Lebih banyak membaca dan merenung.

Joget Gemoy: Perlukah Manuver Estetika dalam Pilpres 2024?

Boiman Manik

2 min read

Seperti tari-tarian yang memunculkan pengalaman estetika sehingga mengunggah perasaan empati, kontestasi Pemilu 2024 berpotensi memunculkan pengalaman yang sama lewat manuver kampanye.

Berkaca dari Pemilu 2014 dan 2019, pilpres kali ini mungkin (bisa jadi salah bisa juga benar) tidak se-chaos edisi sebelumnya.

Pada edisi sebelumnya, perdebatan demi perdebatan sering terjadi, bahkan berujung pada laporan polisi. Di tingkat masyarakat, terdapat jarak antara anak dan orang tua, suami dan istri, bahkan saudara yang satu dengan yang lain. Begitulah realitas yang terjadi menjelang pemilu. Perdamaian selalu diujung tanduk.

Baca juga:

Namun, pilpres kali ini menghadirkan nuansa yang berbeda dan unik. Tiga pasangan calon yang berkontestasi memiliki ide dan konsep yang cenderung berbeda tetapi tidak menyerang satu sama lain. Anies-Cak Imin memiliki gagasan dan argumentasi yang intelektual. Ganjar-Mahfud mungkin masih belum menemukan ide komunikasi yang jelas, tetapi memiliki konsep kerakyatan dan populis ala Jokowi yang cukup terasa. Yang menarik adalah pasangan Prabowo dan Gibran, mereka tampaknya menikmati pesta gemoy yang saat ini banyak dibahas di berbagai media sosial.

Joget gemoy ala Prabowo banyak dibahas dan ditonton hingga jutaan views di TikTok. Tak seperti Anies dan Ganjar, tampaknya Prabowo ingin meraih ceruk suara dari pemilih muda gen Z dan milenial.

Joget gemoy mau tidak mau membawa banyak orang masuk ke pengalaman estetika yang berusaha dihadirkan tim pendukung Prabowo-Gibran. Jika pengalaman estetika adalah perspektif subjektif seseorang yang melihat sebuah karya seni, baik itu visual, sastra, dan tari-tarian, joget gemoy Prabowo berhasil menggiring opini bahwa sosoknya adalah karakter yang lucu dan menggemaskan dalam perspektif orang-orang yang melihatnya.

Pengalaman estetika tersebut menjadi sarana bagi mereka dalam menaruh simpati dan empati hingga akhirnya memilih pasangan nomor urut dua ini di Pilpres 2024. Hal ini yang menjadikan posisi Prabowo berbeda dibandingkan pemilu sebelumnya. Membangun dukungan lewat pengalaman estetika joget gemoy jauh lebih efektif daripada serang sana serang sini. 

Meredupnya Adu Gagasan dan Argumentasi

Di sisi lain, ide adu gagasan dan argumentasi yang dialektis tampaknya kurang laku di mata pemilih muda. Padahal ide dan gagasan menjadi sarana penting untuk mengetahui seberapa jauh kapasitas capres dan cawapres yang akan memimpin negeri ini. Maka sudah sewajarnya pengalaman yang rasional-dialektis menjadi sisi penting untuk menilai kemampuan para calon pemimpin.

Sikap rasional-dialektis membawa masyarakat menjadi jauh lebih kritis dalam menilai gagasan para capres dan cawapres. Hal ini membuat pilpres menjadi lebih kaya akan gagasan yang substantif dan komprehensif dalam menyelesaikan permasalahan di negeri ini.

Pengalaman estetika sama sekali tidak salah. Konser Salam Dua Jari Jokowi tahun 2014 mungkin menjadi piranti yang memperkuat posisinya sebagai pemenang pilpres. Tidak hanya gagasannya saja yang mampu diterima oleh masyarakat, konser tersebut memperkuat pengalaman estetika yang memunculkan empati kepada Jokowi.

Adanya tiga pasangan calon mungkin membuat kontestasi sedikit lebih dingin, tidak sepanas edisi sebelumnya. Prabowo berhasil menjawab pertanyaan dalam segi pengalaman estetika, bagaimana ia menghadirkan joget gemoy yang menarik simpati dan empati masyarakat, yang memudarkan citra tegas dan kerasnya menjadi lebih lunak dan merangkul.

Baca juga:

Keberhasilan Jokowi dalam menggabungkan gagasan dan ide populisnya yang santun dan merakyat dengan pengalaman estetika mungkin belum ditemui pada calon-calon saat ini. Apa gagasan yang dibutuhkan rakyat Indonesia sekarang? Apa urgensi yang mendorong rakyat untuk memilih calon tertentu? Apakah kesejahteraan dan keadilan rakyat Indonesia menjadi mercusuar ide dan gagasan para capres dan cawapres? Serta apa nilai estetika yang menjadi penguat agar kontestasi pilpres lebih semarak?

Pertanyaan-pertanyaan tersebut mungkin perlu dijawab. Pilpres harus menjadi ruang yang rasional dan dialektis agar masyarakat lebih kritis dalam memilih pasangan calon. Mereka tidak bisa menjadikan pengalaman estetika menjadi acuan utama. Diperlukan juga sikap-sikap dan pandangan rasional yang kritis.

Sejak dulu pengalaman estetis memang mampu menjadi penggerak bangsa dalam memperjuangkan keadilan dan kesejahteraan lewat drama, puisi, dan lukisan. Pengalaman estetis tidak bisa terpisahkan dari narasi kehidupan bermasyarakat. Ia akan tetap ada dan jadi bagian penting dalam konteks sosial masyarakat. Sayangnya dalam konteks pilpres, pengalaman estetis belum tentu menjawab pertanyaan: sudah layakkah mereka menjadi pemimpin negeri ini?

 

Editor: Prihandini N

Boiman Manik
Boiman Manik Lebih banyak membaca dan merenung.

2 Replies to “Joget Gemoy: Perlukah Manuver Estetika dalam Pilpres 2024?”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email