Aku anak perempuan, kadang pembangkang, yang sedang belajar dan mencoba menata hubungan manusia dengan Tuhan, Alam, maupun Manusia.

Mengakrabi Seni Tradisi Wonosobo dalam Sejilid Bunga Rampai

Lysandra Zulfa Anindita

4 min read

Selain hangatnya pelukan Ibu, memori terjauh yang dapat saya ingat sewaktu kecil adalah senandung Sulasih Sulanjana, salah satu lagu pada kesenian Lengger yang saya dengar mulai dari dalam gendongan.

Ada juga bebunyian pong dur pong dhem pong dur pong yang tercipta dari kuningan berbentuk bulat berputing yang digantung menyerupai gong, tapi berukuran kecil. Benda magis itu bernama bendhe, sebuah alat musik tradisi yang wajib dimainkan pada berbagai kesenian tradisi seperti Lengger atau Imblig di Wonosobo. Dengan kata lain, semenjak balita, saya selalu dekat dengan kesenian tradisi yang ada di tempat saya lahir itu.

Dengungan bendhe dan lelagon itu semacam bibit kecil yang tumbuh dalam jiwa saya. Ia terus tumbuh menjadi perasaan cinta yang lebat seperti pohon. Bagaikan buah yang jatuh tak jauh dari pohonnya, hingga kini saya selalu merasa terpanggil ketika mendengar klenengan nyaring yang berasal dari gamelan di mana pun saya berada. Seolah-olah rasa cinta itu sudah melekat pada diri saya walaupun saya mulai tergilas dengan euforia BTS beserta Army-nya.

Bibit yang telah tumbuh itu ternyata juga menumbuhkan kebutuhan saya untuk memahaminya. Mungkin karena sejak balita sampai duduk di bangku sekolah saya terjebak pada cinta buta, yang diterima begitu saja tanpa mengenali maupun paham tentangnya, saya justru merasa terasing dan tidak tahu apa-apa sehingga seperti ada yang kurang ketika sedang bercinta dengannya.

Mengulas kembali kebudayaan lokal dan kesenian tradisi merupakan salah satu upaya untuk memahami bibit tadi, agar tidak terasing. Paling tidak, pencarian itu yang dapat saya lakukan atas dasar rasa cinta dan kekaguman yang terpupuk sedari kecil.

Baca juga:

The Dance of Thousand Years

Spirit pencarian itu juga sangat saya rasakan ketika mengamati tulisan-tulisan yang ada pada buku The Dance of Thousand Years. Buku setebal sembilan puluhan halaman ini disusun oleh salah satu kolektif yang ada di Wonosobo, yaitu Sekitar Kita Kreativa. Buku ini diinisiasi oleh Doni Singadikrama dan Moch. Alvi, serta diisi oleh beberapa kontributor yang mempunyai latar belakang berbeda-beda. Sebenarnya, buku ini terbilang cukup baru, dicetak oleh Gulma Press pada pertengahan Juli 2023 lalu. Buku ini juga merupakan edisi pertama dalam proyek jangka panjang yang berbentuk terbitan triwulan.

Sejak melihat cover buku, saya langsung tertarik dengan ilustrasinya. Gambar gamelan, kuda lumping, topeng, dan hewan-hewan mitologis, dipoles epic dengan warna-warna terang. Font unik yang digunakan pada judul juga meramaikan halaman cover, walaupun sekilas dilihat agak sulit terbaca. Namun, dengan melihat cover-nya saja, saya jadi bisa membayangkan betapa beragamnya buku ini.

Ternyata benar saja, ketika saya mulai membuka lembar-lembarnya, saya disuguhkan dengan beragam tulisan dan ilustrasi yang membicarakan hal-hal seputar budaya lokal Wonosobo. Dengan bertajuk “si-” yang diambil dari awalan nama orang atau sebagian desa di wilayah Dieng maupun Wonosobo, buku ini hadir sebagai langkah awal untuk menjadi media dan wadah bagi berbagai reinterpretasi terkait budaya lokal dan ragam seni kerakyatan.

