Social Return on Investment (SROI) awalnya diperkenalkan Social Value, UK sebagai salah satu impact evaluation dalam proyek-proyek sosial. SROI secara filosofi mengadopsi perhitungan model ROI dalam akuntansi yang biasa digunakan investor untuk melihat kinerja perusahaan/project namun mengadopsinya untuk perhitungan social project. Maka wajar komponennya sangat mirip, mulai dari memperhitungkan cost (investment), benefit, hingga soal rate (suku bunga acuan).
Advokasi Program
Proyek pertama yang saya pelajari tentang SROI salah satunya tentang investasi disabilitas di Uni Eropa, di mana proyek ini sebelumnya dihitung sebagai cost yang identik dengan beban anggaran. Tetapi para aktivis disabilitas mengajukan perhitungan bahwa investasi negara untuk mendukung assistive device dan beragam program inklusi akan berdampak luas tidak hanya bagi disabilitas namun pada banyak aspek mulai keluarga, masyarakat, efisiensi anggaran, hingga kontribusi pajak di masa depan.
Baca juga:
Dukungan negara, memberikan kesempatan para disabilitas beradaptasi dengan ekosistem inklusif dan mandiri, sehingga mengurangi ketergantungan pada pendamping. Alhasil pendamping punya peluang masuk pasar kerja, disabilitas yang mampu adaptif juga menjadikannya bisa mengakses pendidikan inklusi, sehingga pemerintah menghemat banyak anggaran untuk membangun fasilitas khusus. Hal itu membuat mereka dapat masuk ke pasar kerja yang efektif di masa depan sehingga berpeluang berkontribusi pada pajak. Perhitungan yang diajukan 1:1400 dalam jangka 30 tahun, artinya setiap 1 juta Euro yang diinvestasikan memberikan nilai 1.4 miliar Euro pada tahun ke-30.
Di sini perlu dipahami, SROI menjadi alat advokasi program, untuk meyakinkan funding mau masuk ke arena non profit. Bisa jadi itu adalah anggaran negara, donor dari konsorsium bisnis, ataupun development agency, dan sebagainya.
Di Indonesia, metode SROI awal mula banyak diperkenalkan para penggiat NGO yang berorientasi development. Selanjutnya metode itu diadopsi oleh CSR, terutama melalui PROPER KLHK yang sejak 2021 memasukan SROI sebagai salah satu aspek penilaian.
Di sinilah, SROI menjadi salah satu metode masif banyak digunakan, dipelajari, dibuat training dan sebagainya. Bahkan banyak yang mengangkatnya dalam jurnal ilmiah. Meski masih minim perdebatan metodologis yang seharusnya bisa memperkaya sebuah tools.
Lebih dari sekedar Uang!
Social Value dalam guidance-nya (2012) memberikan poin penting, bahwa penilaian SROI sejatinya adalah cara untuk memungkinkan alur program dan pembelajaran upaya-upaya sosial dan lingkungan dapat diceritakan dengan mudah dan proporsional dengan menggunakan pendekatan monetisasi. Namun ini lebih bercerita tentang value ketimbang soal uang.
SROI biasanya dilakukan 3 tahap;
1. Forecasting, saat project dirancang difungsikan untuk melihat prospek program sekaligus guidance memastikan dampak berjalan optimal dengan skenario yang tepat.
2. Mid-term evaluation, untuk melihat konsistensi dan peluang optimalisasi. Biasanya banyak kondisi di mana program ternyata tidak berjalan efektif akibat adanya faktor yang tak terduga sehingga menuntut perubahan konsep untuk mengembangkan dampak yang lebih optimal. Namun bisa sebaliknya juga, program mengalami percepatan atau menemukan dampak positif tak terduga yang dapat dimaksimalkan bahkan melampaui rencana awal.
3. Terakhir final evaluation, untuk mendapatkan pembelajaran baik ke internal program dalam proses perbaikan logic program ataupun pembelajaran eksternal untuk pengembangan program sejenis.
Dengan tiga pendekatan tersebut, maka kunci SROI bukan pada berapa angkanya, tapi pada bagaimana alur program itu dibangun untuk dampak yang optimal. Selain itu juga mengukur proporsionalitas dampak dari masing-masing stakeholder terlibat sehingga SROI juga identik dengan stakeholder benefit mapping.
Waspada Delusi Makna
Dengan mulai maraknya penggunaan SROI terlebih oleh CSR perusahaan yang tengah digandrungi tren sustainability, maka mulai muncul kekhawatiran latah dan ikut-ikutan saja. SROI seakan perlombaan, mengejar skor untuk dapat penghargaan, tapi abai dengan proses pembelajaran dan perbaikan perencanaan program ke depan. Hal ini nantinya akan mendelusi makna SROI karena tidak ada makna apapun antara SROI rendah dan tinggi ketika pembelajarannya tidak diambil.
Baca juga:
Di sisi lain, perlu dipahami juga keterbatasan SROI secara metodologis. Meski namanya hampir mirip dengan ROI yang biasa digunakan di instrumen pasar keuangan, namun SROI bukan metode yang tepat untuk evaluasi bisnis murni. Beberapa ahli menyarankan menyandingkan SROI dengan CBA (cost benefit analysis). SROI untuk melihat multiplayer effect sedangkan CBA akan fokus pada mengontrol biaya-biaya dan optimalisasi investasi sehingga menghasilkan return yang optimal. Pembandingan keduanya akan menghasilkan nilai komprehensif antara kontrol “biaya” dan “multiplayer impact“.
Mengingat aturan dasar ilmiah, “gunakan metode sesuai pada tempatnya”, sehingga SROI harus ditempatkan pada konteks upaya mengoptimalkan benefit bukan dipaksa untuk menghitung keuntungan seolah-olah besar.
Maka, saatnya kita menginternalisasi konsep SROI agar lebih meaningfull dan impactfull, dengan menempatkan mindset dan cara kerja yang tepat;
Pertama, mulai terapkan saat perencanaan program, setidaknya bagi peserta proper. Buatlah konsep di awal tahun ketika memperbaharui rencana kerja sehingga bisa menjadi alur untuk optimalisasi program.
Kedua, tidak meninggalkan program pasca-SROI. Banyak pembelajaran menarik yang bisa dikembangkan setelahnya.
Ketiga, mau terlibat belajar bersama. Siapapun penyusun SROI, manfaat utamanya untuk organisasi pengelola program, sehingga perlu keterlibatan semua pihak.
Keempat, pihak eksternal (konsultan) sedianya menjadi fasilitator belajar. Bukan menghasilkan angka, tapi untuk mendorong refleksi tajam untuk memaksimalkan dampak ke depan.
Dengan keempat skema ini, SROI diharapkan dapat lebih bermakna dan berdampak untuk kerja-kerja pemberdayaan, konservasi, dan kemanusiaan. (*)
Editor: Kukuh Basuki