Pada suatu sore yang teduh, saya datang ke warung nasi langganan. Perut sudah terbakar lapar sejak siang hari, ia seakan berteriak memohon keselamatan. Saya pun memesan nasi telur dadar dan segelas es teh manis—hemat dan ampuh, menu andalan warga kos-kosan kere seperti saya.
Lambung terus memanas dan perut masih berteriak, tak ada makan siang dan segelas susu gratis. Di sudut warung, saya hanya duduk lemas dan menunggu di bangku kayu yang reyot. Perlahan, bunyi desis dari dalam dapur warung terdengar, telur yang saya pesan itu langsung diadu dengan minyak panas. Kurang dari sepuluh menit, juru selamat bertubuh piring itu cepat tanggap datang ke meja: nasi porsi jumbo ditutup telur dadar dengan potongan daun bawang yang kering. Tanpa tedeng aling-aling, nasi telur dadar itu saya lahap habis.
Tampaknya, lapar selalu membuat saya kurang peka pada situasi sekitar. Telinga dan mata saya baru sempat melihat kondisi sekeliling. Warung itu ternyata cukup penuh, semua orang sibuk dengan ponselnya. Begitu juga dengan remaja gaul yang duduk tepat di sebelah saya, ia sedang asyik menonton TikTok.
Baca juga:
Suara remix jedag-jedug membuatnya cekikikan, terkadang ia mengangguk kepala sesuai ketuk. Sambil menyeruput es teh manis, telinga saya malah fokus mendengar jedag-jedug dalam kemeriahan TikTok itu. Mata saya mengintip ke layarnya, ternyata wajah yang muncul adalah wajah Prabowo Subianto, lengkap dengan joget gemoy andalannya. Entah algoritma macam apa yang menguasai ponsel itu, joget gemoy berkali-kali muncul di layar, lengkap dengan sorakan “oke gas oke gas” dan irama “teretew”.
Tak pernah saya bayangkan sebelumnya, kampanye capres-cawapres dihelat dengan pendekatan yang koreografis. Jelas bukan tim kampanye dan buzzer kreatif saja yang menari gemoy, tapi justru si pasangan calon itu sendiri yang jadi pusat dalam koreografi gemoy!
Jangankan soal kampanye pilpres, saya tak pernah membayangkan sebelumnya bahwa seorang mantan elite militer berusia 73 tahun jadi panutan dari goyang Tiktok ala Gen Z! Kenyataan yang sulit saya pahami, begitu fiksional rasanya. Memang, joget gemoy itu jelas fenomena politik, ia bagian dari kampanye dan strategi untuk meraup suara Gen Z. Taktik kampanye gegap gempita dari Prabowo-Gibran itu sudah tuntas dikomentari banyak pihak, mulai dari akademisi hingga media-media internasional.
Kuasa Tari, Kuasa Koreografer
Selain fenomena politik, saya pikir joget gemoy juga adalah fenomena estetik, joget sebagai lelaku koreografis ini mengingatkan saya pada gagasan Andrew Hewitt tentang koreografi sosial. Alih-alih menyempitkan koreografi sebatas seni mencipta dan menggubah tari—sebagaimana diuraikan KBBI—Hewitt menggugat batas tentang apa yang selama ini disebut koreografi. Menurutnya, koreografi juga adalah gerak dalam struktur sosial-politik, terutama keteraturan dan keseragaman subjek yang bergerak oleh dan dalam struktur. Tata gerak, bahkan dalam tingkat harian, bagi Hewitt tak lepas dari arahan dan bentukan kekuasaan.
Simulasi yang menarik untuk gagasan Hewitt sebenarnya kita alami sejak SD atau bahkan TK. Mengapa kita patuh dalam pola gerak bangun pagi, mandi, sarapan, memakai seragam, lalu berangkat ke sekolah? Apa yang membuat kita patuh untuk selalu berbaris di depan kelas, duduk manis dan rapih berjam-jam di bangku, lalu mengulanginya terus selama bertahun-tahun?
Kepatuhan, ketakutan, atau kesenangan macam apa yang membuat kita terus-menerus hidup dalam tata dan pola gerak seperti itu? Siapakah “koreografer” dari tata gerak harian kita? Apakah norma, aturan, dan ancaman? Lalu, bagaimana hasrat, kebahagiaan, hingga pengakuan begitu berhasil menggerakkan tubuh kita dari hari ke hari?
Koreografi yang jadi dasar pemikiran Hewitt bisa dibaca sebagai metafora, yaitu sebagai gerak dari siklus kuasa yang dipatuhi tubuh dari hari ke hari secara total. Koreografi bukan lagi soal tari-tarian, tetapi gerak tubuh tiap detik, yaitu ketika tubuh memainkan “peran” dan menentukan pendefinisian “diri”. Dalam gagasan Hewitt, identitas kemudian hanyalah hasil bentukan dan kontestasi ketinampilan (performativity).
Barangkali, joget gemoy bisa dibaca juga sebagai metafora politik, alih-alih sebatas taktik kampanye untuk Gen Z, bahwa kekuasaan tak hanya menggunakan strategi represif yang klise sebagai metode tunggal—misalnya menculik dan menyekap seseorang dalam bilik pengap. Kuasa otoriter tak memasang wajah angker, bersenjata, dan gagah lagi, tapi justru berpenampilan ramah dan riang gembira—bahkan juga wajah imut dan menggemaskan.