Topik yang dibicarakan juga lintas disiplin alias menggunakan pendekatan dari berbagai bidang pengetahuan sesuai dengan latar belakang para kontributor. Topik itu disampaikan dalam bentuk esai personal kritis. Contohnya, tulisan Gardika Gigih, seorang musisi yang menceritakan tentang pengalaman musikal dan spiritualnya ketika berkenalan dengan bundhengan, alat musik ajaib yang mengeluarkan suara satu set bendhe dan kendang hanya dari satu instrumen saja. Contoh lainnya adalah tulisan dari Benedictus Kristiadi Gunawan, mahasiswa psikologi yang membedah fenomena kesurupan dengan kacamata psikoanalisis.

Tidak hanya itu, yang membuat saya keheranan adalah dimuatnya dialog antara Doni, Agus WP, Erwin, dan Aristyan yang tengah berdiskusi. Pembicaraan mereka seolah dipotret dan dijadikan bahan bacaan yang menarik. Pasalnya, apa yang mereka bahas sangat luas, mulai dari apa itu tari Topeng Lengger, sejarahnya, lintas budaya beserta politiknya, dan referensi maupun pengetahuan ulayat tentangnya.

Walaupun terkesan ngalor-ngidul tidak terstruktur, tapi narasi-narasi mereka juga membuahkan pengetahuan baru, setidaknya bagi saya pun masyarakat Wonosobo lainnya. Seperti keterkaitan antara kesenian Wonosobo dengan Cirebon, pemetaan geografis, hingga kemungkinan hibriditasnya. Padahal, topik-topik ini jarang dibicarakan dan ditemukan dalam literasi maupun pengetahuan umum di masyarakat.

Pada lembar-lembar selanjutnya, sesuai dengan tujuannya sebagai media dan wadah bagi berbagai reinterpretasi lintas disiplin, buku ini juga memuat kreativitas yang mereka artikulasikan dengan wujud arsip berupa fotografi maupun gambar. Misalnya, “cergam” karya Doni Singadikrama yang mengabadikan fenomena pertunjukkan Imblig Dhem—salah satu kesenian kuda lumping khas Wonosobo—dengan cerita bergambar yang diilustrasikan seperti komik. Kemudian, ada arsip fotografi yang diambil dari berbagai sudut pagelaran seni oleh teman-teman Sekitar Kita Kreativa. Dengan adanya ilustrasi maupun arsip foto yang ditampilkan, saya merasa pembaca bisa mendapatkan gambaran lebih jelas dan lebih dekat dengan topik-topik yang dibicarakan.

Buku ini juga mengarsipkan wawancara bersama seniman tradisi yang sedang naik daun, yaitu Agung Wahyu Utomo. Beliau adalah ketua sanggar Setyo Langen Budoyo (Eselbe) yang sedang digandrungi masyarakat Wonosobo, Temanggung, dan sekitarnya karena pertunjukkan Imblig Dhem yang mereka bawakan. Topik yang dibahas tidak hanya dari segi proses kreatif maupun eksistensi sanggarnya saja, tapi juga landscape sosial, kebudayaan, dan berbagai isu tentang kesenian rakyat yang melingkupinya.

Di bagian akhir, saya kembali disuguhkan diskusi ngalor-ngidul dari teman-teman Sekitar Kita Kreativa yang diberi judul sebuah obrolan penutup dalam babak pembuka. Dalam sesi penutup ini, mereka berangkat dari perbincangan tentang mendem atau kesurupan dan berbagai sudut pandang tentangnya. Mulai dari fenomena mendem yang bisa menjadi primadona pertunjukkan, tata cara kesurupan di berbagai daerah, mendem yang identik dengan hal-hal mistis dan makhluk astral, hingga keterkaitannya dengan misi kedaulatan bersama. Seperti pertanyaan Doni:

“Entitas seperti itu apakah bisa diajak bernegosiasi? Misal … Doni hendak bilang kalau Dieng sedang tidak baik-baik saja …. Tapi siapa saya, kami, untuk bisa begitu saja didengarkan?

