Kader partai dan para simpatisan PDI-P sumringah ketika Megawati Soekarnoputri mengumumkan Ganjar Pranowo sebagai calon presiden. Di sisi lain, partai politik yang telah lebih dulu mendeklarasikan capresnya sibuk mengatur strategi ampuh melawan jagoan PDI-P ini. Komentator politik juga tidak kalah sibuk membagi pandangan tentang mementum ini di media sosial, yang menurut mereka dapat mengubah peta politik yang sudah ada sebelumnya.
Akan tetapi, pandangan kritis terhadap capres Ganjar tetaplah menjadi wacana pinggiran. Pertanyaan-pertanyaan kritis harus diajukan agar kekuatan rakyat progresif tidak lagi kena tipu: apakah benar Ganjar membawa semangat ideologis bagi emansipasi kelas marginal? Dan jika memang benar, apakah itu cukup meyakinkan bahwa Ganjar akan memperjuangkan semangat ideologis mereka? Bukankah Ganjar sendiri berada dalam kekuatan politik dominan yang sifatnya oligarkis?
Setidaknya ada beberapa alasan di balik keputusan untuk menetapkan Ganjar sebagai capres PDI-P. Di kalangan kader PDI-P, Ganjar dianggap memiliki semangat ideologis dan kedekatan dengan rakyat. Selain itu, ia dianggap sangat loyal terhadap partai meski sebelumnya sempat mengalami pengucilan oleh partainya sendiri. Secara pragmatis, Ganjar adalah satu-satunya kader PDI-P yang menurut para pollster memiliki elektabilitas tinggi sebagai seorang capres pada Pemilu 2024. Dengan alasan-alasan tersebut, apakah Ganjar sudah cukup menjadi pemimpin yang mewakili kepentingan rakyat?
Ganjar dan Warisan Politik Indonesia
Semenjak Indonesia lepas dari dekapan otoritarianisme Soeharto dan mengalami demokratisasi pasca 1998, relasi kekuasaan dalam struktur politik Indonesia tidak mengalami perubahan signifikan. Perubahan yang terjadi pasca 1998 ada pada tataran institusional saja, dengan hadirnya institusi-institusi demokratis, penyesuaian konstitusi, serta aturan-aturan baru yang memuat “semangat demokratis” di dalamnya.
Akan tetapi, institusi maupun aturan tersebut dalam perkembangnnya mulai mengalami pelemahan dan kontrol oleh kekuatan dominan. Salah satu wujudnya adalah pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) secara fungsi, aturan, maupun aktor. Padahal KPK selama ini menjadi institusi yang efektif menangani korupsi sejak ia dilahirkan melalui demokratisasi.
Selain itu, hambatan-hambatan juga muncul akibat kepentingan dan kekuasaan oligarki yang ingin mengondisikan ragam institusi sesuai dengan kepentingannya. Hal ini akhirnya berujung pada kekuasaan oligarki yang mengontrol struktur politik Indonesia kontemporer.
Baca juga:
Itulah yang membimbing Robison dan Hadiz lewat karyanya “Reorganising Power in Indonesia: The Politics of Oligarchy in an Age of Markets” (2004). Mereka menyimpulkan bahwa pasca Soeharto, Indonesia hanya mengalami perubahan institusional secara relatif, tetapi tidak mengalami perubahan dalam hal relasi kekuasaan. Relasi kekuasaan tetap sama, yaitu oligarkis. Kekuatan politik lama yang telah terinkubasi dalam struktur politik patronase Orde Baru menyesuaikan diri dalam struktur politik demokratis hanya untuk mempertahankan kepentingan dan dominasi.
Dalam kekuatan oligarki, politisi-pebisnis dan birokrat berupaya meraih kekuasaan politik dan ekonomi untuk tujuan akumulasi privat. Mereka berupaya membajak partai politik, parlemen, dan lembaga pemerintahan yang basis kepentingannya mengontrol dan memengaruhi lembaga, kebijakan, dan sumber daya, untuk kepentingan predatorisnya.
Artikulasi kepentingan oligarki itu terlihat jelas dari produk kebijakan pro-modal besutan koalisi oligarki bernama UU Cipta Kerja. Aktor-aktor perumus, satgas, panitia kerja, hingga pimpinan DPR memiliki afiliasi bisnis, misalnya dalam bidang industri ekstraktif yang paling kental relasi kekuasaan oligarkinya.
