Massa Aksi di Dalam (Burung)
di sini nyawa serupa upil yang kau keruk dengan kukumu—kemudian kau melemparnya tanpa kesadaran.
di sini hak manusia serupa air kencing yang kau kucurkan; di kloset, di tepian jalan, di tembok-tembok, atau di selokan mampet.
di sini ruang hidup serupa tikus got yang mati; di jalan-jalan, dilindas, menyatu tak berjejak—dan hanya sumber segala penyakit.
di sini massa aksi serupa burung di dalam sangkar—yang meregang nyawa dalam kebosanan.
(Jogja, 2023)
–
Sajak Malam Minggu
orang bilang hari sabtu adalah
hari perayaan bagi setiap orang
setelah lelah memikul, memahat,
serta mencangkul
orang bilang hari sabtu adalah
malam yang sakral untuk bersulang
membuang hajat
membuang penat
membuang pekat
pesta lampu warna warni
di langit-langit
di gedung-gedung
di sepanjang jalanan kota
selamat bermalam minggu, kekasih
selamat merayakan malam yang panjang
satu kotak korek pentul siap menyalakan petasan / merayakan malam para kelas pekerja dan setiap hati yang bernyawa—dengan gelora suar di antara gelombang awan hitam!
ingin sekali rasanya aku sekedar mengetuk pintu rumahmu / menanti dirimu dengan pipimu yang merah, matamu yang berbinar
dan dengan gaunmu yang hitam serupa darah kaum quraisy tumpah di tangan pejuang wanita perang uhud / kemudian akan kuselipkan satu tangkai mawar di antara telunjuk dan jempolmu yang manis tanpa asin sedikitpun.
(Bekasi, 2022)
–
Antrean Terlalu Panjang
di area parkir tempatku kerja
berjejer mobil-mobil mewah
dari bmw, mercedes, pajero, sampai toyota
ada juga anjing kampung, dan tikus-tikus kota
mereka hidup di bawah pohon bambu
yang lunglai dan tak elegan sedikitpun
sedangkan di dapur ada temanku
bujangan urban dari tanjung perak yang lusuh dan lecek
dan ada aku yang bau kencur lusuh juga lecek
kami tukang masak yang bau minyak
kami kerap berandai-andai
memosisikan diri seperti
pengunjung kedai
naik mobil mewah
atau roda dua tanpa diengkol
bau parfum mahal yang bisa tahan 12 jam
kerah baju yang tak menguning
sepatu sporty branded jutaan
jam tangan anti air
hingga gadget kamera belakang tiga biji
lagi-lagi itu hanya andai-andai
aku tetap menjalani ini tanpa tapi
begitupun temanku
ya, lebih baik kami menjadi sufi
aku tak ingin menjelaskan atau
memberi sedikit gambaran
apakah aku atau temanku berusaha
tanyakan saja pada dirimu
aku tak peduli
aku ingin lanjut memasak
ada antrian borjuasi
yang menanti
hidangan kami.
(Sleman, 2023)
–
Air Mata Pohon Puspa
tubuhnya menggigil
di bawah pohon puspa gunung ciremai berputar perlahan mengikuti jarum jam
kian hari makin menggigil
dengan kesadaran penuh
hanya berdiri lemas
melihat semuanya telah dirampas
seekor burung dara
menopang dirinya
pada ranting
yang getir—
yang sekarat
kejang-kejang
dan mengeluarkan busa
racun di bak mandi
racun di sumur
racun di teko
racun racun racun
di setiap mata air
tak sanggup lagi menahan
tekanan semakin kencang
menerjang seluruh tubuhnya
hancur tak tersisa.
(Sleman, 2023)
–
Kaleidoskop
membayangkan, dunia berantakan
kaki dan tangan, digerogoti hewan
membayangkan, hidup kesepian
jiwa dan raga, digerogoti hewan
alam begitu liar, terus mengejar
ia lihatnya berpancar
dengan sekuntum mawar
orang-orang berjajar
di dalam altar
dengan darah bertebar,
lalu terbakar
kota hancur porak poranda, melayang
jiwa jiwa kesepian, terbang
jauh dari angan-angan, hilang
kaki melangkah tak ada pandang
kota hancur porak poranda, melayang
kelindan lampu itu, benderang
dekat dari hati mati, menang
dan menang yang tak memberi menang
oh,
kelam demi kelam
hanya buram, suram
begitu pekat, tiada apapun
hanya terikat, tertegun
nyawa melayang sedekat nadi
kita menuju kemenangan sejati
putus asa makanan sehari-hari
ia terbang melampaui sunyi
kota hancur porak poranda
kota hancur porak poranda
kota hancur porak poranda!
(Jogja, 2023)
–
Merapal Gugatan, Menerjang Suara
menjelang pemilu
setiap pintu
menjadi begitu pilu
bagi aku dan kamu
mereka meminta suara kita,
memaksa menari dengan suara-suara kita
suara kita yang begitu sialan;
suara tukang parkir di persimpangan jalan, pedagang kaki lima yang mencari keberuntungan
gesekan karung para pemulung
hingga jeritan bocah di setiap sudut kota;
“bagaimana mereka melakukan vandal di tepi-tepi jalan
merusak pandangan
mengganggu pengguna jalan
maruk sialan
bedebah sialan
busuk dan bajingan!!!”
betapa jiwamu begitu segar
ketika realitas yang selalu kita kejar
juga kita perjuangkan
mengolok-olok kita dengan
juluran lidahnya yang sariawan
dan jari tengahnya yang tak bertulang
kita seperti menerima keadaan;
marah, penuh sumpah serapah
membuat kita pasrah
kita juga menggugat diri
sebagai individu seorang diri
dengan segala kekhasan
keunikan dan keotentikan
dan kita juga serupa leviathan
merekonstruksi segala aturan;
sebab itulah hidup
tidak layak bagi para fasis.
tapi bukankah hidup memang politis?
(Jogja, 2020)
*****
Editor: Moch Aldy MA
kerennnnn!!!!
ah, ayahab ini. tapi makasih, ya!