuk kita rekomendasi ke klien kita nanti. Kalau yang kita kirim bermasalah, agensi juga yang nanti kena imbasnya.”

“Suami saya selingkuh. Jadi, saya pergi dari rumah.”

Pria itu memeriksa berkas yang ada di depannya, dan menarik salah satu. “Pergi dengan dua anak yang masih kecil?” matanya masih memandang ke kertas berisi fotokopi kartu keluarga itu. “Tidak, saya tidak menghakimi pilihan hidup seseorang. Tapi, ya, ini jadi masalah tersendiri juga. Industri sekarang mencarinya tenaga kerja yang sudah siap pakai.”

“Dan siap buang juga, kan?” celetuk Rhana lirih.

“Apa?”

“Tidak apa-apa.”

***

Pesan itu masih bersuara, namun pikiran Rhana menerawang pada kemungkinan yang lain. Jika dulu ibunya memilih untuk bercerai, apakah hidupnya akan lebih baik? Menceraikan orang yang pernah berlutut menangis meminta maaf serta mengajak satu keluarga berlibur ke pasir putih sebagai tonggak penanda kalau dia benar-benar akan berubah dan memulai kehidupan yang lebih baik, namun satu bulan setelah itu dengan tanpa sesal menampar pipi anaknya sekuat tenaga hanya karena lupa mematikan keran air kamar mandi.

Satu pesan baru kembali masuk. Dari Lulu, dia bilang baru akan pulang besok pagi, mau keliling kota dulu untuk mencari pesta bersama bandar jamu beras kencurnya.

“Temannya cakep, Na! Anak bank. Barusan cerai dia. Kapan-kapan jalan bareng, yuk! Aku kenalin. Xixixixi.” Tulisnya dalam pesan.

Dia lupa kawannya ini dalam catatan negara masih jadi istri orang. Dan juga… masih bisakah dia untuk mencinta? Tidak, tidak secepat ini, kecuali ada seorang pangeran dengan jubah kasmir berpayet permata datang mengendarai kuda putihnya seraya berkata, “aku mencari seorang janda beranak dua yang sedang putus asa, itulah impianku, kamu janda yang aku idam-idamkan, tingkat depresimu sempurna sesuai dengan prinsip yang aku pegang, sudikah kamu menerima romansa ini?” omong kosong.

Dulu dia pernah mengira seorang pangeran berkuda putih akhirnya datang untuk menyelamatkannya. Pria capricorn, cocok dengan gadis virgo. Sang pangeran baru lulus kuliah, si putri sedang menunggu ujian akhir SMA. Sang pangeran menimang apa yang ingin dia lakukan, sang putri tidak punya banyak pilihan. Sudah terperosok putri itu dalam kubang lumpur, termakan bujuk rayu seorang pria dewasa yang dia kira cahaya. Terjerumus semakin dalam sang putri menjadikan tubuhnya sebagai komoditas. Berbekal mimpi untuk segera pergi dari kota asalnya, menyerahlah dia pada jamahan tangan pria-pria hidung belang. Dan pada salah satu malam itu sang pangeran datang sebagai pelanggan. Entah guna-guna atau karma dari kehidupan sebelumnya, sang pangeran merasa menemukan sepatu cinderella pada mata sang putri. Lalu semua terasa begitu cepat. Doa yang tak pernah berani sang putri panjatkan kini terkabulkan. Tiba-tiba cincin bermata safir sudah melingkar di jari manisnya.

Serpihan ingatan itu datang memberondong dalam kepala Rhana.

Tangis haru ibunya. Jas dan kebaya putih gading. Bulan madu di pulau dewata. Mimpi untuk lari dari kota yang terlupakan. Menari di bawah pohon cemara. Baskara Sasmito lahir pada tahun kedua. Matanya yang berbinar menenangkan hati, tawanya menggelak setiap kali hidungnya disentuh.

Sang pangeran semakin sibuk dengan pekerjaan, sang putri belajar menyusui. Hari bertambah pendek tidur pun menjadi kemewahan. Tak terbiasa dengan rutinitas kehidupan yang berganti, terlemparlah kalimat yang kemudian mereka sesali. Lalu sadar, meminta maaf dan berpelukan.

Tak bisa menahan hasrat untuk dapat melihat wajah cantik ibunya, Pangastuti Nala hadir di tahun ketiga. Sang kakak tak pernah mau terlalu lama terpisah dengan adiknya sejak pertama mereka berjumpa, tidur pun harus berdua. Sang pangeran perlahan menjadi raja, pulang semakin larut, pergi seketika pagi muncul. Tugas kerja keluar kota semakin sering datang. Sementara sang putri harus beradaptasi, mengisi posisi apa pun yang kerajaan itu sedang butuhkan. Kembali terlempar kalimat yang seharusnya mereka sesali, namun tak keluar maaf atau pelukan untuk kali ini, mereka menelannya seakan tak pernah terjadi.