Produk kebijakan ini dimaksudkan untuk membuka lapangan kerja, tetapi dengan upah buruh murah, ketidakpastian kontrak kerja, waktu kerja panjang sembari mengabaikan sanksi terhadap para pemilik modal yang nakal, hingga pengusaha batu bara yang bisa bebas royalti dan merusak lingkungan.
Semua ini bertujuan untuk mendukung kepentingan ekonomi para pemilik modal, yang dalam konteks politik Indonesia kontemporer, memiliki relasi kekuasaan dengan elite politik maupun eksekutif negara. Bahkan para pemilik modal tidak jarang menjadi bagian dan terlibat langsung dalam menjalankan fungsi pemerintahan. Misalnya para menteri yang masih bisa menjabat sebagai ketua umum partai politik maupun pebisnis.
Di Indonesia, seorang ketua umum partai bisa memiliki berbagai peran. Selain menentukan keputusan-keputusan partai dalam pertarungan politik, ketua umum partai sering bermain peran di dalam bisnis. Demi menjamin tidak terganggunya peran mereka dalam bisnis, mereka berusaha mendapatkan kekuasaan politik yang akan memperkuat perannya.
Dalam struktur politik Indonesia yang dicirikan oleh kuatnya dominasi kekuatan oligarki, entah itu yang berada di partai politik, parlemen, maupun pemerintahan, apakah Ganjar punya agensi politik yang bebas dari tekanan kekuatan oligarki itu? Atau justru struktur politik oligarkis itulah yang akan menyerap dia ke dalamnya?
Fakta politik Indonesia telah memperlihatkan, figur-figur reformis mantan aktivis 1998 yang mencari peruntungan lewat sistem politik formal pada akhirnya tidak mampu melakukan perubahan dari dalam. Hal ini juga akan berlaku pada diri Ganjar. Bagaimanapun mereka memandang Ganjar sebagai sosok ideoligis yang dekat dengan rakyat, kontestasinya dalam Pemilu 2024 akan menjadi pertarungan yang disokong oleh faksi-faksi oligarki.
Kekuatan oligarki akan mengalokasikan dana kampanye, fasilitas, hingga pendanaan lainnya yang dibutuhkan. Dengan demikian, situasi politik macam ini tidak ubahnya aktivitas jual beli di dalam pasar, di mana uang menjadi satu-satunya barang yang berkuasa. Pada akhirnya Ganjar akan mengalami momen politik yang sama dan berulang, yaitu menjadi perpanjangan tangan untuk memuluskan kepentingan oligarki jika ia terpilih, sebagaimana yang telah suksesornya perbuat, yaitu Presiden Joko Widodo, pada 2014 hingga saat ini.
Baca juga:
Ganjar akan ditantang. Misalnya jika ia memang memiliki semangat ideologis untuk emansipasi kelas marginal, sebagaimana para kader partai dan simpatisan menilainya, bisakah ia resisten terhadap produk kebijakan yang meminggirkan kelas marginal seperti UU Cipta Kerja? Atau bisakah Ganjar resisten terhadap kebijakan ekonomi neoliberal yang selama ini menjadi warna kebijakan ekonomi Jokowi?
Jika tidak, maka sifat ideologis Ganjar sekadar bahan tontonan yang meminta penonton untuk menaruh hormat yang pada dasarnya adalah palsu. Ia akan meruntuhkan setiap klaim yang menyatakan Ganjar adalah sosok ideologis dan merakyat, dan akan menguatkan setiap kritik bahwa Ganjar juga menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kepentingan oligarki
Ganjar dan Oligarki
Oligarki merupakan sistem relasi kekuasaan. Ia bukan subjek personal yang sekadar kaya dan mengontrol politik sebagaimana Jeffrey Winters (2011) pahami dalam kerangka Weberian.
Selama ini, oligarki kerap dipahami sebagai individu yang memiliki sumber daya material dan kekuasaan politik. Padahal, menurut Hadiz dan Robison (2013), oligarki merupakan jaringan kekuasaan skala luas, yang memungkinkan terjadinya konsentrasi kekayaan dan otoritas, serta bagaimana hal tersebut dipertahankan secara kolektif. Jadi, oligarki bukan tentang siapa, melainkan bagaimana.
