Amos Ursia, kawan saya, beberapa hari lalu menulis sebuah esai berjudul “Siapa Koreografer Joget Gemoy?”. Ia mengulas bagaimana joget gemoy, yang merajalela di TikTok, justru menjadi gera’an penting bagi Prabowo-Gibran untuk mendulang suara dari pemilih Gen Z. Amos meminjam gagasan Andrew Hewitt untuk melihat joget gemoy sebagai koreografi sosial, yang ikut membentuk dan menggerakkan selera para pemilih dalam kontestasi politik. Menurut Amos:
“Kuasa dominan membuat dirinya relevan terhadap khalayak, dengan menjadi koreografer atas kesadaran massa lewat ketinampilan sehari-hari. Citra dari ketinampilan itu ternyata begitu meretas tubuh dan hasrat khalayak, pembajakan yang dilakukan melalui citra gemoy begitu sering berhasil, sebab ia bekerja dalam ranah sehari-hari, dalam ruang interaksi bawah sadar dalam ruang digital seperti TikTok.”
Gampangnya, bagi Amos, joget gemoy adalah wujud kuasa dominan yang berhasil mengoreografi gerak dan pikiran banyak orang, terutama Gen Z. Sampai di sini, ada baiknya kita menyeduh teh atau kopi sejenak, lalu memikirkan beberapa hal yang tampaknya luput terlihat dari kacamata Amos. Apakah joget gemoy adalah satu-satunya kuasa dominan? Maksud saya, apakah orang memilih dan mendukung Prabowo-Gibran semata karena kepincut parah sama joget gemoy? Tidak adakah hal lain yang mengoreografi gerak dan pilihan politik publik?
Untuk menang pemilu, semua kandidat tahu mereka mesti punya strategi populis. Salah satu strategi populis itu adalah “menjadi trending di medsos”. Prabowo-Gibran menggandeng rapper Richard Jersey untuk membuat lagu Oke Gas, yang kemudian viral jadi joget gemoy di TikTok. Anies-Imin juga bergerilya di medsos lewat gimik slepet. Ganjar Pranowo bahkan secara khusus mendarmabaktikan akun YouTube-nya untuk serial konten bertajuk Ruang Ganjar. Semuanya dilakukan demi trending, demi merebut perhatian dan tentu saja dukungan publik. Tapi, kenapa hanya Oke Gas dan joget gemoy yang bekerja sedemikian ampuh? Jawabannya, saya kira, karena gimik yang satu ini justru tidak muncul dari rahim pemilu semata.
Baca juga:
Oke Gas dan joget gemoy pada dasarnya adalah produk kesenian; ia mengawinkan lagu, musik, dan tarian jadi satu. Anda tentu boleh berkata, “Itu cuma kitsch, nggak mutu!” Tapi, produk seni paling “nggak mutu” sekali pun tidak lahir dari ruang hampa. Sebagai produk kesenian, ia tidak bisa begitu saja dilepaskan dari audiens yang menikmatinya, juga dari ruang, dari platform tempat ia “dipentaskan” dan disebarluaskan. Persis di sinilah kita musti mundur ke belakang, ke masa yang jauh sebelum pilpres.
Tarian dari Bawah
Di masa-masa kelam pandemi beberapa tahun silam, aktivitas digital merebak tiba-tiba. Energi sosial kita, yang mengalami keterbatasan gerak, menemukan penyalurannya di medsos. Program-program siniar di YouTube dan Spotify serta konten berbasis video di Instragram dan TikTok menjamur tanpa ampun. Hal lain yang juga menjamur masif saat itu adalah produksi dan persebaran musik-musik remix. DJ Gagak, hasil utak-atik iseng atas lagu Salah Apa Aku, adalah produk remix yang bisa disebut sebagai pionir. Setelahnya, nyaris tak ada lagu pop yang selamat dari sentuhan remix.
