Otto von Bismarck tidak terbantahkan lagi merupakan tokoh penting (jika tidak paling penting) dalam sejarah Eropa abad ke-19 setelah tahun 1815. Bismarck, yang dikenal luas sebagai salah satu negarawan paling berpengaruh dalam sejarah Eropa, berhasil menyatukan Jerman dan menjadikannya sebagai kekuatan besar pada akhir abad ke-19. Namun, warisannya jauh lebih kompleks dan kontroversial. Meskipun sering dipuji sebagai pemimpin pragmatis yang mengutamakan stabilitas dan persatuan nasional, metode dan ideologi politiknya juga meletakkan dasar bagi otoritarianisme dan penindasan, elemen-elemen yang kemudian berkontribusi pada munculnya gerakan-gerakan sayap kanan di Jerman.
Sebagai Kanselir Prusia dan kemudian Kekaisaran Jerman, dari tahun 1862 hingga 1890, Bismarck memegang kekuasaan politik yang sangat besar. Meskipun ia memperkenalkan sebuah konstitusi di Jerman yang baru bersatu, hal itu lebih merupakan kedok daripada langkah sejati menuju demokrasi liberal. Kepemimpinannya ditandai oleh kurangnya komitmen terhadap prinsip-prinsip demokrasi. Reichstag, parlemen Jerman, memiliki kekuasaan terbatas, dengan kewenangan sesungguhnya berada di tangan Kaiser, Kanselir, dan kelompok militer. Kemampuan Bismarck untuk memerintah dengan dekrit, serta manipulasinya terhadap aliansi politik memastikan bahwa pemerintahannya tetap menjadi sistem otokratik, meskipun tampak seperti sistem parlementer.
Seperti yang digambarkan dengan baik oleh Adrian, kepemimpinan Bismarck sering dicirikan oleh ide “Realpolitik”, sebuah kebijakan politik yang didasarkan pada pertimbangan praktis dan strategis, bukan pertimbangan ideologis atau etika. Pendekatan ini memungkinkannya untuk membuat keputusan yang berani, seringkali kejam, untuk mencapai tujuannya. Misalnya, Bismarck mengatur perang dengan Denmark, Austria, serta Prancis untuk memperkuat dominasi Prusia dan menyatukan Jerman di bawah kepemimpinan Prusia. Dalam upayanya untuk mencapai persatuan nasional, metode Bismarck seringkali tidak demokratis, mengandalkan kekuatan, manipulasi, dan intimidasi.
Menindas Oposisi
Bismarck merupakan gambaran Junker, seorang yang reaksioner dan konservatif, sebelum kemudian menjadi “revolusioner kulit putih”. Ia mengajarkan kaum konservatif untuk menjadi nasionalis dan pendukung program kesejahteraan, sehingga memperluas basis dukungan mereka dan melemahkan gerakan sosialis. Setelah bekerja sama erat dengan kelompok liberal dan melawan kelompok Katolik, ia beralih dan menjadikan kaum Katolik konservatif sebagai koalisinya untuk menentang kelompok liberal.
Otoritarianismenya juga dicontohkan oleh seringnya ia menggunakan kekuasaan darurat dan penindasan terhadap oposisi politik, khususnya mereka yang berasal dari faksi sosialis dan Katolik. Penentangan Bismarck yang mendalam terhadap sosialisme merupakan salah satu dari warisannya yang telah memicu berbagai perdebatan. Sosialisme, yang mulai populer di Eropa pada akhir abad ke-19, merupakan tantangan langsung terhadap tatanan aristokrat konservatif yang ingin dipertahankan Bismarck. Ia khawatir kebangkitan sosialisme dapat menyebabkan revolusi dan ketidakstabilan di Jerman yang baru bersatu.
Baca juga:
- Bismarck dan Unifikasi Jerman
- Rasisme Terselubung dalam Hubungan Internasional
- Volkswagen, Skandal Dieselgate, dan Masa Depan Industri Otomotif
Sebagai tanggapan, Bismarck memperkenalkan serangkaian undang-undang anti-sosialis, antara tahun 1878 dan 1890, yang melarang organisasi, publikasi, dan pertemuan sosialis. Undang-undang ini merupakan bagian dari strategi yang lebih luas untuk menekan perbedaan pendapat dan mempertahankan status quo.
Meskipun menindas kaum sosialis, Bismarck menyadari perlunya mengatasi beberapa masalah sosial dan ekonomi yang memicu gerakan sosialis. Bismarck memperkenalkan program kesejahteraan sosial (welfare), asuransi kecelakaan dan kesehatan, dan akhirnya pensiun hari tua. Kebijakan ini adalah salah satu inisiatifnya yang paling kreatif, sebuah model bagi negara-negara lain, termasuk Kemaharajaan Inggris. Akan tetapi, kebijakan-kebijakan ini tidak dimotivasi oleh kepedulian yang tulus terhadap keadilan sosial, melainkan oleh keinginan untuk melemahkan dukungan sosialis dan menjaga ketertiban sosial. Dengan mengadopsi beberapa tuntutan gerakan sosialis, Bismarck berharap untuk melemahkan daya tarik mereka, sambil mempertahankan fondasi konservatif Kekaisaran Jerman. Sikap anti-sosialisnya dan penindasan otoriternya terhadap oposisi politik menciptakan budaya represi politik akan memiliki konsekuensi yang bertahan lama di Jerman.