Ganjar memang bukanlah politisi yang memiliki kerajaan bisnis sebagaimana politisi kelas elite di Indonesia hari ini. Akan tetapi, posisi Ganjar sangat bergantung kepada politisi cum pebisnis dan faksi-faksi oligarki yang akan mendukungnya. Dengan demikian, Ganjar bukanlah oligark yang didefinisikan berdasarkan sumber daya material yang signifikan. Akan tetapi, Ganjar menjadi bagian dari relasi kekuasaan oligarki yang ingin menancapkan kontrol dan dominasinya melalui Pemilu 2024. Kelemahan Ganjar dalam sumber daya material akan diatasi oleh faksi-faksi oligarki yang memiliki sumber daya material mumpuni. Selain itu, infrastruktur kekuasaan dan kekuatan oligarki yang telah dibangun selama ini juga akan dikerahkan untuk bertarung.
Dengan demikian, walaupun secara personal Ganjar bukanlah oligark yang memiliki kekayaan material melimpah sebagaimana pemahaman Winters, Ganjar tetaplah bagian dari relasi kekuasaan oligarki, sebab relasi kekuasaan yang selama ini menopang dan memberinya dukungan untuk bertarung adalah bagian dari kekuatan oligarki.
Istilah “ingatlah siapa bosnya” mungkin dapat memperjelas maksud mengapa Ganjar tetaplah bagian dari relasi kekuasaan oligarki. Istilah ini merupakan ungkapan sarkastik yang dialamatkan kepada Ganjar pasca ia diumumkan oleh partai PDI-P sebagai capres pada Pemilu 2024. Ungkapan ini bukan sekadar sarkasme, melainkan juga ungkapan kritis dari publik untuk membongkar relasi kekuasaan yang mendomplengi Ganjar.
Semacam ada pemahaman dalam masyarakat Indonesia, bahwa para capres yang akan bertarung tidak bisa dilepaskan dari pengaruh para bos yang mendukung dan meminta manfaat dari capres jagoan mereka. Oleh karena itu, pertarungan elektoral dalam hal ini hanyalah pertarungan para bos dan jagoannya, bukan pertarungan yang akan memenangkan kepentingan rakyat.
Baca juga:
Jika pada 2014 Jokowi diboyong oleh kekuatan oligarki di pentas politik nasional, hal serupa terjadi pula pada Ganjar. Hal ini karena kemenangan Ganjar tidak bisa bergantung pada mesin partainya saja, melainkan juga pada sebuah jaringan politik skala luas yang punya kepentingan masing-masing untuk memenangkan Ganjar.
Ganjar tidak memiliki posisi yang kuat untuk menolak segala dukungan pendanaan maupun politik terhadapnya, sebagaimana yang dilakukan Jokowi pada 2014 dan 2019, sebab dalam politik Indonesia yang tidak ideologis, cara-cara politik predatorial akan menjadi bagian dari strategi untuk menang.
Basis relasi kekuasaan yang demikian akan mendorong Ganjar untuk masuk lebih dalam ke bentangan politik oligarki yang membuat ia pada akhirnya tidak bisa keluar. Dalam posisi seperti ini, politik ideologis mengalami impotensi untuk sekadar berfungsi, sebab kontrol, dominasi, dan akumulasi kekayaan adalah satu-satunya hal yang akan dipertimbangkan.
Dengan kata lain, klaim yang menyebut Ganjar sebagai seorang ideologis dan membawa kepentingan emansipasi kelas marginal adalah klaim yang tidak memiliki sandaran material.
“Ingatlah siapa bosnya” menjadi ungkapan kritis yang akan mengingatkan kita untuk tidak kembali terjerumus pada optimisme buta dalam langgam politik Indonesia, sebagaimana rakyat dan gerakan progresif Indonesia lainnya yang tertipu pada 2014 silam.
Jika Pemilu 2024 menjadi wahana pertarungan oligarki untuk merebut dan mempertahankan kekuasaan, kontrol, dan dominasi, pertanyaan tentang apa yang bisa ditawarkan oleh gerakan progresif di Indonesia menjadi relevan untuk diajukan hari ini.
Gagasan kritis dan emansipatif harus bisa dimaterialkan sebagai antitesis dari reorganisasi kekuasaan oligarki. Jika tidak kunjung dilakukan, setiap kontestasi elektoral di Indonesia hanya akan menjadi tanda kegagalan gerakan progresif menghadapi politik Indonesia yang predatoris.
Editor: Prihandini N
perjuangan rakyat melawan oligarki masih panjang . . .