Kebangkitan remix itu lalu digenapi oleh munculnya tari-tarian warga di medsos. DJ Gagak sendiri menjadi establish sepaket dengan senam gemas yang repetitif. Seorang pelajar SMP di Kalimantan Timur bernama Muhammad Awalul Faidzin, yang kemudian dijuluki “Lord Alul”, sempat viral karena menampilkan sebuah tarian absurd. Karena beredar di masa-masa krisis, gerak absurd Lord Alul lalu dijuluki “Tarian Penghambat Rezeki”. Ada begitu banyak tarian absurd lainnya bertebaran di Instagram dan TikTok, lengkap dengan nama-nama julukan yang tak kalah absurd. Rahim kelam pandemi melahirkan anak kembar eskapisme: musik jedag-jedug pelipur nestapa dan tari-tarian ajaib yang mengundang gelak tawa. Di hadapan virus mematikan, kelesuan ekonomi, dan kecemasan massal, apa lagi yang bisa kita lakukan selain menghibur diri?
Menjelang akhir pandemi, tari-tarian vernakular nan absurd tadi berkembang menjadi gelombang joget pargoy, masih dengan remix jedag-jedug yang menjadi musik latarnya. Banyak orang, mulai dari muda-mudi kampung hingga para selebritas papan atas, ramai-ramai bikin konten joget pargoy ketika tren ini mewabah. Di waktu nyaris bersamaan, muncul juga tarian jamet. Diinisiasi oleh diaspora kelas pekerja Madura, tarian jamet meledag bummah ke seluruh negeri lewat jaringan medsos. Belakangan, sosok Mohammad Tohir mencuat sebagai tokoh sentral di skena jamet nasional. Setelah viral parah, ia tampil di industri hiburan televisi dengan “Tarian Penyeimbang Semesta”-nya yang magis dan ikonik itu. Kalau anda tidak kenal Mohammad Tohir, Anda mungkin lebih mengenalnya sebagai Boger Bojinov 93.
Akar “genealogis” tari-tarian medsos itu memang bisa dilacak dari campur-aduk berbagai ikon budaya pop kelas menengah-atas. Namun, seluruh tarian medsos itu nyatanya dikoreografi dari bawah, dari akar rumput. Gerakannya dikreasi oleh orang-orang biasa; orang-orang yang namanya tidak tercatat dalam ensiklopedi seni mana pun. Gerakan itu direkam di ruang-ruang yang juga biasa, seperti dapur, ruang tamu, teras, pekarangan; jauh dari ruang-ruang “angker” kebudayaan adiluhung. Begitu rekaman itu dipentaskan di panggung akbar bernama medsos, ia menjangkau khalayak luas di seantero negeri. Itulah yang membuat tari-tarian medsos bisa direproduksi secara partisipatif. Siapa pun punya peluang mencipta tarian yang viral dan menjadi tren. Begitu satu tren tarian muncul, tren tarian berikutnya segera menyusul. Semua orang bisa ikut terlibat, semua dapat tempat!
Muncul sebagai penghiburan belaka atas malaise, tari-tarian medsos beserta musik remix-nya lalu mapan jadi rutinitas. Ia menyusup dan menyesap dalam ruang gerak keseharian kita, nyaris empat tahun penuh! Terutama Gen Z, yang disebut-sebut sebagai native medsos, sudah pasti menghayati dinamika tarian itu mulai dari bangun tidur hingga mau tidur lagi.
Melihat “Kekuasaan yang Lain” Bekerja
Belakangan, tarian medsos juga menjadi cara warganet untuk merespons peristiwa politik dan isu-isu besar lainnya, tentu saja secara jenaka dan sekenanya. Ketika wacana “Jokowi 3 periode” merebak, di medsos beredar konten video Pak Jokowi KW (lengkap dengan kemeja putih dan celana hitamnya!) asyik berjoget ria diiringi musik remix. Belum lama ini, saya menemukan sebuah video klip rekaan AI di Instagram; menampilkan tiruan Vladimir Putin, Donald Trump, dan Kim Jong Un menari dengan latar lagu cadas, video klip itu dilengkapi sebuah teks: “Trio ADIKUASA”. Selain dari diskusi warung kopi dan cuplikan video Rocky Gerung, lewat tari-tarian medsos pulalah Gen Z belajar memahami dan merespons dinamika politik nasional-internasional. Dengan kata lain, tarian medsos adalah semacam pengetahuan yang menubuh bagi Gen Z dan milenial.