Kulturkampf
Selain penentangannya terhadap sosialisme, Bismarck juga melancarkan pertempuran politik melawan Gereja Katolik, yang dikenal sebagai Kulturkampf (perjuangan budaya). Konflik tersebut muncul pada tahun 1870-an saat Bismarck berupaya mengurangi pengaruh Gereja Katolik dalam kehidupan politik Jerman. Ketika itu partai berhaluan tengah, Zentrum, memperoleh sekitar 1/5 suara dalam pemilihan Reichstag pertama tahun 1871. Zentrum, yang mewakili kepentingan populasi Katolik yang besar di Jerman, mengancam visi Bismarck tentang Jerman yang bersatu dan dominasi Protestan. Partai itu tampak seperti kumpulan musuh-musuhnya.
Melalui serangkaian kebijakan hukum, Bismarck berupaya membatasi kekuasaan Gereja. Hukum-hukum ini mencakup kontrol negara atas pendidikan, pengusiran para Jesuit, dan persyaratan agar para pendeta menerima pelatihan mereka di sekolah-sekolah yang dikelola negara. Sementara Bismarck mengklaim bahwa tindakan-tindakan ini diperlukan untuk mencegah Gereja mencampuri urusan negara, kampanyenya melawan Gereja Katolik mengalienasi jutaan umat Katolik dan memperdalam perpecahan dalam masyarakat Jerman.
Pada akhirnya Kulturkampf berakhir sia-sia, sama dengan konfliknya dengan kelompok sosialis. Kulturkampf akhirnya gagal, karena kelompok Katolik terus memperoleh dukungan dan Bismarck terpaksa menarik diri dari banyak kebijakan anti-Katoliknya pada tahun 1880-an. Namun, peristiwa tersebut meninggalkan warisan konflik agama yang abadi dan menunjukkan sifat otoriter dan memecah belah dari pemerintahan Bismarck.
Beberapa sarjana menilai konflik ini tak terelakkan, tetapi cara Bismarck melakukannya juga sia-sia. Bismarck berjuang dalam ‘pertempuran’ domestiknya seolah-olah itu adalah pertarungan melawan musuh asing. Mungkin saja untuk memusnahkan musuh asing atau merusaknya secara memadai untuk membuatnya tidak beraksi, tetapi pemusnahan bukanlah pilihan dengan sebagian besar penduduk negara sendiri. Bismarck mencari konflik dan konfrontasi dan percaya itu akan menjernihkan suasana.
Akar Kanan-Jauh
Salah satu aspek paling kontroversial dari warisan Bismarck adalah sejauh mana kebijakan dan budaya politiknya berkontribusi pada munculnya gerakan-gerakan sayap kanan di Jerman, termasuk Nazisme. Meskipun Bismarck bukanlah seorang nasionalis dalam pengertian rasial yang kemudian akan mendefinisikan gerakan Nazi, penyatuan Jerman di bawah militerisme Prusia dan pemerintahannya yang otoriter menciptakan kondisi bagi rezim-rezim otoriter di masa mendatang.
Manipulasi nasionalisme oleh Bismarck yang awalnya difokuskan pada tujuan pragmatis, menabur benih bagi bentuk nasionalisme yang lebih ganas yang kemudian muncul di Jerman. Konsolidasi kekuasaannya melalui cara-cara militeristik dan otoriter meninggalkan warisan yang mengagungkan kekuasaan negara, kekuatan militer, dan penindasan perbedaan pendapat, yang semuanya akan menjadi prinsip utama ideologi Nazi.
Setelah penyatuan Jerman, kebijakan luar negeri yang berorientasi pada perdamaian dari Bismarck justru semakin tidak populer. Publik Jerman malah beralih ke sikap ekspansionis, didorong oleh pencapaian militer terhadap negara-negara Eropa. Sangat kontras dengan pendekatan Bismarck, Kaisar Jerman yang baru Wilhelm II memiliki ambisi Weltpolitik. Sebuah tujuan untuk mengamankan masa depan Reichstag melalui ekspansi yang malah menjadi salah satu penyebab Perang Dunia I.
Kaisar militeristik ini juga berkontribusi pada kegagalan kebijakan Bismarck yang menekan dominasi militer dalam pengambilan keputusan politik luar negeri. Pada tahun 1914 ketika Perang Dunia Pertama pecah, Jerman akhirnya berada di bawah kendali militer. Selama perang, Oberste Heeresleitung membentuk kediktatoran militer, yang mengabaikan otoritas kanselir, kaisar, dan Reichstag.
Penekanan Bismarck pada negara yang kuat dan tersentralisasi, penggunaan kekuatannya untuk mencapai tujuan-tujuan politik, dan penindasannya terhadap gerakan-gerakan demokrasi dan sosialis semuanya menjadi preseden bagi otoritarianisme yang kemudian mendominasi politik Jerman pada abad ke-20. Budaya politik yang dikembangkan Bismarck—yang mengutamakan kekuasaan negara di atas kebebasan individu dan meminggirkan oposisi politik—membantu membuka jalan bagi berkuasanya Adolf Hitler dan Partai Nazi pada tahun 1930-an. (*)
Editor: Kukuh Basuki