Suatu hari, di bulan Desember tahun 2024, aku membaca artikel Selo Rasyd Suyudi yang berjudul Tempat Cerita Terbaik di Dunia di website Omong-omong. Dalam pembuka tulisannya, ia membayangkan kehidupan yang ramah bagi semua orang. Terutama untuk curhat, walaupun seremeh apa pun itu ceritanya. Membaca itu, segaris senyum tercurah di wajahku.
Aku juga mengharapkan hidup seperti itu tahu! Apalagi ketika ia menuliskan tentang tren “We Listen We Don’t Judge”. Memangnya itu tren apa? Istilah tersebut sendiri bermakna “Kami Mendengarkan, Kami Tidak Menghakimi”. Atau secara sederhananya, itu adalah sebuah tren ajakan untuk mendengarkan penuh perhatian tanpa menghakimi.
Jadi, di akhir bulan tahun lalu, akun TikTok @bccczsv menampilkan sebuah video empat remaja yang bergantian mengungkapkan rahasia hidup mereka. Sayangnya, setelah viral, konten tersebut dihapus karena mendapatkan teguran dari pihak sekolah.
Beruntungnya, meskipun konten tersebut sudah dihapus, banyak pengguna TikTok lainnya yang ikut-ikut membuat konten seperti mereka. Kala itu, konten ini sangat tidak diduga-duga bisa viral. Soalnya, di waktu yang bersamaan, sebuah konten diskriminatif dengan narasi klise–toksik maskulin–juga mencuat, yaitu tren “Lelaki Tidak Bercerita”.
Baca juga:
- Good Boys Doing Feminism: Membicarakan Maskulinitas dalam Wacana Keadilan Gender
- Penis, Maskulinitas, dan Kekuasaan Simbolik
Entah mengapa, dua tren di atas mengingatkanku pada dua kisah. Di tren pertama, aku jadi mengingat tiga teman sekolahku; Yuki, Faja, dan Bagas. Walaupun konsep yang nge-trend selanjutnya hanya dilakukan oleh dua orang. Setidaknya secara hakikatnya yang penting adalah tidak saling menghakimi, ya, kan?
Jadi, kami berempat di masa sekolah, sering curhat masalah hidup masing-masing. Dan, kami selalu mendengarkan itu, tanpa pernah menghakimi satu sama lain. Nampaknya, hal itu adalah suatu anugerah yang baru saya sadari, setelah belakangan ini sulit sekali mendapatkan momen seperti itu lagi.
Di tren kedua, saya mengingat tokoh bernama Sasana di novel Pasung Jiwa karya Okky Madasari. Jadi, Sasana pernah masuk penjara. Di sana, ia kerap kali mengalami pelecehan seksual dari penjaga sel, meskipun ia laki-laki dan penjaga selnya juga laki-laki. Hal itu membuat dirinya merasa rusak dan hina.
Setelah keluar dari penjara, ia terus merasa dirinya telah rusak dan hina, jika mengingat kejadian di masa lalunya. Maka, ia tidak mau bercerita tentang hal itu. Ingatan itu, hanya ia pendam dalam dirinya.
Akhirnya, ingatan itu terus menggerayangi kepalanya ketika dirinya dihadapkan oleh sepi dan sunyi. Ketika ingatan itu datang, ia merasa sakit, berteriak-teriak, meloncat-loncat untuk mengusir pikirannya, tapi sayangnya ia tidak bisa.
Karena itu, akhirnya ia divonis sakit jiwa, dan hidup di rumah sakit jiwa. Barulah, di sana ia mendapatkan teman cerita bernama Banua. Saat bersama Banua, ia bisa mengobrol dengan begitu serius dan dalam, seperti orang kebanyakan.
Kenapa ini bisa terjadi? Kenapa saat Sasana mulai jujur akan dirinya dan terbuka akan masa lalunya. Ia, jadi terlihat seperti orang yang tidak sakit jiwa?
Nah, Kejadian itu, mengingatkan saya Sigmund Freud, yaitu pembahasan kesadaran dan bawah sadar dan teknik “asosiasi bebas”-nya saat mengobati pasiennya.