Kubu Prabowo-Gibran tampaknya menyadari itu, selain menyadari betapa signifikannya jumlah Gen Z dan milenial dalam pemilu kali ini. Mereka adalah separuh populasi pemilih! Tidak bisa dianggap enteng, merebut perhatian mereka adalah kunci kemenangan. Dan pada akhirnya, kunci kemenangan itu adalah Oke Gas dengan joget gemoynya, produk kesenian vernakular yang spiritnya telah menubuh bagi anak muda jauh sebelum pemilu.
Baca juga:
Nah, persis di sini, saya berseberangan dengan Amos soal “siapa mengoreografi siapa”. Melalui jejaring medsos, keviralan musik remix dan tarian iseng-iseng absurd telah menjadi semacam kekuatan populis, ia menjelma “kekuasaan yang lain”, yang justru mengoreografi hasrat, selera, dan gerak elite politik dalam gelaran Pilpres 2024. Separuh populasi pemilih tadi, para pemegang “kekuasan yang lain” itu, seolah berkata pada para elite politik: kalian mau menang pilpres? Ikuti cara main dan gerak kami!
Kebetulan hanya kubu Prabowo-Gibran yang mau mendengar dan mengeksekusinya secara kafah. Tapi, bukan kebetulan jika Prabowo mau berjoget ria mengikuti arahan gerak “kekuasaan yang lain” itu. Ingat, beliau mantan perwira TNI, yang tentu sangat akrab dengan senam dan tari komando. Barangkali, bagi Prabowo, joget gemoy adalah semacam tari komando versi sipil.
Ini sebenarnya bukan perkara baru. Kontestasi politik di Indonesia tak bisa dipisahkan dari musik dan tari rakyat, bahkan jauh sebelum medsos berjaya. Dalam Dangdut: Musik, Indentitas, dan Budaya Indonesia (2012), Andrew Weintraub menyebut panggung dangdut telah lama jadi cara ampuh untuk memobilisasi massa dan mendulang dukungan politik. Kritik rakyat terhadap elite politik juga kerap menguar dari panggung-panggung dangdut, protes sosial bisa menjalar di tubuh kerumunan yang bergoyang. Joget gemoy adalah semacam “joget dangdut politik”, tapi tanpa panggung fisik. Panggungnya adalah layar ponsel kita semua!
Patut disayangkan, Anies-Imin dan Ganjar-Mahfud kurang peka pada “kekuasaan yang lain” tadi. Mereka terlalu jaim, ngintelek, dan tentu saja elitis dengan lebih mengedepankan diseminasi visi-misi dan program dalam ruang-ruang debat-diskusi terbuka. Cara-cara intelektual nan elegan semacam itu memang bagus bagi demokrasi, tapi tidak cukup bagus untuk membuat Anda menang pemilu. Kenyataan hari ini mengatakan, untuk menang, Anda harus mau merangkul dan mengadopsi selera rakyat. Kalau selera rakyatnya joget, berarti Anda harus lebih tekun berjoget daripada diskusi! Ini memang bukan kabar baik bagi demokrasi, tapi ya beginilah realitas politik kita hari ini.
Andai Anies-Imin atau Ganjar-Mahfud, di antara debat-debat cerdas mereka, mau merangkul Boger Bojinov atau cult-hero joget mana pun dan memberinya peran kreatif secara optimal, perolehan suara mereka mungkin tak semenyedihkan sekarang. Sayangnya, yang nyampe dengan pikiran seperti ini justru adalah jenama roti dari Surabaya.
Melalui tarian medsos, kita telah melihat bagaimana kekuasaan bisa mewujud dalam gerak-gerak lentur, gerak-gerak yang tampak kampungan serta jauh dari ide besar dan serius. Bahwa kita luput melihat gerak-gerak itu sebagai suatu kekuatan politis, itu mesti jadi catatan yang perlu kita ingat baik-baik. Lewat joget gemoy, kita juga telah melihat bagaimana kekuasaan populis turut mengoreografi gerak kekuasaan politik. Jika setelah ini gerak kekuasaan politik jadi semena-mena, saya ingin melihat: sanggupkah kekuasaan populis menggoyangnya?
Editor: Prihandini N