Menjadi Indonesia, Setia pada Realitas Bangsa

Zidan Al Fadlu

4 min read

Nenek moyang kita adalah pelaut. Ungkapan ini sering kali digunakan sebagai simbol kebanggaan akan identitas maritim Indonesia. Namun, lebih dari sekadar kebanggaan, frasa ini mengisyaratkan bahwa sejak awal, Indonesia dibentuk oleh kemampuan nenek moyang kita dalam beradaptasi dengan dinamika ruang dan waktu. Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, Indonesia memiliki tantangan yang kompleks dalam mempersatukan keanekaragaman geografis, budaya, dan sosialnya.

Menghadapi tantangan globalisasi dan modernisasi, Indonesia menargetkan menjadi negara maju pada 2045, yang dikenal sebagai “Indonesia Emas.” Namun, dalam perjalanan menuju status tersebut, kita dihadapkan pada berbagai persoalan. Di satu sisi, kita harus menjaga keberagaman budaya dan kearifan lokal yang kaya; di sisi lain, kita harus mampu bersaing secara global di era teknologi dan ekonomi digital. Di sinilah pentingnya memahami peran ruang, waktu, dan negara-bangsa dalam proses “menjadi Indonesia.” Sebuah negara yang berperadaban tinggi harus mampu menciptakan harmoni antara masa lalu dan masa depan, antara lokalitas dan modernitas.

Bagian Satu: Ruang

Sebagai negara kepulauan, Indonesia secara fisik dan geografis tersebar di antara ribuan pulau yang memiliki karakteristik alam, budaya, dan ekonomi yang berbeda-beda. Banyak negara di dunia hanya memiliki satu daratan utama yang menjadi pusat politik, ekonomi, dan budaya, namun Indonesia memiliki ribuan pulau dengan populasi yang terdistribusi tidak merata. Dari perspektif geopolitik, kondisi ini memerlukan pendekatan nasionalisme yang berbeda dengan negara-negara berbasis daratan seperti di Eropa atau Asia Timur.

Pendekatan nasionalisme yang berbasis pada daratan sering kali mendefinisikan kedaulatan negara berdasarkan batas-batas fisik yang jelas, seperti di Eropa, di mana nasionalisme sering kali didasarkan pada konsep land. Sebaliknya, nasionalisme Indonesia harus dipahami melalui pendekatan maritim. Sebagai negara maritim, lautan bukanlah pemisah, melainkan penghubung antar pulau yang membentuk satu kesatuan negara-bangsa. Pemahaman ini penting karena Indonesia sering kali dilihat sebagai negara yang terpisah-pisah secara fisik akibat banyaknya pulau. Padahal realitasnya adalah sebaliknya, lautan menjadi medium yang menghubungkan.

Dalam konteks ini, nasionalisme maritim adalah solusi untuk menjaga kohesi nasional. Sektor maritim Indonesia yang kaya sumber daya alam, seperti perikanan dan kekayaan laut lainnya, harus dijadikan fondasi ekonomi yang berkelanjutan. Namun, realitasnya, Indonesia masih tertinggal dalam memanfaatkan sektor ini. Ini jelas menunjukkan bahwa nasionalisme maritim yang ideal belum terwujud secara praktis. Jika ingin memajukan Indonesia sebagai negara maritim, kita harus meningkatkan kemampuan teknologi, memperkuat armada laut, dan melibatkan masyarakat lokal dalam pengelolaan sumber daya laut secara berkelanjutan.

Kearifan lokal dalam pengelolaan ruang juga sangat penting. Tradisi maritim masyarakat Maluku dengan sistem sasi menunjukkan bagaimana kearifan lokal bisa menjadi solusi terhadap persoalan ekologis. Dengan melibatkan kearifan lokal, nasionalisme maritim bisa dibangun dari bawah, dari komunitas-komunitas pesisir yang telah lama hidup berdampingan dengan alam. Namun, pemerintah sering kali gagal mengintegrasikan kearifan lokal ini ke dalam kebijakan nasional, sehingga potensi lokal terabaikan.

