Penulis Lepas dan Arsiparis yang Tinggal di Kota Surakarta

Inflasi, Gerakan Buruh, dan Gejolak Kesadaran Kelas

M. Ghaniey Al Rasyid

2 min read

Pada 18 Oktober lalu, Paris bergejolak. Masyarakat kelas buruh turun ke jalan menyampaikan keresahan atas gejolak perekonomian yang sedang terjadi. Mereka memprotes kenaikan harga barang yang tak diikuti kenaikan gaji. Perlambatan ekonomi global membuat gesekan kestabilan sosial masyarakat.

Aksi pemogokan dilakukan sebagai bentuk perlawanan buruh atas kondisi Paris yang tidak menentu. Dilansir dari Republika, sebesar 10 persen guru di Paris juga melangsungkan aksi pemogokan. Buruh dan guru bersatu menjerit hingga membuat pemerintah Macron memegang dahinya.

Pekerja perusahan strategis PLTN di Paris turut ikut aksi pemogokan. Demonstrasi di jalan diikuti oleh peraih nobel sastra Annie Enaux dan pemimpin partai Kiri, La France Insoumise. Gejolak ini menjadi tanda bahwa gerakan sosial memang belum mati selama ketertindasan masih dirasakan oleh manusia.

Gejolak di Indonesia

Tak hanya itu, buruh-buruh di Indonesia pun melakukan gerakan serupa. Imbas dari kenaikan harga BBM betul-betul memukul. Efek lanjutan kenaikan harga pasar semakin mengurangi kemampuan konsumsi masyarakat. Mereka harus memutar otak untuk mengatur gaji bulanan yang tak mampu menghadapi inflasi.

Gejolak harga energi minyak memang sering kali berimbas pada kemampuan beli masyarakat dunia. Dilansir dari Tempo, pada medio 1983, Ali Wardana dan Bustanil Arifin yang waktu itu menjabat sebagai Menteri Perdagangan dan Menteri Keuangan, dengan percaya diri mengatakan bahwa pemerintah tidak bisa memberikan BBM dengan harga murah karena harga minyak global yang menukik.

Pada waktu itu, bahan bakar energi ini ibarat basis utama berjalannya ekonomi. Beberapa perusahaan seperti PT. Sahabat Utama Textile dan PT. Yuntex mengalami pengurangan ekspor karena efisiensi produksi. Ini adalah dampak ketidakmampuan mengimbangi kenaikan harga bahan baku produksi ditambah beban gaji karyawannya.

Energi tidak dinilai dari harga minyak semata. Listrik pun masuk komoditas energi. Gejolak harga bahan bakar energi tahun 1983 juga berimbas pada harga listrik. Kenaikan harga listrik semakin membuat kecut raut wajah para pemilik pabrik. Jika sudah begitu, kelesuan ekonomi dan kestabilan sosial jadi taruhannya.

Menandai pergantian tahun baru 1983, Prancis dihadiahi suara kembang api dan inflasi tinggi. Pada 1 Januari 1983, artikel Tempo dengan judul “Inflasi! Resesi! Pengangguran!” melaporkan bahwa Prancis mengalami defisit sebesar US$ 150 milyar dalam rancangan perdagangannya. Gerakan masa pun tak bisa terbendung. Wajah muram karena derita jadi pantikan keras bagi penguasa bahwa kondisi sedang tidak baik-baik saja.

Baca juga:

Corak Masyarakat Pascakapitalis

Gejolak yang terjadi di Paris baru-baru ini mengingatkan kita dengan corak masyarakat prakapitalis. Sering kali kita terlalu skeptis mengenai kapitalisme, ketika jaring-jaring kapitalisme telah memengaruhi segala lini.

Dalam bukunya yang berjudul Post Capitalist Society (1993), Peter F. Drucker menjabarkan optimisme masyarakat kapitalis untuk bisa mematuhi bahkan mendukung poin-poin penting bagi berlangsungnya kapitalisme. Namun, gagasan Drucker lebih memandang buruh sebagai objek organisatoris. Sementara peranan vital untuk memilih kurang begitu digubris.

Pemikiran sosialisme sebagai pesaing ketat ideologi kapitalis runtuh pada medio 90-an, ketika Uni Soviet dirombak oleh Gorbachev untuk bersikap seperti negeri-negeri pesaingnya waktu itu. Rafl Dahrendorf dalam Refleksi Revolusi di Eropa menjabarkan betapa getir kondisi Eropa Timur berubah sikap. Kondisi manusia pascakapitalis nampaknya tidak bisa dianggap sebagai hal yang final.

Imbas mementingkan kepentingan pasar dibandingkan dengan kepentingan kemanusiaan dibahas Adam Smith dalam tesis mengenai invisble hand berubah menjadi visible hand sebagai penentu nasib dunia buruh. Ketertindasan tidak bisa ditonton saja. Gerakan penolakan pun tak bisa dibendung. Hati nurani mereka bersikap dan bersuara.

Konstruksi industrialis menggiring manusia dari homofaber manjadi homotechnicus. Marx menyebut kondisi demikian sebagai gejala alienasi. Manusia dikonstruksi seperti halnya mesin sehingga mengurangi substansi manusia untuk berperilaku di tengah perubahan yang berganti warna.

Baca juga:

Negara Menyokong Buruh

Tulisan di majalah Prisma berjudul Kesejahteraan Buruh Menuntut Demokrasi dan Profesionalisme (1992) yang ditulis oleh Saut Aritonang, membeberkan pentingnya serikat buruh dalam mengatasi dominasi sewenang-wenang pemilik modal yang menggunakan tenaga mereka.

Dijelaskan pula bahwa serikat buruhlah yang akan mengubah struktur hubungan industrial, memperbaiki upah, kondisi kerja, serta kesehatan dan nasib kaum buruh. Bila kita kaitkan kondisi kolompok buruh yang melangsungkan aksi unjuk rasa di Paris dan Jakarta, sejatinya mereka sedang memperjuangkan harkat martabat untuk hidup yang sejahtera.

Tulisan di majalah Basis berjudul Apa Peran Negara di Hadapan Pasar? B. Hari Juliawan berpendapat bahwa penting bagi negara untuk dapat menjadi benteng keadilan di tengah masifnya pembangunan perusahaan yang ada. Hari Juliawan mengutip narasi Frederick Hayek, bahwa kebebasan berpendapat itu suci dan menjadi jantung pemompa vitalitas tubuh untuk hidup bersama dalam rupa pasar.

Di samping perjuangan masyarakat buruh untuk menyokong kehidupan mereka, negara sangat diharapkan untuk mengakomodasi narasi tuntutan dari para buruh. Walaupun Marx begitu curiga dengan negara karena dianggap sebagai perpanjangan tangan pemilik modal dalam masyarakat kapitalis, perjuangan buruh juga perlu disokong oleh banyak pihak untuk mencapai tuntutannya, termasuk oleh negara.

 

Editor: Prihandini N

M. Ghaniey Al Rasyid
M. Ghaniey Al Rasyid Penulis Lepas dan Arsiparis yang Tinggal di Kota Surakarta

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email