Lima tahun setelah itu semua berjalan seperti mesin, tidak ada kejadian yang bisa dia kenang. Selanjutnya hanyalah tragedi yang dia saksikan sendiri. Hotel Inn Fieno kamar 301, tempat di mana sang pangeran dan selirnya memadu kasih, meninggalkan sepatu cinderella-nya yang terkatung-katung terbawa banjir.

Rhana mencoba membentuk senyum di wajahnya, berharap bisa menular ke hatinya.

***

Dinding itu masih diam dan dingin. Pernah terpikir untuk mengetuknya keras, khawatir orang itu tertidur dan lupa untuk memasang musiknya. Namun, sudah barang tentu akan menjadikan dirinya selayak anak kecil yang merengek meminta mangga yang tumbuh di kebun tetangga.

Rhana menimang gelas tehnya yang kini telah kosong. Dalam hatinya, dia menyadari betapa naif dirinya yang menggantungkan ketenangan jiwa pada sesuatu yang kemunculannya seperti hantu, nyaris seperti takhayul. Dia menarik tubuhnya untuk beranjak, tak lupa mengangkut gelas juga ponselnya yang tergeletak di atas meja, mendorong kursi masuk ke dalam kolong, menyeka noda tetesan teh pada permukaan meja, dan membetulkan letak vas yang tidak berubah letak dari minggu kemarin. Dia melakukan semuanya sembari mengamati detik demi detik yang berlalu pada setiap tarikan napasnya, namun dinding itu tidak juga bersuara.

Hanyalah decak cicak yang menyahut tatapannya yang kini tak berujung. Rhana menelungkupkan gelas kosongnya ke permukaan dinding dan berbisik pada pangkalnya. “Halo! Mohon maaf, permisi… tolong jazz-nya satu porsi.” Kata-kata itu keluar nyaris seperti ucapan selamat tidur. Mendengus dia menertawakan betapa bodoh tingkahnya sendiri, sebelum gontai tangannya menemani langkah kaki yang kini berayun menuju dapur.

Rintik air terdengar mengetuk atap rumah. Tak biasanya hujan turun di pertengahan bulan Juni. Seakan mereka datang untuk mengejek perempuan itu. Rhana menghentikan tangannya yang tengah menggosok gelas. Ada nada tak seirama yang menyelinap di antara suara hujan. Menutup air keran, dia menyelipkan rambut ke belakang telinga, dan… ya! Suara! Bersahutan dengan hujan, mereka membuat harmoni. Merapal sihir yang mengabulkan angan untuk terbang meninggalkan riuh kota yang penuh gemerlap tanya di bawah sana.

Rhana meletakkan gelasnya dan berjalan keluar dari dapur. Dinding itu bersenandung. Lantunan saxophone yang lembut dan mendayu. Memeluk tubuhnya, menghantarkan kehangatan yang menyeruak ke dalam dada. Memejamlah matanya, menghayati tiap lekuk suara itu. Dalam kepalanya, sang melodi menyamar menjadi kupu-kupu, menuntunnya berjalan menyusuri anak tangga di mana padang rumput berkilau, barisan bunga terhampar menunggu. Semilir angin menggoyangkan kelopak tulip putih yang menari anggun. Di ujung pandangan, sekerumunan jangkrik berloncatan menjauh, hingga menghilang di bawah deretan bukit hijau yang terbentang mengelilingi.

Senyuman merekah di wajah Rana, yang kini hadir tanpa harus dia undang.

“Giliranmu.”

Rhana mendongak ke langit, ada seseorang yang berbicara padanya. Kesadaran seketika menghinggapinya. Matanya terbuka. Suara saxophone itu telah berhenti dan keberadaannya tak lagi tersembunyi. Apa yang orang itu maksud dengan giliran? Apakah dia harus meminta maaf atas kelancangannya? Tentu saja, bodoh!

“Maaf, Pak… saya tidak bermaksud mengganggu, tadi hanya bercanda. Saya lagi… bodoh.”

“Bukan, bukan itu. Sekarang giliranmu. Mainkan alat musikmu.”

“Alat musik? Tapi saya tidak ada alat musik.”

Untuk sejenak tidak ada balasan dari dinding itu. Dan Rhana tidak tahu harus berbuat apa, alisnya terangkat tinggi.

“Tahu domikado?”

“Ya?”

“Buat ketukan seirama, keras di Do.”

“Ma… maksudnya?”

“Lekas!”

Rhana meletakkan kedua telapak tangannya ke atas meja. Lalu lirih dia bersenandung, “do mikado mikado eska…” dan mulai membuat ketukan. Keras di Do.

