IG: @kang.jojo

Mendengar Nada Perdamaian Lewat Suara Tenor Andrea Bocelli

Joshua Pradipta

2 min read

Apa yang ada di benakmu ketika mendengar kata “perang”? Apakah ada jenis perang yang berhak dijustifikasi untuk alasan tertentu? Atas nama negara, suku bangsa, atau bahkan atas nama Tuhan?

Pertanyaan-pertanyaan ini muncul secara tidak sengaja ketika aku mendengar lagu “Yes I Believe” karya Andrea Bocelli di Spotify. Mungkin selama ini kita hanya menikmati suara tenor yang ia nyanyikan. Namun nyatanya lebih dari itu. Pria kelahiran Italia ini lahir dengan sebuah penyakit bernama congenital glaucoma yang menyebabkan dirinya buta secara parsial. Hingga pada akhirnya mengalami kebutaan total saat dirinya menginjak usia 12 tahun.

One day I’ll hear 

The laugh of children 

In a world where war has been banned

Saat mendengar bait pertama lagu ini, kursi yang kududuki seketika terasa dingin membeku. Bocelli seperti membawaku ke dimensi lain, mempertontonkan bayang-bayang yang mungkin saja adalah metafora teologis “di bumi seperti di surga” dan perumpaan “langit dan bumi yang baru”: hamparan rumput hijau, anak-anak yang berlarian ke sana ke mari, saling bercengkerama dengan berbagai bentuk wajah dan warna kulit.

Baca juga:

Tak ada lagi bunyi ledakan bom yang membangunkan anak-anak itu di tengah malam. Tak ada lagi suara senapan yang menggetarkan jantung bayi-bayi yang baru lahir. Tak ada lagi bau amis darah yang membanjiri sungai tempat mereka bermain bersama teman-temannya.

Andrea Bocelli dan Makna Cinta

Barangkali, penggunaan objek “anak” di lagu ini merupakan penggambaran sifat polos dalam diri anak kecil. Terlahir dengan pikiran yang masih bersih, belum ditanamkan doktrin-doktrin rasial yang mencuci otaknya. Mereka berteman dengan siapa pun, tak mengenal adanya label negara, suku bangsa, atau warna kulit. Ia sungguh hadir “di sini dan sekarang ini”.

One day I’ll see 

Men of all colors 

Sharing words of love and devotion

Perpaduan alat musik orkestra memanifestasikan wujud heterogen melalui lirik lagu ini. Atas nama “cinta”, semua orang dengan berbagai warna kulit menikmati kehadirannya sebagai sesama penghuni bumi.

Kekagumanku berlabuh pada sebuah pertanyaan: bagaimana mungkin, seorang tuna netra mampu membicarakan isu warna kulit, di kala dirinya tak mampu melihat warna? Mungkin, ia memang tak melihat dengan matanya, tapi ada sesuatu yang melampauinya. Ia bernama perasaan. Apakah ini suatu tanda bahwa isu kekerasan berdasarkan ras sudah begitu parah? Sampai-sampai jeritan batin para subjek terdiskriminasi ikut menggetarkan hati seorang Andrea Bocelli.

Stand up and feel

The Holy Spirit

Find the power of your faith

 

I believe in the people

Of all nations

To join and to care for love

 

I believe in a world

Where light will guide us

And giving our love

We’ll make heaven on earth

Kata “holy spirit” dalam lirik ini membawaku tenggelam pada sebuah perenungan teologis. Jika melihat pesan perdamaian dalam lagu ini—jangan-jangan, Roh Kudus (holy spirit) yang dimaksud Bocelli bukanlah suatu entitas adikuasa yang tak kasat mata atau praktik ritual mengawang-ngawang di atas mimbar, melainkan suatu tindakan nyata yang diwujudkan dalam ruang keseharian dan kemanusiaan. Roh Kudus sebagai bentuk cinta kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan hati, kebaikan, kesetiaan, kelemahlembutan, dan penguasaan diri.

Merangkul Perdamaian

Melalui tindakan nyata inilah kesadaran perdamaian antar sesama penghuni bumi dapat dihidupkan. Dengan begitu, bukankah peperangan atas nama agama tidak seharusnya terjadi? Lantas, apakah penyerangan Israel terhadap Palestina masih berhak dibenarkan oleh karena kepercayaan suatu kitab yang konon menjanjikan Israel sebagai bangsa terpilih?

Baca juga:

Alih-alih menaruh Roh Kudus sebagai obsesi pada harapan akan surga yang tak pasti, entah berada di antah berantah mana, dan menunggunya sebagai hadiah yang baru akan diberikan setelah kematian, mengapa tidak memaknai surga sebagai sesuatu yang dihadirkan oleh kita, di sini dan sekarang ini? Menciptakan surga di bumi, melalui ekspresi perdamaian sebagaimana terdapat dalam “Doa Bapak kami” yang katanya diajarkan “Sang Juru Selamat” itu?

Apalah artinya doa-doa yang terucap dalam kebaktian setiap hari Minggu, jika kita masih terlibat dalam praktik diskriminasi terhadap orang lain yang tidak seagama di tempat kerja? Menghambat jenjang karirnya hanya karena tidak seiman, atau memiliki keyakinan kuno bahwa orang berkulit hitam lebih inferior dibanding orang yang berkulit putih?

Jika saja aksi perdamaian dapat dimulai dari langkah terkecil di ruang keseharian kita. Terlepas dari persoalan perang, dengan melihat berbagai isu-isu kemanusian lainnya, tampaknya pertanyaan ini akan menjadi penutup tulisan ini untuk direnungkan.

Masih bisakah kita tertawa bahagia setiap hari Minggu di dalam ruang ibadah dengan kursi empuk, sementara masih terdapat orang-orang yang harus mengais sisa-sisa nasi di tempat sampah?

Masih bisakah kita komat-kamit mengucap doa bagi kedamaian umat manusia, sementara masih melihat saudara kita yang berbeda agama sedang beribadah di tempat yang sudah hampir roboh dan bocor ketika hujan?

Bagi kamu yang pernah menjadi subjek terdiskriminasi, sudah siapkah kamu untuk memaafkannya?

 

Editor: Prihandini N

Joshua Pradipta
Joshua Pradipta IG: @kang.jojo

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email