Apakah mungkin, di antara entitas tersebut, terutama entitas yang berada di kawasan Dieng, ada yang bisa diajak untuk berjuang bersama? … Mengajak mereka bersama-sama melawan rusaknya bumi Dieng?” (Hal. 81)

Pertanyaan tersebut disambut dengan berbagai respons dan pertanyaan lanjutan dari forum. Mereka mencoba meraba berbagai kemungkinan jawaban yang diperoleh dari saling-silang referensi, hingga menutup buku ini dengan ending yang menggantung. Keresahan di situ sulit didamaikan hanya dengan menumpahkan riak-riak perlawanan. Maka, menarik kiranya jika kita menutup pertanyaan itu dengan melihat kata penutup pada cover bagian belakang, yaitu “nguri-uri kabudayan is an act of activism”. Melestarikan budaya adalah salah satu bentuk pergerakan.

Baca juga:

Cinta, Dedikasi, dan Tawaran

Setelah saya membaca secara keseluruhan isi buku ini, saya bisa melihat dedikasi dan kecintaan putra-putri daerah terhadap kebudayaan Wonosobo yang sangat kaya. Hal ini terhubung dengan klaim saya pada paragraf awal tulisan, yaitu tentang mengulas kembali kebudayaan lokal dan kesenian tradisi kita sebagai upaya memahami maupun memenuhi hasrat kecintaan yang terpupuk dari kecil.

Spirit itu saya temukan dalam tulisan dan perbincangan yang ada pada buku ini. Dengan kata lain, buku ini menjadi wadah sekaligus ekspresi pencarian diri yang mungkin telah tercerabut dari para penulis. Selain itu, bagi saya, buku ini seolah menemani perjalanan saya dengan mengulas kembali kebudayaan yang sedikit-banyak beririsan dengan apa yang sedang saya hidupi sehingga bisa saya jadikan sebagai salah satu referensi.

Bicara tentang referensi, buku ini dapat dijadikan alternatif produksi pengetahuan yang mudah diakses masyarakat. Dalam pengalaman saya, untuk mengetahui referensi maupun literasi seputar kesenian rakyat di Wonosobo sangatlah sulit, apalagi yang dibawakan dengan gaya populer dan bahasa yang dekat dengan keseharian. Oleh karena itu, buku ini bisa dikonsumsi siapa pun, baik itu masyarakat Wonosobo atau masyarakat di daerah lain.

The Dance of Thousand Years menawarkan sebuah perlawanan kecil terhadap percakapan yang membosankan tentang kebudayaan lokal. Buku ini membuat ragam cerita kecil yang kerap diabaikan dapat mengisi ruang kosong, mulai dari muatan lokal yang diedarkan di bangku sekolah, hingga dongengan simbah-simbah di halaman rumah. Strategi membahas kesenian tradisi menggunakan banyak kacamata juga dapat mengisi kekosongan pada pemahaman umum yang menjamur di masyarakat serta memperluas cakrawala kita tentang kebudayaan lokal.

Akhir kata, mungkin Sekitar Kita Kreativa ingin memantik semua pembaca untuk kembali pada bibit kecil yang tertanam jauh semenjak kita masih dalam gendongan seperti kebudayaan lokal, kesenian rakyat, dan apa pun yang dekat dengan kita. Mungkin kita juga perlu kembali menumbuhkan bibit kecil itu menjadi pohon yang lebat dengan kecintaan hingga berbuah dan menjadi tunas baru yang tersebar menjadi hutan lebat dipenuhi cinta dan damai. Seperti slogan yang tertera di cover buku bagian belakang, “nguri-uri kabudayan is an act of activism”, yang artinya mari kita renungkan bersama.

 

Editor: Emma Amelia

Lysandra Zulfa Anindita
Lysandra Zulfa Anindita Aku anak perempuan, kadang pembangkang, yang sedang belajar dan mencoba menata hubungan manusia dengan Tuhan, Alam, maupun Manusia.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email