Ilmu Pengetahuan dalam Belenggu Ruang Politik

Romario

2 min read

Foucault pernah bilang kalau pengetahuan ditentukan oleh penguasa. Apa yang kita ketahui tidak pernah lepas didikte dari penguasa. Penguasa yang menganut kapitalisme akan dengan mudah menanamkan pengetahuan kapitalisme kepada masyarakat. Sebaliknya kekuasaan yang menganut sosialisme akan dengan mudah menanamkan pengetahuan sosialisme kepada rakyatnya. Begitu pula penguasa yang menganut agama sebagai ideologi akan menanamkan pengetahuan tentang agama. Lantas apakah bisa pengetahuan lepas dari jerat penguasa?

Di buku Belenggu Ilmuwan dan Pengetahuan: Dari Hindia Belanda sampai Orde Baru karya Andrew Goss, menunjukan bahwa pengetahuan selalu dikuasai pemerintah. Di zaman Hindia Belanda, produksi pengetahuan berkutat pada ketundukan terhadap Belanda. Berbagai sekolah yang didirikan Belanda bertujuan menanamkan kepada masyarakat untuk selalu patuh terhadap Belanda. Sampai pada masa Orde Baru, pengetahuan ditanamkan kuat untuk anti terhadap komunis, dan mematuhi Pancasila, hingga muncul pelajaran P4: Pendoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila hingga kewajiban menonton film G-30 S PKI dalam rangka menanamkan anti komunis terhadap peserta didik.

Baca juga: 

Lembaga Penelitian

Pada era Reformasi, pengetahuan tetap saja dibelenggu, pada masa ini pasar kapitalis yang menjadikan oligarki berkuasa adalah penentu pengetahuan. Berbagai penelitian sudah banyak dilakukan bahwa Indonesia memiliki kemampuan untuk membuat produk yang seringkali diimpor dari luar negeri, tapi seringkali pengetahuan yang ada berakhir di kertas dan tersimpan di perpustakaan. Di negeri ini ada kampus yang memfokuskan pada bidang pertanian, teknologi, kesehatan, akan tetapi produk-produk yang dihasilkan, selalu dihalang-halangi, apalagi tidak sejalan dengan keinginan penguasa dan pengusaha.

Ada lembaga bernama BRIN (Badan Riset dan Inovasi Nasional) yang melahirkan banyak sekali penelitian dari berbagai bidang keilmuan. Tapi badan riset ini stagnan dan hanya bisa onani intelektual tanpa bersinggungan langsung kepada pemerintah. Yang terjadi di BRIN hanya sibuk seminar, membuat proyek penelitian, lalu menerbitkannya di jurnal internasional. Adapun temuan-temuan yang menjanjikan seringkali diabaikan pemerintah, karena tidak sejalan dengan penguasa dan pengusaha. Penunjukan Megawati sebagai pembina BRIN, sudah menunjukan dengan gamblang bahwa pengetahuan yang dihasilkan BRIN terbelenggu.

Lalu bagaimana dengan kerja-kerja riset di luar BRIN? 

Film Dirty Vote adalah hasil penelitian yang dituangkan dalam bentuk film dokumenter. Sebuah film yang mengguncanggkan publik saat menjelang pemilu. Begitu juga dengan buku Kronik Penculikan Aktivis dan Kekerasan Negara yang mendokumentasikan berita koran di masa lalu atas tindakan Prabowo yang melakukan penculikan. Keduanya bernasib sama, dilaporkan kepada institusi pemerintah, dianggap ujaran kebencian, pencemaran nama baik, dan kebohongan. Pengetahuan sekali lagi dibelenggu oleh penguasa.

Baca juga:

Bisakah pengetahuan keluar dari jerat penguasa? Di era demokrasi kebebasan berpendapat adalah elan vital dalam berdemokrasi sekaligus belenggu demokrasi. Saat penguasa berhasil menghegemoni masyarakat, maka setiap narasi yang muncul menentang pemerintah maka dengan mudah dipatahkan oleh massa atau buzzer politik. Sudah banyak kita saksikan berbagai kritik yang dilayangkan, tapi dengan mudah dibungkam.

Pendidikan

Pendidikan adalah kunci melawan pengetahuan yang dimanipulasi penguasa. Semakin banyak orang-orang terdidik, semakin banyak yang bisa terbebas dari manipulasi pengetahuan pengusaha. Waktu Indonesia merdeka, tidak lepas dari tokoh-tokoh terdidik yang punya andil peran dalam kemerdekaan bangsa. Hal yang sama dalam peristiwa ini dapat dilihat pada masa Orde Baru, saat aktivis mahasiswa yang memiliki kesadaran turun ke jalan menentang penguasa yang represif terhadap mahasiswa. Berbagai aturan coba dibungkan terhadap mahasiswa agar tidak ada kritikan terhadap penguasa. Pengetahuan inilah yang membebaskan rezim otoriter ke rezim demokratis.

Pendidikan sekarang masih jauh api dari panggang sebagai pendidikan yang ideal. Kehadiran media sosial sempat menjadi angin segar demokrasi, karena apa yang viral dapat dengan cepat ditanggapi penguasa, karena berpotensi mengarahkan kepada aksi massa yang lebih besar. Situasi ini dimanfaat dengan mengerahkan buzzer untuk melindungi pemerintah atas kritikan-kritikan yang dilontarkan. Pemerintah dengan bebas menentukan apakah hoax atau tidak.

Sayangnya suara orang-orang terdidik tak kunjung didengar. Kita sudah mendengar guru-guru besar yang bersuara dengan latar di seluruh penjuru negeri, dengan mudah diabaikan penguasa begitu saja. Berbagai aksi mahasiswa turun ke jalan dengan gampang tidak diindahkan. Sebuah upaya perlawanan terhadap pengetahuan yang hegemonik, harus diupayakan terus menerus.

Buku

Perlawanan yang paling bisa dilakukan adalah membaca buku. Pendiri bangsa ini adalah pembaca buku yang tulen dan tekun, bergulat dengan berbagai buku yang memberikan mereka kesadaran akan nasionalisme dan melawan penjajahan. Begitupun pada masa Orde Baru, buku adalah hal yang paling ditakuti. Berbagai macam buku kiri dilarang penguasa karena menjadi alat perlawanan terhadap penguasa.

Di era sekarang, buku memang dengan mudah diakses. Namun ironisnya pembaca buku di negeri ini masih minim. Mahalnya harga buku dan terbatasnya akses perpustakaan menjadi beberapa faktor utama ketaktersampaian buku pada pembacanya.

Tentunya kondisi ini harus segera dicarikan solusi.  Akses buku harus dibuat semudah dan semurah mungkin. Buku harus menjadi nadi dalam kehidupan masyarakat. Dengan menyebarluasnya pembaca buku, nalar kritis masyarakat akan semakin bagus dan daya gedor perlawanan akan semakin kuat. (*)

 

Editor: Kukuh Basuki

 

 

 

Romario

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email