Manusia biasa yang gemar ngopi sambil merokok di pagi hari.

Memutar Ulang Kemenangan Jenderal Gemoy

Mukhtar Abdullah

4 min read

Dua hari lagi sampailah kita ke pelantikan presiden dan wakil presiden baru. Setelah serangkaian drama politik, manipulasi hukum, cawe-cawe kepala negara, tepatnya 20 Oktober 2024, Jenderal Gemoy dan Fufufafa akan dikukuhkan secara resmi sebagai pemimpin baru bangsa ini di gedung parlemen Senayan.

Masih terbayang dalam ingatan, ketika Jenderal Gemoy pasca diumumkan sebagai pemenang, malamnya langsung memberi pidato di kediamannya, “Saudara-saudara sekalian, sekali lagi saya katakan, kita telah dipilih oleh rakyat Indonesia. Mandat rakyat Indonesia adalah di tangan kami”.

Jenderal Gemoy begitu besar hati dengan kemenangannya. Wajar ini kali ketiga ia berkompetisi dan sukses. Dua episode laga yang lalu sang jendral kalah oleh musuhnya–– seorang tukang kayu asal Solo. Nahas, kesuksesan itu ternyata dibikinkan rancangannya oleh si Tukang Kayu.

Dalil barusan, bukan tanpa alasan, sang tukang kayu memulai skenario itu jauh-jauh hari dengan mengatakan ingin memperpanjang masa jabatan. Usul ini ditolak. Ia putar balik menyusun naskah anyar untuk dipertontokan ke masyarakat. Bila saja kontenstasi Pilpres 2024 diproduksinya jadi serial untuk ditonton akan sangat menarik untuk ditonton.

Saya membayangkan, bagaimana potongan adegan-adegan keculasan, haus kekuasaan dan goyangan-goyangan energik akan didramatisasi secara epik. Penonton akan disajikan gambaran menyeluruh sebuah keluarga membangun dinasti politik baru. Belum ditambah adegan laga antar kartel-kartel politik yang ada. Film Godfather soal kartel Italia bisa saja kalah pamor nantinya, sebab kharisma atau tak-tik Don Corleon mengalahkan lawannya, tak ada apa-apanya dibandingkan aksi Tukang Kayu, Jenderal Gemoy ataupun Fufufafa.

Episode Satu: Paman Baik Hati

Pertunjukkan dimulai di Gedung MK, tempat hakim memutuskan permasalahan konstitusional negara. Kemenakan tukang kayu, Anwar Usman, bekerja di sana. Posisinya mentereng. Ia bukan hakim biasa, namun Ketua Hakim MK. Sebagai paman yang murah hati ia bersilaturahmi ke rumah Tukang Kayu. Sampai di sana, si paman disodorkan curhatan Tukang Kayu sedang kebingungan mencarikan pekerjaan untuk anaknya, Fufufafa.

Usman pun menimbang permintaan Tukang Kayu untuk meneken kebijakan penting agar Fufufafa dapat mendapat pekerjaan. Sebagai paman yang baik hati ia tak mau mengecewakan kemenakannya. Namun satu sisi Usman terikat pada kode etik profesinya. “Apa gunanya etik?” kira-kira begitu Usman mempertanyakan dirinya sendiri. Langkahnya sudah bulat, ia mengabulkan permintaan itu.

Tak perlu waktu lama bagi Usman memproses perubahan kebijakan yang diinginkan. Wajar si Tukang Kayu juga mengerahkan pasukan lain untuk memperlancarnya dengan memasukkan gugatan terlebih dahulu terkait perubahan ambang batas umur pencalonan presiden dan wakil presiden. Persidangan berjalan, Usman tampak tenang, meskipun sempat gusar juga dengan mengaku sakit diare dalam sebuah persamuhan membahas gugatan. Pucuk dicinta ulam pun tiba, putusan MK nomor 90 diketok.

Putusan itu menjadi karpet merah terhampar bagi Fufufafa. Si anak menurut bapaknya dulu enggan masuk politik dan lebih senang berbisnis. Manusia gampang berubah memang, apalagi menyeret kekuasaan. Waktu berjalan, persamuhan berlangsung, Jenderal Gemoy akhirnya memilih Fufufafa sebagai wakilnya. Deklarasi berlangsung, sekali lagi Fufufufa tak hadir di momen itu.

Barulah Jenderal Gemoy dan Fufufafa berdiri satu panggung ketika deklarasi kedua berlangsung. Selesai meminta restu kepada masyarakat Indonesia, begitu kata keduanya, mereka mendaftarkan diri ke KPU. Sejak itu, sah keduanya sebagai calon presiden dan wakil presiden Indonesia. Terkahir dilakukan pengundian nomor urut pasangan, keduanya bersorak setelah membuka kertas bertulisan angka 02.

Episode Kedua: Goyangan Pemoles Citra

Jenderal Gemoy tampak gusar menyaksikan sekian demonstrasi dan deklarasi guru besar yang mempermasalahkan Putusan MK Nomor 90. “Anak haram konstitusi”, begitu orang menyebut Fufufafa. Sang Jenderal bimbang apakah keputusannya meminang anak tukang kayu akan membawa kemenangan. Meski begitu ia akhirnya teguh setelah memperhatikan elektabilitas Tukang Kayu masih di atas 70 persen. Jenderal Gemoy makin yakin kemenangan sudah dipelupuk mata.

Masalah Jenderal Gemoy cuman satu, tapi sangat besar. Ia punya beban dosa masa lalu sebagai penculik aktivis demokrasi di penghujung tahun 90an. Sifatnya juga dikenal publik sangat kaku, serta sangat tempramental. Tak terhitung banyaknya Jenderal Gemoy menunjukkan sifat itu, mulai dari menggebrak meja hingga memarahi wartawan. Tak syak ini harus diubah, jika ingin menang.