“Saat kamu paham, mainkan sesukamu.” Ujar pria di balik dinding itu yang lalu menyambar dengan saxophone yang menghentak.

Barisan nada itu datang menderap. Mendesak muncul saling menyapa. Melodi yang menari, berputar dan mengayun. Detak jantung Rhana ikut terpacu, kepalanya bergoyang mengangguk, begitu juga ujung kakinya yang tanpa disadari ikut mengetuk-ngetuk lantai. Saxophone itu semakin liar dan tangan Rhana pun tak mau kalah. Jemarinya bergemuruh di permukaan meja. Ada satu rasa yang muncul diam-diam dan melancarkan aliran darah di seluruh tubuhnya, rasa yang dulu terabaikan bersama buku tulis bersampul merah muda. Kolaborasi ini memasuki bagian penutup, tarikan saxophone itu memanggil dan ketukan meja menjawab, lalu diakhiri dengan lengkingan nada yang membuat berdiri semua bulu kuduk.

Sambutan tepuk tangan disertai cekikik tawa mengagetkan Rhana. Kedua anaknya tengah duduk bersila di depan pintu kamar menyaksikannya.

“A Night in Tunisia menggema dari West 44th St hingga lobi hotel di sudut Sanur. Tak satupun yang sama. Sejuta terompet juga piano ataupun perkusi; sejuta nada; sejuta rasa. Ini bukan tentang intelektualitas, ini tentang manifestasi hidup. Melodi yang bercerita tentang kisah hidup sang musisi, bisa membuat pendengarnya memahami hidup mereka sendiri, aneh bukan? Seperti cermin. Tapi saat nadamu berisi irama langkah orang lain, bisakah kamu yakin lantunan itu beresonansi? Dulu ada seorang pemuda yang terlambat menyadarinya. Di hadapan sebaris produser hebat saat itu dia berkata dalam hati, mereka akan mengira Miles Davis bangkit dan merasukiku. Tapi dia salah, satu-satunya cara untuk membangkitkan Miles adalah dari vinyl yang berputar. Dari rekaman itu kau bisa belajar tentang aksen dalam musik yang menggelitik, tentang bagaimana Miles merangkai frasa yang menuntun irama. Bukan dari pemuda yang menyangsikan ketukan dalam jiwanya sendiri. Oh Tuhan.” Lalu suara derap langkah yang menjauh terdengar dari balik dinding itu.

“Terima kasih, Pak,” ujar Rhana, namun tak ada jawaban lagi, tak pernah lagi ada.

“Bunda, aku mau jadi drummer!” teriak anak sulungnya yang langsung diperingatkan oleh sang adik agar tidak berisik karena hari sudah malam, begitu juga kepada bundanya dia mengingatkan bahwa anak kecil itu membutuhkan waktu tidur yang cukup untuk perkembangan otak dan tubuh. “Jadi tolong lain kali jangan ribut-ribut.” kata si bungsu.

“Iya maaf Bunda berisik, kalian jadi terbangun,” katanya sambil menyatukan kedua telapak tangan di depan mukanya, lalu pelan mengusap kepala kedua anaknya.

“Kalau aku mau jadi astronot. Biar bisa punya teman dari planet lain. Kalau Bunda, mau jadi apa?”

Bunda cita-citanya ingin lihat kakak dan adik bahagia, itu yang biasa Rhana ucapkan tiap kali ditanya tentang impiannya. Tapi kali ini dia berkata, “Bunda dulu suka bikin puisi, mungkin akan sangat menyenangkan jika suatu saat Bunda bisa menulis satu buku puisi.”

“Aku nggak pernah lihat Bunda bikin puisi.” Kata si adik.

“Iya, sih. Terakhir bunda bikin itu waktu masih SMP.”

“Mmm… oke. Kalau gitu aku tes. Coba bikin puisi tentang lemper.” Tantang si kakak kemudian.

“Lemper?”

“Iya!” jawab mereka berdua.

 

Kau katakan padaku sebuah cerita
Tentang lemper yang tinggal sebatang kara


“Ke mana lumpia dan pastel?” tanya sang kakak.

“Hmm, iya ya, ke mana mereka?”

Si bungsu mengangkat kedua pundaknya. “Terus, Bunda!”

Tak terjamah karena rasa sungkan
Lambat laun pun terlupakan
Semalaman terjajah semut dan lalat
Pagi hari sang pemilik hanya bisa sambat

Menarik napas keluh kesah digantinya doa
Kepada semut dan lalat sekeluarga
Terima kasih sudah membersihkan kelalaian manusia
Semoga kalian semua bahagia

Oh iya
Kalau bisa lain kali
Tanyakan dulu padaku apakah aku mau dibagi
Mungkin saja aku belum makan sedari pagi

Hihi

 

***

Jon Gareng

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email