Jejak Luka dalam Balada Supri: Kekerasan, Modernisme, dan Depolitisasi

Via Ajeng

3 min read

Membaca Balada Supri karya Mochamad Nasrullah terasa seperti memasuki lorong gelap yang dipenuhi cermin retak. Novel ini membawa pembaca menelusuri kehidupan lima generasi, dari perompak, preman, hingga mahasiswa, dalam alur yang menyentuh dan penuh ironi. Lebih dari sekadar narasi lintas zaman, novel ini menjadi ruang kontemplasi yang memperlihatkan bagaimana kekerasan, modernisme, dan depolitisasi menjadi kekuatan yang membentuk identitas individu dan masyarakat.

Balada Supri ditulis dan dipublikasikan menjadi juara ketiga dalam sayembara novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) pada 2018, ketika momen Reformasi sudah berlangsung sekitar 20 tahun. Kehadiran novel ini di tengah masyarakat tak hanya mengubah wacana mengenai perompak dan preman yang identik dengan kekerasan dan kriminalitas menjadi subjek yang kritis terhadap ketidakadilan, penuh empati dan manusiawi. Bahkan kemudian mengubah tokoh preman menjadi penulis kritis serta mahasiswa sebagai penulis cerita.

Narasi Kekerasan: Warisan dan Kritik Sosial
Kekerasan dalam Balada Supri bukan hanya tindakan fisik; ia adalah bahasa yang diwariskan lintas generasi. Tokoh Djaka, seorang perompak yang melawan kolonialisme, menjadi lambang perlawanan rakyat kecil terhadap ketidakadilan. Namun, tindakan heroiknya membawa stigma sosial yang diwariskan kepada keturunannya. Anak-anak Djaka tak mewarisi kejayaan, melainkan trauma dan beban untuk terus bertahan di dunia yang semakin tak memberi ruang bagi idealisme.

Baca juga:

Dalam wacana yang dibangun Nasrullah, kekerasan tak hanya direpresentasikan sebagai tindakan destruktif, tetapi juga sebagai ekspresi cinta, dendam, dan ketidakberdayaan. Supri Kumbang, misalnya, seorang preman yang memperjuangkan hak buruh, menunjukkan sisi manusiawi yang penuh paradoks. Ia mampu melawan para penguasa pabrik, tetapi hatinya luluh di hadapan cinta yang tak berbalas. Sikapnya terhadap Angsa Jelita, yang menolaknya mentah-mentah, menunjukkan dimensi lain dari kekerasan: ia adalah respons terhadap penghinaan sosial yang dilembutkan oleh kemanusiaan.

Melalui narasi kekerasan, Nasrullah tak hanya mengungkap sisi gelap manusia, tetapi juga menyampaikan kritik terhadap struktur sosial yang melanggengkan kekerasan sebagai cara bertahan hidup. Dalam perjalanan Djaka hingga Supri Burung, pembaca diajak melihat bagaimana kekerasan terpolitisasi, dilembagakan, dan akhirnya, menjadi warisan yang sulit dihindari.

Modernisme dan Erosi Tradisi
Balada Supri juga menyoroti benturan antara tradisi dan modernitas, di mana modernisme tampil sebagai kekuatan yang menenggelamkan unsur-unsur magis dan budaya lokal. Di masa Djaka, ajian gelombang gunung dan dukun beranak menjadi bagian integral dari kehidupan masyarakat. Namun, pada era Supri Burung, simbol-simbol itu perlahan kehilangan tempatnya. Dukun yang dulu dihormati kini dianggap usang, sementara ajian-ajian magis digantikan oleh logika dan teknologi modern.

Transformasi ini menggambarkan proses depolitisasi yang halus tetapi signifikan. Dengan hilangnya tradisi, komunitas kehilangan sumber kekuatan kolektifnya. Nasrullah menggunakan tokoh Si Nenek, seorang dukun beranak yang kini terlupakan, guna menunjukkan bagaimana modernitas mengikis peran-peran tradisional yang pernah menjadi penopang struktur sosial. Dalam dunia yang didominasi oleh telepon pintar, kopi mahal, dan diskusi akademis, tradisi menjadi kenangan samar yang tersimpan di sudut ingatan.

