Civil Phobia: Ketakutan Pemerintah terhadap Suara Rakyat

Fawaid Abdullah Abbas

3 min read

Dalam sistem demokrasi, suara rakyat merupakan elemen fundamental yang menjadi penopang utama keberlangsungan negara. Namun, tidak jarang pemerintah menunjukkan sikap yang seolah-olah takut terhadap kritik, protes, atau aspirasi masyarakat. Fenomena ini sering disebut sebagai “civil phobia”. Dalam konteks pemerintahan Prabowo Subianto, isu civil phobia menjadi semakin relevan dengan berbagai kebijakan dan respons pemerintah terhadap dinamika sosial-politik yang terjadi.

Civil phobia adalah istilah yang menggambarkan ketakutan atau resistensi pemerintah terhadap suara rakyat, terutama kritik, demonstrasi, atau gerakan sosial yang menuntut perubahan. Ketakutan ini sering kali diwujudkan dalam bentuk tindakan represif, pembatasan kebebasan berekspresi, dan delegitimasi aspirasi masyarakat.

Civil Phobia Kian Mencolok

Di Indonesia, civil phobia bukanlah hal baru. Namun, dalam pemerintahan Prabowo Subianto, fenomena ini tampak semakin mencolok dengan berbagai peristiwa yang menunjukkan bagaimana pemerintah merespons kritik dari masyarakat.

Fenomena civil phobia, yang mencerminkan ketakutan pemerintah terhadap kritik dan suara rakyat, terlihat jelas dalam beberapa peristiwa terkini yang terjadi selama pemerintahan Presiden Prabowo Subianto. Salah satu kasus yang mencolok adalah demonstrasi besar-besaran Indonesia Gelap.

Sejak Februari 2025, ribuan mahasiswa dan masyarakat sipil turun ke jalan untuk menolak revisi Undang-Undang TNI dan kebijakan kontroversial lainnya. Namun, alih-alih merespons aspirasi rakyat secara konstruktif, pemerintah justru menuduh bahwa aksi tersebut adalah “demo bayaran”. Tuduhan ini tidak hanya merendahkan gerakan masyarakat sipil, tetapi juga menunjukkan sikap defensif pemerintah terhadap suara kritis.

Selain demonstrasi, intimidasi terhadap jurnalis juga menjadi sorotan utama. Aliansi Jurnalis Independen (AJI) melaporkan bahwa dalam tiga bulan pertama tahun 2025, terdapat 22 kasus kekerasan dan teror terhadap jurnalis, termasuk ancaman pada jurnalis Kompasiana.com Adhyasta Dirgantara dan pengiriman kepala babi pada jurnalis Tempo.co Fransisca Christy, pada Maret lalu.

Kekerasan ini mencerminkan upaya untuk membungkam media yang berani mengkritik kebijakan pemerintah. Ketidakmampuan pemerintah untuk menerima kritik dari media semakin memperkuat adanya civil phobia, di mana kebebasan pers terancam oleh tindakan represif.

Di ruang digital, civil phobia juga tercermin melalui respons negatif terhadap kritik di media sosial. Setelah pernyataan Prabowo mengenai “demo bayaran”, banyak netizen yang menyindir sikapnya dengan menyebutnya sebagai “alergi demo”. Respons ini menunjukkan bagaimana civil phobia tidak hanya terjadi di level pemerintah tetapi juga meluas ke masyarakat, di mana kritik terhadap pemerintah sering kali disambut dengan serangan personal di media sosial.

Baca juga:

Tindakan represif juga terlihat dalam penanganan aksi protes. Selama demonstrasi Indonesia Gelap, bentrokan antara aparat keamanan dan demonstran terjadi di beberapa kota besar. Laporan menyebutkan bahwa beberapa mahasiswa terluka akibat penggunaan kekuatan berlebihan oleh aparat untuk membubarkan aksi damai. Kekerasan semacam ini mencerminkan ketakutan pemerintah terhadap gerakan masyarakat sipil yang kritis.

Selain itu, aktivis yang terlibat dalam aksi protes sering kali menghadapi ancaman dan intimidasi dari aparat keamanan. Mereka kerap dilabeli sebagai “pengacau” atau “provokator,” menciptakan stigma sosial yang membuat banyak orang merasa takut untuk bersuara atau berpartisipasi dalam aksi protes.

Label negatif ini tidak hanya merugikan individu yang bersangkutan tetapi juga mempersempit ruang kebebasan berekspresi di masyarakat. Dandhy Dwi Laksono, seorang sutradara film dokumenter, menyatakan bahwa tuduhan semacam itu biasanya datang dari mereka yang terbiasa melakukan praktik serupa, seperti memanfaatkan massa untuk kepentingan politik.