“Jenderal harus berubah,” begitu kata tim kampanyenya. “Bagaimana caranya?” ia balik bertanya. “Mudah saja pak.” Sang Jenderal kemudian diberikan kemeja biru langit polos, julukan “Gemoy” dan terakhir sebuah lagu untuk mempertunjukkan kemampuan dia berjoget ria.

Sang Jenderal mendengarkan saran itu, lalu kembali tampil ke publik untuk melakukan kampanye. Ia tak lagi marah-marah atau menggebrak meja, sebaliknya Jenderal Gemoy memilih mengajak penonton bergoyang ria dengan tarian khasnya yang sangat kaku. Respon publik sangat mengesankan, melihat kakek tambun mengenakan kemeja biru, diteriaki gemoy oleh anak muda dan bergoyang-goyang. Penampilan ini mengubur citranya di masa lalu, namun tidak dengan dosanya.

Fufufafa tak terlalu repot soal memoles citra ini, sebab dia berasal dari generasi millenial dan Z yang merupakan mayoritas pemilih. Berdasarkan data KPU, dari total 204.807.222 DPT, 56 persennya berasal dari dua generasi muda itu. Fufufafa cukup dikenal di kalangan ini. Soal tuduhan anak haram konstitusi? Dia juga tak ambil pusing, toh kenyataannya banyak anak muda tak terlalu memikirkan itu.

Satu-satunya yang mengesalkan dari Fufufafa adalah caranya berkomunikasi. Beberapa kali lidahnya terdengar belibet sehingga membuatnya salah ucap. Kasus “asam sulfat” dan “asam folat” bisa jadi bukti. Meskipun setelahnya dia dicemooh oleh lawan politiknya, Fufufafa tak ambil pusing. Harus diakui langkahnya mencetak kaos bertuliskan kata cemoohan kepadanya sangat brilian.

Sang Tukang Kayu memilih bermain di balik layar. Sebagai sutradara ia enggan terlalu tampil di publik memberikan dukungan. Walaupun ia sempat offside dengan menyatakan, “Presiden boleh memihak kok.” Tapi itu bukan masalah besar. Meskipun usang ia memilih cara blusukan untuk menyelesaikan masalah. Cara lawas memang selalu efektif digunakan, sebab sudah teruji di segala kondisi.

Episode Ketiga: Detik Akhir Kemenangan

Menjelang Februari semua kontestan kian memanaskan mesinnya untuk pertarungan terakhir. Jenderal Gemoy, Fufufafa dan Tukang Kayu juga tak mau ketinggalan. Ketika coba mundur sejenak, ada satu fenomena penting, semua kontestan ternyata berebut melanjutkan proyek Tukang Kayu dalam pembangunan negara.

Jenderal Gemoy dan Fufufafa menjadi garda terdepan pembela program Tukang Kayu. Mereka secara terang-terangan memuji bahkan menyanjung juntrungannya itu. Politk gentong babi juga dimainkan lewat janji manis kampanye. Makan siang gratis, pendidikan gratis, rumah sakit gratis, bayangkan siapa yang tak mau itu?

Agenda penutup digelar membawa tajuk “pesta rakyat” di kompleks bersejarah Gelora Bung Karno (GBK). Tanggal 10 Februari GBK dipenuhi lautan orang berbaju biru langit. Sejumlah pendengung dan pemengaruh ikut diundang meramaikan semarak pesta ini. Tak perlu waktu lama untuk Jenderal Gemoy unjuk gigi. Di sela acara ia bergoyang dengan tarian khasnya. Fufufufa tentu tak mau ketinggalan.

Tukang kayu tentu tak bisa hadir di pesta kolega dan anaknya itu. Mungkin dia kelelahan setelah dua bulan sebelumnya rutin mengelilingi kandang banteng di Jawa Tengah. Hampir semua daerah di provinsi itu disambanginya. Alasannya memang kunjungan kerja, tapi banyak pengamat mengatakan itu bagian strategi mengembosi lawan politiknya. Sekali lagi, cara blusukan yang kuno itu ternyata manjur menarik simpati banyak orang.

Semua kisah ini bermuara pada kemenangan 58 persen suara bagi Jenderal Gemoy dan Fufufafa. Ganjalan sempat datang dari lawan politik mereka lewat sengketa hasil pemilu di MK. Ketiganya dilaporkan melakukan praktik culas demi kemenangan dengan istilah bekennya kecurangan terstruktur, sistematis dan masif (TSM). Tapi ini bukan masalah besar, kenyataannya Hakim MK merasa dalil penggugat tak bisa membuktikan adanya kecurangan itu. Maka, paripurnahlah kemenangan mereka.

Kisah di atas bukanlah bualan semata, tapi ikut terjadi dalam realitas di sebuah negara. Jenderal Gemoy, Fufufafa dan Tukang Kaya memberi pelajaran penting bagi kita langkah-langkah penting memenangkan pertarungan politik dan membentuk dinasti politik. Hikayat ini juga menunjukkan langkah demi langkah menghancurkan demokrasi dari dalam.

Ikhtisarnya, kemenangan Jenderal Gemoy dan Fufufafa adalah ironi di tengah demokrasi, yang kata Tukang Kayu sudah kebablasan. Bukankah justru mereka yang kebablasan? Paling tidak kisah ini menjadi pengingat sejarah, bahwa ada satu momen kemunduran demokrasi terjadi secara nyata tanpa bisa dibendung. Semoga hikayatnya diingat di masa depan sebagai keburukan orang yang haus kekuasaan. Semoga saja. (*)

Mukhtar Abdullah
Mukhtar Abdullah Manusia biasa yang gemar ngopi sambil merokok di pagi hari.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email