Kesadaran dan Ketidaksadaran
Jadi, Freud menggambarkan pikiran manusia seperti gunung es. Bagian kecil di permukaan adalah kesadaran, semetara bagian besar yang tersembunyi di bawah permukaan adalah alam bawah sadar.
Menurut Freud, kesadaran hanya mencakup sedikit pikiran kita, sementara alam bawah sadar lebih banyak menyimpan banyak ke dalam pikiran kita, seperti insting, nafsu, kenangan, dan trauma. Singkatnya begini, alam bawah sadar adalah tempat di mana kita menyimpan hal-hal yang tersembunyi, bahkan disembunyikan. Entah itu perasaan menyenangkan atau memalukan.
Ada contoh menarik dari Freud saat memberikan kuliah di Amerika. Ia menggambarkan seorang pengacau yang membuat keributan di aula. Ia membuat kegaduhan dan akhirnya ia diusir oleh penjaga-penjaga yang berbadan besar. Lalu, untuk mencegah pengacau hadir kembali, penjaga itu berjaga-jaga di pintu. Benar saja, pengacau itu bersikeras untuk masuk ke aula lagi.
Freud menggambarkan aula sebagai kesadaran, kemudian pengacau sebagai dorongan bawah sadar, lalu orang-orang yang berjaga itu adalah mekanisme pertahanan jiwa yang mencegah dorongan-dorongan alam bawah sadar itu muncul ke permukaan.
Begitulah ilustrasi Freud tentang proses penekanan, yaitu terjadi dengan pikiran-pikiran dan dorongan-dorongan hati yang ditekan. Menurut Freud, manusia terus-menerus hidup di bawah tekanan pikiran yang berusaha untuk membebaskan diri dari alam bawah sadar.
Teknik Asosiasi Bebas
Jadi, untuk membantu pasiennya menghadapi trauma yang tersembunyi di alam bawah sadar, Freud mengembangkan teknik “asosiasi bebas”. Apa itu? Yaitu, teknik terapi psikoanalisis yang memungkinkan pasien untuk mengungkapkan segala ingatan dan perasaannya.
Dalam teknik ini, pasien diminta berbaring santai dan mengungkapkan apa saja yang ada di ingatan dan perasaan, meskipun itu peristiwa yang tidak menyenangkan dan memalukan. Ini bertujuan untuk mendobrak hal-hal yang menutupi trauma.
Menurutnya, jika trauma terus ditutup-tutupi, ini bisa menjadi masalah psikologis. Semakin keras kita berusaha melupakan atau menutup-nutupi sesuatu, semakin besar kemungkinannya kita memikirkannya secara tidak sadar.
Inilah yang menarik dari teknik asosiasi bebas. Kita jadi belajar untuk lebih terbuka dan jujur pada orang lain. Maka, menormalisasikan curhat-curhat, meski hal remeh, itu adalah sebuah hal baik. Karena, curhat itu bisa menjaga keseimbangan mental kita.
Baca juga:
Yang pasti, juga harus ada seseorang yang ikhlas mendengarkan curhat kita, dan tidak menghakimi. Ini masalahnya. Jarang sekali! Maka, secercah harapan tumbuh ketika saya membaca tulisan Selo Rasyd Suyudi. Sambil tersenyum, saya membayangkan apa yang ditulisnya kelak menjadi hal mudah menjadi kenyataan.
Lalu Bagaimana Jika Kita Tidak Punya Teman Curhat?
Saya punya dua saran. Pertama datang ke psikolog atau psikiater. Tapi, saya tahu itu memerlukan biaya. Tidak semua orang punya kesempatan untuk itu.
Kedua adalah menulis, seperti saran Selo Rasyd Suyadi dalam tulisannya. Menurutnya, menulis bisa membuka jalan ke sebuah tempat, di mana seseorang bisa berdialog dengan diri sendiri. Menulis bisa dilakukan di mana saja, dan tidak perlu mengeluarkan uang banyak-banyak.
Ya, saya sangat setuju dengan sarannya. Beberapa tahun belakangan ini, saya pun kerap menulis untuk sekadar curhat. Ya, mau bagaimana lagi? Teman-teman yang bisanya diajak curhat telah pada sibuk. Jadi, menulis adalah satu-satunya jalan agar saya tetap waras. (*)
Editor: Kukuh Basuki