Civil phobia memiliki dampak yang signifikan terhadap kualitas demokrasi di Indonesia. Pertama, fenomena ini dapat memperlemah partisipasi masyarakat dalam proses politik. Ketika masyarakat merasa bahwa suara mereka tidak dihargai atau bahkan dibungkam, mereka cenderung menjadi apatis terhadap isu-isu politik dan kebijakan publik. Akibatnya, proses demokrasi kehilangan elemen penting berupa keterlibatan aktif warga negara.

Kedua, civil phobia dapat merusak kepercayaan publik terhadap pemerintah. Ketika pemerintah lebih fokus pada pembungkaman kritik daripada merespons aspirasi rakyat secara konstruktif, kepercayaan masyarakat terhadap institusi negara akan menurun. Hal ini berpotensi menciptakan ketidakstabilan sosial-politik karena rakyat merasa tidak memiliki saluran yang efektif untuk menyampaikan keluhan mereka.

Ketiga, civil phobia dapat memicu polarisasi sosial yang lebih tajam. Ketika perbedaan pendapat dianggap sebagai ancaman oleh pemerintah, masyarakat cenderung terpecah menjadi kelompok-kelompok yang saling berlawanan. Polarisasi ini dapat memperburuk konflik sosial dan menghambat upaya untuk mencapai konsensus nasional.

Penyebab Civilphobia

Ada beberapa faktor yang menyebabkan munculnya civil phobia dalam pemerintahan Prabowo Subianto, antara lain:

  • Ketidakstabilan Politik: Pemerintah mungkin merasa bahwa kritik atau protes dapat menggoyahkan stabilitas politik dan mengancam posisi mereka.
  • Kurangnya Budaya Dialog: Ketidakmampuan atau keengganan pemerintah untuk membuka ruang dialog dengan masyarakat sering kali menjadi penyebab utama munculnya civil phobia.
  • Kepentingan Elite: Dalam beberapa kasus, ketakutan terhadap suara rakyat berasal dari upaya elite politik untuk mempertahankan kekuasaan dan menghindari tuntutan perubahan.
  • Pengaruh Militerisme: Sebagai seorang mantan jenderal militer, gaya kepemimpinan Prabowo cenderung mengedepankan pendekatan keamanan daripada pendekatan dialogis dalam menghadapi dinamika sosial.

Pakar Hukum dan Hak Asasi Manusia, Julius Ibrani dari Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI) memberikan catatan penting tentang perlunya dialog terbuka antara pemerintah dan masyarakat sipil. Ia menekankan bahwa ketika Prabowo mengundang tokoh-tokoh dari gerakan “Indonesia Gelap” untuk berdiskusi secara tertutup, hal ini dapat mengubah posisi presiden dari pemimpin publik menjadi ranah privat yang tidak baik bagi transparansi pemerintahan.

Sementara itu, Herdiansyah Hamzah dari Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA) menilai bahwa rencana Prabowo untuk berdialog secara tertutup mencerminkan keinginan untuk mengesankan diri sebagai sosok responsif tanpa benar-benar berkomitmen untuk mendengarkan aspirasi rakyat. Ia menegaskan bahwa dialog seharusnya dilakukan secara terbuka agar semua pihak dapat terlibat dalam proses pengambilan keputusan.

Baca juga:

Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), M. Isnur, juga berpendapat bahwa jika Prabowo ingin memahami aspirasi publik dengan baik, seharusnya ia mengandalkan data intelijen yang akurat daripada mengandalkan asumsi-asumsi keliru tentang gerakan-gerakan masyarakat sipil. Ia menegaskan anggapan bahwa aksi demonstrasi adalah hasil dari “bayaran” menunjukkan kurangnya kemampuan pemerintah untuk mendengarkan suara rakyat secara efektif.

Civil phobia adalah tantangan serius bagi demokrasi Indonesia di bawah pemerintahan Prabowo Subianto. Ketakutan pemerintah terhadap suara rakyat tidak hanya merusak hubungan antara pemerintah dan masyarakat tetapi juga mengancam keberlanjutan sistem demokrasi itu sendiri.

Untuk menjaga keseimbangan politik dan memastikan partisipasi aktif warga negara, penting bagi pemerintah untuk mengubah pendekatan mereka terhadap kritik dan aspirasi rakyat. Dengan membuka ruang dialog yang konstruktif dan menghormati hak-hak masyarakat sipil, Indonesia dapat mengatasi civil phobia dan memperkuat fondasi demokrasinya di masa depan.

 

 

Editor: Prihandini N

Fawaid Abdullah Abbas

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email