Dalam medan penciptaan seni, peran penting kritikus memang perlu diakui. Terlebih lagi hadirnya ruang digital serta ekspos seni yang meluber hingga ke ruang domestik, hal ini menghadirkan bentuk apresiasi baru terhadap pertemuan antar pelaku dan penontonnya, terlebih terhadap penulis kritik itu sendiri.
Akan tetapi, bila melihat kembali produk-produk kritikus seni yang beredar di berbagai media massa serta ekspos pers terhadapnya, saya justru ragu terhadap posisi mereka. Sebab saya melihat lebih banyak produk kritik hanya merupakan upaya vonis intelektual, bukan hasil dari empati mereka terhadap medan penciptaan.
Sebagai pengantar, keresahan ini muncul ketika salah satu sanggar teater mesti mendapati kritik pedas atas pertunjukannya yang dimuat di media massa. Kritik yang dilontarkan secara menghakimi, memicu kegamangan sendiri bagi para pelaku teater. Kekecewaan tersebut belum berhenti ketika saya mesti memberdayakan salah satu website ulasan teater di Jogja. Dalam proses pemberdayaan tersebut, ternyata cukup banyak produk kritik ditulis berdasarkan vonis teknis serta kategoris lainnya.
Baca juga:
Jika diperkenankan untuk melakukan gugatan, saya menawarkan tulisan untuk merespons hasil diskusi “Apa Pentingnya Kritik Seni?” yang diinisiasi oleh Omong-Omong Media. Tulisan ini bisa dibaca sebagai ketidakpuasan, sekaligus mempertanyakan kembali pentingnya kritikus seni sebagai kesimpulan pada diskusi tersebut.
Dalam diskusi tersebut, Okky Madasari melontarkan bahwa kritik dalam medan penciptaan seni justru telah mengalami pengebirian makna, seolah kegiatan kritik sebatas diartikulasikan untuk mencaci, mencari kesalahan, dan memberi penilaian secara biner. Pengebirian tersebut mungkin adalah efek dari melubernya medan kritik politik yang tak lagi mampu disaring oleh perbincangan kita terhadap seni. Kritikus politik yang kerap beroperasi melakukan gugatan terhadap order atau mengeksekusi mosi tidak percaya terhadap pemerintah, justru digunakan pula dalam medan penciptaan seni. Seolah upaya menciptakan seni sama bengisnya dengan menciptakan sebuah rezim otoritarian yang telah mencabut hak dan otonomi masyarakat penonton.
Problem semacam inilah yang kerap beroperasi dalam alam pikir sebagian dari kritikus kita. Kehadiran mereka cenderung lebih kepada motivasi politis untuk komitmen sebagai oposan, bukan hasil dari dialog empatiknya terhadap pertunjukan. Kualitas menonton mereka menjadi perlu dipertanyakan, apakah mereka berbahagia selama menonton, atau justru kebahagiannya terbebani oleh tendensi kritis yang terus-menerus ia rasakan selama menonton serta ia gugat kepada pertunjukan.
Kritikus semacam ini nampaknya telah mengakui dirinya sebagai “polisi penjaga”, di mana motivasinya untuk menonton tak lebih dari sekadar mengawasi jalannya pertunjukan, kemudian mengeksekusi vonis melalui produk tulisannya sehingga pelaku-pelaku seni di dalamnya tak lebih dari calon tawanan yang akan mereka borgol.
Modus operasi kritisnya dibangun melalui standar kognitif yang tajam dan kategoris, namun mentah secara emosional. Mereka akan sudi mengatakan sebuah presentasi seni berhasil jika mampu memenuhi standar ideal. Di luar itu, presentasi seni hanya sebagai produk gagal yang hanya perlu diberi makian. Jika model kritikus semacam ini masih diamini “penting” kehadirannya dalam medan kesenian, ekosistem apresiasi semacam apa yang bisa diharapkan lahir dari kritikus tersebut?
Menelusuri Dapur Kesenian
Sebagai bagian dari pelaku kesenian teater (menolak disebut seniman, sebut saja tukang teater), model kritik yang mereka hasilkan justru gagal memahami sejarah panjang dibalik penciptaan seni. Seolah pertunjukan yang sudah hadir di atas panggung muncul begitu saja sebagai “wujud jadi”.
Padahal sebelum hadir di atas panggung, pertunjukan teater memerlukan peramuan yang cukup panjang, perajutan dengan sangat jeli, dan penggodokan hingga matang sampai dapur produksi mengepul sehingga dapat bertemu dengan para penontonnya.
Selama mengalami langsung dinamika dan proses penciptaan seni pertunjukan, saya cukup muak mendapati eksekusi kategoris semacam itu. Para pelaku teater mungkin sepakat, bahwa mereka cukup kenyang mendapati pertunjukan mereka selalu digugat jelek, bahkan jelek saja belum.
Bayangkan betapa pedihnya proses penciptaan teater yang berlangsung selama tiga bulan lamanya: mendapati para aktor yang masih perlu menghafal dialog, mendapati kebutuhan artistik yang luar biasa tak masuk akal, serta mendapati makian yang terus mereka terima sepanjang latihan. Sedangkan kesempatan untuk hadir dan bertemu dengan penonton di atas panggung hanya berlaku satu hari. Itu pun masih perlu menerima konsekuensi vonis dari para kritikusnya.
Dengan ruang mental yang kaku serta beban prestisius mereka sebagai “kritikus”, mungkinkah mereka dapat melihat sisi biografis pertunjukan yang panjang tersebut dan berempati terhadapnya? Sedangkan kecerdasan mereka sebagai kritikus justru digunakan untuk memaki pertunjukan, sebagaimana muatan-muatan verbal yang hadir dalam tulisannya.
Baca juga:
Keberpihakan kami terhadap teater adalah keberpihakan tulus tanpa tendensi kapital apa pun, tanpa gelar maupun kehormatan sekali pun. Bahkan kami rela tiket kami dihargai satu bungkus mie instan, seperti yang pernah dilakukan oleh salah satu sanggar teater kampus di Yogyakarta. Sejatinya kami sudah cukup bahagia bertemu dengan penonton.
Kembali pada pertanyaan paling awal tulisan ini, tanpa berupaya menggeneralisasi seluruh wahana kesenian, apakah kehadiran kritikus setara pentingnya bagi pelaku seni, yang selama ini cukup berbahagia bertemu dengan penontonnya? Atau kehadiran mereka justru telah mengebiri kebahagiaan para pelaku seni?
Saya serahkan jawaban atas pertanyaan tersebut kepada publik sebagai polemik terbuka. Saya mengundang siapa pun, tak peduli awam atau mahir, tukang atau seniman, siswa atau mahadewa untuk merespons polemik tersebut.
Sebagai polemik terbuka serta klaim bahwa posisi kritikus masihlah penting dalam medan kesenian, kita diharapkan secara seksama dapat bertukar polemik untuk merumuskan bersama model kritik yang sehat, serta ekosistem kritik yang lebih empatik terhadap pelaku seni.
Editor: Prihandini N