Kejar Bebek
menjelang tujuh belasan
aku mengambil cuti
dan bos mengizinkan
sebab toh toko lagi paceklik.
aku pulang ke rumah orang tuaku
di kaki gunung membiru.
akan diadakan berbagai lomba
di depan rumah pak rt.
aku boleh ikut?
tentu boleh, anak rafa.
kapan sampainya?
kok baru lihat.
inginku menjawab sekenanya.
tapi malah mengobrol
hingga bakda magrib.
esoknya aku main
lomba kejar bebek
sebab tak mampu menjadi
biduan panggung.
dengan mata ditutup
kukejar bebek yang berlari
tapi yang kuseruduk
para pesaing, justru.
ah, ada sorak sorai.
bukan aku pemenangnya.
enggak masalah. enggak masalah.
badan kotor penuh lumpur
tersengat panas matahari
tapi kenapa aku merasa
bebas sekali?
bukankah inilah kemerdekaan itu?
tertawa bersama tanpa peduli
menang atau kalah?
temanku yang merekam
datang padaku.
lucu juga hasilnya.
kalau diunggah ke tiktok
panen like enggak ya?
aku tersenyum.
mungkin, jawabku.
lalu samar-samar terdengar
biduan panggung menyanyikan
ojo dibandingke.
semua berkumpul di jalan
bergoyang hingga habis acara.
hidup itu asyik
asal enggak terlalu dipikirken.
(20 Agustus 2022)
–
Penenun Pelangi
pada suatu senja di ujung dunia,
matahari terbenam dan tak pernah terbit lagi.
hanya rembulan timbul-tenggelam.
malam terang bagaikan siang.
siang gelap bagaikan malam.
di halaman rumah
yang terbuat dari sisa-sisa
senja terakhir di bumi,
di hadapan meja jahit
seorang perempuan duduk bergeming.
matanya demikian awas
saat semburat sinar bulan
meleleh jadi benang-benang gerimis
hap!
dia menangkap dan menenunnya
di mesin bersuara ritmis, satu per satu
klotak! klotak!
klotak! klotak!
hampir sepanjang tahun hujan turun.
lebat dan rapat dan sunyi.
dia menenun tanpa kenal lelah
berjam-jam, berhari-hari,
dan hanya tetirah
saat hujan berhenti.
kepada siapa dia bekerja?
tak ada yang tahu.
di suatu negeri
di ujung ufuk
seorang puan dengan sepenuh hati,
merajut pelangi yang tak pernah
menjadi pelangi. sebab,
saat dia hendak memulai warna ungu
hujan reda dan tak pernah turun lagi.
sama sekali.
(16 Maret 2020)
–
Belajar Hidup
saat usiaku tujuh belas
aku merasa kuat dan mampu
hidup selamanya.
esok selalu ada.
selalu ada esok.
tahu-tahu, saat aku terjaga
dari tidurku yang dangkal
umurku sampai di angka
dua puluh lima.
jam di dinding menunjukkan
pukul empat subuh—
masih terlalu pagi
tapi kantuk sudah pergi.
kau harus beranjak
kerja, kerja, kerja.
matahari memancarkan
pendar nila di ujung ufuk
entah kapan waktu berlalu
kini usiaku lima puluh
mulai mengenal maut
sebagai sobat karib.
siang berganti senja
aku tak mampu terjaga
dengan jerihku sendiri
kau harus berjalan
dengan tongkat penyangga ketiak.
aku bercermin dan menemukan
si tua yang lelah dan menyesal
di ujung petang
aku membayangkan
tujuh puluh tahun hidup
dengan segala
yang mungkin sia-sia.
kenangan ranggas
bersama daun-daun
dan aku belum jua mengerti
bagaimana seharusnya hidup
dengan sepenuh hati.
(6 Juni 2021)
–
Dinding Rumah
lama sudah aku paham
hidup bukan hanya putih dan hitam
tapi butuh banyak upaya
untuk menyadarinya,
saat terjaga di pagi belia
masih saja aku harus
mengingatkan diri
pada fakta itu.
aku bermain angka
untuk mengelabui usia.
ada dua remaja 15 tahun
di umurmu yang ke-30.
hidup dimulai pada umur 40.
tetapi masa muda
bagaimanapun
tinggal cerita
dan aku hanya pura-pura
belum mengalaminya.
aku bagai pelamun
di balik palang kereta
melihat dunia melintas
cepat di hadapan.
bukan lagi penumpang
hanya pemerhati
yang tak berarti.
sebentar lagi aku pulang
ke bilikku yang kecil.
entah kapan dinding rumahku
menjadi sewarna tanah.
di dipan tua itu
aku berbaring dengan perasaan
yang entah apa namanya.
(4 Mei 2021)
–
Malaikat Natal
dari halaman rumah aku melihat
malaikat-malaikat kecil duduk anteng di puncak menara.
kepada dunia yang terluka
mereka tabur bunga pusparona
yang gugur satu per satu
di trotoar, jalan raya, pepohonan,
atap rumah, kabel listrik, mobil, motor,
juga di telapak tangan anak-anak yatim piatu
yang berdiri di dekat tiang lampu.
bunga-bunga itu menjelma Natal
yang menyala redup, tetapi cukup
merentangkan pelukan yang dibutuhkan dunia
lebih dari apa pun.
(Malam Natal, 2020)
–
Malam Musim Panas di Desa Masa Kecilku
krik krik krik krik krik krik krik krik krik krik krik krik krik krik krik krik krik krik krik krik krik krik krik krik krik krik krik krik krik krik krik krik krik krik krik krik krik krik krik krik krik krik krik krik krik krik krik krik krik krik krik krik krik krik krik krik krik krik krik krik krik krik krik krik krik krik krik krik krik krik krik krik krik krik krik krik krik krik krik krik krik krik krik krik krik krik krik krik krik krik krik krik krik krik krik krik krik krik krik krik krik krik krik krik krik krik krik krik krik krik
*****
Editor: Moch Aldy MA