Baca juga:

Nasrullah menggambarkan modernisme sebagai pedang bermata dua. Di satu sisi, ia membawa kemajuan; di sisi lain, ia mencipta alienasi dan hilangnya akar budaya. Supri Burung, sebagai generasi terakhir dalam novel ini, menjadi simbol dari generasi yang kehilangan arah. Ia hidup di tengah gemerlap modernitas, tetapi merasa terasing dari tradisi leluhurnya. Dalam pergulatan ini, Nasrullah mengajukan pertanyaan mendasar: apa yang sebenarnya kita dapatkan dari modernitas, dan apa yang kita korbankan?

Depolitisasi dan Kehilangan Identitas Kolektif
Salah satu lapisan menarik dalam Balada Supri adalah bagaimana Nasrullah mengangkat tema depolitisasi generasi muda. Jika Djaka dan Supri Kumbang melibatkan diri dalam perjuangan melawan ketidakadilan, Supri Burung justru hidup dalam realitas yang serba terfragmentasi. Ia sibuk dengan rutinitas akademik, diskusi di kafe, dan pencarian cinta, tetapi tak memiliki keterlibatan sosial yang mendalam.

Kondisi ini mencerminkan fenomena generasi modern yang terjebak dalam individualisme. Dalam novel, Supri Burung menjadi representasi dari generasi yang kehilangan semangat kolektif dan identitas politiknya. Ia tak lagi melihat dunia sebagai medan perjuangan, melainkan sebagai ruang untuk bertahan dan mencari kenyamanan pribadi.

Narasi ini menjadi kritik terhadap bagaimana modernisme membentuk ulang orientasi nilai masyarakat. Dengan hilangnya tradisi dan makna kolektif, individu menjadi lebih fokus pada dirinya sendiri, sementara struktur sosial yang lebih besar diabaikan. Melalui perjalanan Supri Burung, Nasrullah mengajak pembaca merenungkan dampak dari proses ini: apakah generasi muda benar-benar bebas, atau justru terperangkap dalam keterasingan yang diciptakan oleh modernitas?

Manusia di Persimpangan Jalan
Mochamad Nasrullah dalam Balada Supri menyuguhkan narasi yang kompleks akan transformasi lintas generasi, menggambarkan evolusi masyarakat dari dunia yang sarat tradisi dan mistisisme menuju era modernisme yang rasional dan saintifik. Melalui penghilangan elemen-elemen supranatural dan mistis yang kuat di generasi awal, dan menggantikannya dengan tokoh-tokoh yang mengandalkan logika, teknologi, dan pemikiran modern di generasi berikutnya, Nasrullah menekankan pentingnya adaptasi dan kemajuan sebagai strategi utama bertahan hidup di dunia yang terus berubah.

Nasrullah hendak membabarkan bahwa modernisme adalah kemanusiaan yang berkembang—meninggalkan ketakutan irasional dan praktik kuno guna menemukan cara baru menghadapi tantangan hidup. Tak sekadar perjalanan fisik antar generasi, melainkan transformasi batin yang menuntut keberanian untuk melampaui batas-batas lama dan menciptakan realitas baru yang lebih rasional, adil, dan manusiawi. Dengan begitu, Nasrullah seakan memberikan kerangka berpikir bahwa untuk menjalani hidup yang realistis di zaman sekarang, perlu siap meninggalkan yang lama dan mengadopsi yang baru dengan cara yang bijaksana dan reflektif.

Melalui Balada Supri, Nasrullah menawarkan ruang perenungan bagi pembaca, bahwa modernisme adalah proses evolusi pemikiran dan tindakan. Adalah panggilan untuk terus menerus memperbaharui diri, menolak stagnasi, dan menerima perubahan sebagai esensi dari kemajuan manusia. Dengan demikian, dukungan terhadap modernisme yang dilakukan Nasrullah adalah dengan membingkai narasi yang membawa pembaca berpikir kritis tentang tradisi, menghadapi tantangan dengan rasionalitas, dan terus berinovasi mencari makna dan tujuan hidup di era yang terus bergerak maju. (*)

 

Editor: Kukuh Basuki

 

Via Ajeng

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email