Bagian Dua: Waktu

Sejarah Indonesia adalah sejarah panjang tentang perjalanan menjadi sebuah negara-bangsa. Sejak era kerajaan-kerajaan besar seperti Majapahit dan Sriwijaya hingga penjajahan Belanda yang berlangsung lebih dari tiga abad, Indonesia telah melewati berbagai fase pembentukan identitas. Salah satu kekuatan Indonesia adalah kemampuannya untuk beradaptasi dengan perubahan zaman, tetapi tanpa kehilangan akar budayanya.

Benedict Anderson dalam Imagined Communities menyatakan bahwa negara-bangsa bukanlah entitas yang lahir secara alamiah, melainkan konstruksi sosial yang terbentuk melalui proses historis. Dengan demikian, menjadi Indonesia adalah proses historis yang terus berjalan dan tidak pernah selesai. Salah satu momentum penting dalam sejarah pembentukan bangsa Indonesia adalah Sumpah Pemuda 1928, di mana bahasa Indonesia dinyatakan sebagai bahasa pemersatu. Dalam konteks waktu, keputusan ini menunjukkan bahwa bangsa Indonesia memilih untuk maju bersama, meski memiliki keragaman bahasa yang luar biasa. Padahal, seperti yang diungkapkan Anderson, beberapa bahasa daerah seperti Jawa, Sunda, atau Bugis memiliki tradisi kesusastraan yang lebih tua dan lebih kaya daripada bahasa Melayu, yang menjadi dasar bahasa Indonesia.

Namun, apa yang terjadi setelah Sumpah Pemuda adalah bukti sebuah keberhasilan nasionalisme bahasa. Bahasa Indonesia bukan hanya alat komunikasi, tetapi juga instrumen untuk menciptakan identitas nasional yang inklusif. Meski begitu, di era modern ini, kita perlu menjaga agar proses globalisasi tidak melunturkan kekayaan bahasa dan budaya lokal. UNESCO menuturkan setiap dua minggu ada satu bahasa daerah di dunia yang punah karena tidak ada lagi penuturnya. Di Indonesia, ada beberapa bahasa daerah yang terancam punah. Kehilangan bahasa berarti kehilangan perspektif dan cara pandang lokal yang unik terhadap dunia. Dengan demikian, kebijakan pendidikan bahasa dan budaya di Indonesia harus lebih serius memperhatikan pelestarian bahasa daerah sebagai bagian integral dari identitas kebangsaan kita.

Baca juga:

Momentum sekarang adalah saat yang tepat untuk kembali mengenal diri sebagai bangsa yang berperadaban. Modernisasi yang kita hadapi saat ini tidak boleh menjadi alasan untuk meninggalkan kebudayaan lokal. Alih-alih menganggap adat istiadat sebagai sesuatu yang usang, kita harus melihatnya sebagai sumber kekuatan yang bisa diadaptasi untuk menyelesaikan berbagai masalah modern. Di banyak masyarakat adat Indonesia, konsep gotong royong, solidaritas sosial, dan harmoni dengan alam telah menjadi bagian dari cara hidup mereka selama berabad-abad. Nilai-nilai ini bisa menjadi solusi atas tantangan sosial dan ekologi yang semakin kompleks di era modern.

Bagian Tiga: Negara-Bangsa

Bahasa Indonesia telah menjadi simbol persatuan bangsa sejak awal abad ke-20, tetapi nasionalisme tidak berhenti pada bahasa. Dalam era pasca-kemerdekaan, nasionalisme Indonesia harus terus berkembang untuk menghadapi realitas baru. Salah satu tantangan utama dalam memahami nasionalisme Indonesia adalah menghindari bentuk nasionalisme yang semu dan bias. Nasionalisme yang semu terjadi ketika identitas nasional dipaksakan secara homogen tanpa memperhitungkan keragaman di dalamnya. Sedangkan nasionalisme yang bias terjadi ketika kebijakan-kebijakan nasional hanya menguntungkan segelintir kelompok atau wilayah.

Untuk mencapai Indonesia yang benar-benar maju pada 2045, kita harus membangun bentuk nasionalisme yang inklusif dan berkelanjutan. Di bidang ekonomi, misalnya, kebijakan harus lebih berpihak pada pengembangan ekonomi lokal, terutama di wilayah-wilayah yang selama ini terpinggirkan. Di bidang ekologi, kita harus menerapkan solusi berbasis kearifan lokal dalam mengatasi masalah lingkungan, seperti perubahan iklim dan degradasi lahan.