Kuasa dominan membuat dirinya relevan terhadap khalayak, dengan menjadi koreografer atas kesadaran massa lewat ketinampilan sehari-hari. Citra dari ketinampilan itu ternyata begitu meretas tubuh dan hasrat khalayak, pembajakan yang dilakukan melalui citra gemoy begitu sering berhasil, sebab ia bekerja dalam ranah sehari-hari, dalam ruang interaksi bawah sadar dalam ruang digital seperti TikTok. Aktivitas scrolling TikTok kemudian jadi momen kontestasi, sebab dalam momen itu ada mode kerja kekuasaan yang sedang membajak subjek pada tatanan kesehariannya.
Menariknya, kata kunci hasrat, selera, dan ruang sehari-hari jadi penting. Dalam realitas digital yang terkesan sepintas dan sambil lalu itulah subjek dikepung kontestasi hasrat—pembentuk selera, simpati, dan sikap. Hasrat hasil rakitan (desiring-machine) itu yang kemudian jadi penentu keberhasilan sang koreografer. Totalitas kuasa bekerja di balik layar joget gemoy, bahwa ia bekerja pada tataran hasrat untuk menggerakkan tubuh, subjek adalah sasaran empuk untuk terbentuk dan tunduk, bahkan bersimpati dan mencinta secara fanatik.
Melawan Koreografi Gemoy?
Berangkat dari gagasan soal koreografi sosial, cara kerja kekuasaan itu kemudian tak hanya kreatif, tapi bahkan rekreatif. Dengan kata lain, ia gesit untuk menyesuaikan diri, menguji relevansinya, dan terus-menerus mencipta taktik baru secara sistemik.
Taktik gemoy ini sangat menarik massa karena ia “merangkul dengan hangat”. Saya masih ingat lomba-lomba joget gemoy yang berhadiah ratusan juta rupiah. Rangkaian joget itu berlangsung meriah dan terkesan partisipatif, meski tentu saja kita tahu bahwa itu semua materi kampanye yang gimik partisipasinya palsu belaka.
Menyambung soal kekuasaan yang rekreatif, saya jadi teringat kisah ironis dari seorang teman. Tak lama setelah momen pencoblosan tanggal 14 Februari kemarin, teman saya itu bercerita bahwa lingkaran pertemanannya yang paling dekat kompak memilih pasangan gemoy di bilik suara. Berhari-hari sebelum 14 Februari, teman saya jungkir balik mencari cara untuk menjelaskan alasan agar lingkarnya itu tidak memilih pasangan gemoy. Sialnya, semua usaha itu nihil, berbagai argumen yang teman saya bangun itu dipatahkan dengan penilaian yang absurd—semua alasan para lawan bicaranya bersumber dari konten TikTok. Teman saya yang kelelahan dan jungkir balik itu frustasi sekali.
Pada titik itulah, koreografi gemoy melampaui sekadar tarian, ia ternyata berhasil membentuk kesadaran politik subjek. Namun, di titik yang sama, frustasi teman saya berujung pada cap yang ia sematkan pada lingkar pertemanannya, yaitu cap soal “kedunguan” lingkarnya itu. Sementara berbulan-bulan sebelum 14 Februari, tubuh-tubuh subjek dalam lingkar pertemanannya itu telah dibentuk secara sistemik, katakanlah secara koreografis.
Baca juga:
Barangkali melawan koreografi penguasa itu lebih pelik dibanding sekadar teriak-teriak dan bicara lantang dari sosial media, sebab ia mencengkram ruang keseharian. Melempar diri dari gerak tubuh yang tertata itu memerlukan kekuatan lebih banyak. Toh koreografi gemoy itu bekerja dengan cara rekreatif dan membentuk tataran hasrat.
Saya jadi berpikir, koreografi politik yang masif itu hanya dapat ditandingi dengan bentuk resistensi harian, ketika kerja-kerja aktivisme sosial-politik lebih banyak bergerak dalam keseharian khalayak dan gerak tubuhnya. Bukan semata-mata sebagai ide-ide yang mengawang jauh dan penuh slogan. Bukan juga semata-mata dialog keras dan tendensi membodohi lawan bicara atas nama “penyadaran kritis”.
Imaji soal yang-alternatif itu kemudian perlu bergerak pada agenda-agenda yang mungkin dianggap kecil dan remeh karena ia berjangkar dalam ruang keseharian. Sebab, jangan-jangan imaji soal yang-alternatif itu terlalu sering diartikulasikan secara elitis dan jauh dari khalayak. Sementara koreografi gemoy telah membius ruang keseharian khalayak dengan gimik partisipatorisnya itu.
Sejauh apa kesadaran soal solidaritas kelas, solidaritas gender, dan solidaritas horizontal lain bergulir dalam artikulasi yang kontekstual di ruang keseharian khalayak? Atau, apa kita ternyata cukup asing dengan praktik-praktik keseharian afektif dan reparatif? Misal, akibat istilah yang tidak politically correct, seseorang langsung disikat secara berjamaah. Percakapan yang afektif jangan-jangan juga dihindari atas nama “penyadaran kritis”. Bercakap-cakap dalam suasana yang hangat jadi jarang diupayakan, sebab kita terlalu fokus pada narasi besar soal keadilan sosial, tapi kebingungan dalam artikulasi sehari-hari yang welas asih.
Jangan-jangan, hal itu jadi salah satu sebab dari sulitnya menari bersama dalam “koreografi solidaritas”, koreografi harian yang benar-benar mengganggu para elite, sehingga para koreografer di Istana terlalu mudah bekerja dalam ruang keseharian khalayak, membajak ruang dan subjek baru tiap hari.
Editor: Prihandini N
Oke gas.. oke gas.. torang baku dungu sama2 gas