Selain itu, modernisasi di Indonesia harus berorientasi pada nilai-nilai lokal yang dimodernisasi sebagai solusi atas berbagai persoalan sosial, budaya, dan politik. Misalnya, nilai gotong royong bisa diadaptasi dalam sistem politik modern untuk memperkuat demokrasi partisipatif. Dalam konteks sosial, prinsip-prinsip solidaritas dalam masyarakat adat bisa menjadi model bagi pembangunan sosial yang lebih adil dan inklusif. Di bidang ekologi, banyak komunitas adat yang memiliki sistem pengelolaan lingkungan yang berkelanjutan, seperti tradisi Subak di Bali dan Sasi di Maluku.

Oleh karena itu, menjadi Indonesia adalah proses yang memerlukan kesadaran kolektif untuk terus memodernisasi nilai-nilai lokal tanpa kehilangan esensi dari apa yang membuat kita unik sebagai bangsa. Tantangan globalisasi dan modernisasi harus dihadapi dengan kepala dingin dan strategi yang cerdas. Jika kita hanya mengejar kemajuan ekonomi tanpa mempertimbangkan aspek sosial dan budaya, kita berisiko kehilangan jati diri sebagai bangsa yang berperadaban.

Kesimpulan

Menjadi Indonesia bukan sekadar perjalanan sejarah yang panjang, ini adalah proses yang melibatkan ruang, waktu, dan pembentukan negara-bangsa. Sebagai negara maritim yang luas, Indonesia menyimpan potensi besar, bukan hanya dari sumber daya alamnya, tetapi juga dari kearifan lokal yang tersebar di seluruh nusantara. Kearifan lokal ini adalah fondasi nasionalisme yang seharusnya tidak hanya dipahami sebagai kebanggaan masa lalu, tetapi juga sebagai kekuatan untuk membangun masa depan yang lebih baik.

Dalam lintasan waktu yang panjang, dari era kerajaan hingga kemerdekaan, kita belajar bahwa menjadi Indonesia tidak berarti memaksakan homogenitas. Sebaliknya, identitas nasional kita justru berakar pada keberagaman. Inilah yang membedakan kita sebagai bangsa: kemampuan untuk terus berkembang tanpa kehilangan jati diri. Di tengah arus globalisasi yang semakin kuat, kita dihadapkan pada pilihan penting. Apakah kita akan memilih modernisasi yang melupakan nilai-nilai lokal? Ataukah kita akan menggabungkan kemajuan teknologi dengan kearifan yang sudah diwariskan selama berabad-abad?

Kita sekarang berada di momen penting sejarah, menjelang Indonesia emas 2045. Jika kita ingin mencapai visi ini, kita perlu lebih dari sekadar kemajuan ekonomi. Kita perlu mengembangkan nasionalisme yang inklusif, yang mencakup semua elemen masyarakat, dan modernisasi yang berpijak pada akar budaya yang kuat. Dengan pendekatan ini, kita akan membangun Indonesia yang tidak hanya kaya secara material, tetapi juga berperadaban tinggi, memajukan nilai-nilai keberlanjutan, keadilan sosial, dan kebersamaan.

Menjadi bagian dari Menjadi Indonesia adalah memilih untuk kembali pada akar kita sebagai bangsa, sambil tetap melangkah ke depan. Ini adalah panggilan untuk merangkul identitas primordial kita—nilai gotong royong, kearifan lokal, dan kekayaan budaya—seraya kita bersama-sama menciptakan masa depan yang tidak melupakan asal-usul kita. Mari kita menjaga agar modernisasi tidak melunturkan kekayaan budaya kita, tetapi justru memperkaya dan memperkuatnya. Dengan berbuat demikian, kita bukan hanya menjadi bangsa yang maju, tetapi juga bangsa yang tetap setia pada nilai-nilai luhur Indonesia. (*)

 

Editor: Kukuh Basuki

 

Zidan Al Fadlu

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email