Sembilan belas tahun sudah Persela Lamongan mengarungi kerasnya kasta tertinggi Liga Indonesia. Segala cerita bahagia dan duka telah dirasakan oleh Laskar Joko Tingkir. Meski jauh dari asa untuk menjadi juara, Persela rasanya sudah turut andil untuk mewarnai belantika sepakbola nasional yang antah berantah ini.
Persela Lamongan merupakan tim dari daerah tingkat 2 (baca: Kabupaten) yang paling lama bisa bertahan di kasta tertinggi sepakbola nasional. Sejak promosi pada 2003, Persela belum pernah sekali pun terjerembab masuk dalam kubangan zona degradasi. Persela telah mengikuti semua kompetisi tertinggi di sepakbola nasional yang terus berganti nama dari Liga Bank Mandiri, Indonesian Super League, QNB Super League, Torabika Soccer Championship, Gojek-Traveloka Liga 1, Shopee Liga 1, hingga sekarang BRI Liga 1. Diantara klub-klub dari kabupaten di seluruh penjuru Indonesia lainnya, Persela adalah tim yang sangat awet untuk bertahan di kompetisi sepakbola tertinggi di Indonesia ini.
Meski selalu terkesan bersusah payah dalam menjalani setiap musimnya, namun Persela Lamongan selalu bisa membuktikan bisa menjadi klub yang enggan disebut medioker. Persela bisa memberi perlawanan sengit kepada klub-klub besar di Liga Indonesia. Klub berseragam biru muda ini dalam setiap musimnya selalu menampilkan permainan yang apik dan epik. Persela enggan untuk sekadar numpang lewat saja di Liga Indonesia.
Patut diakui bahwa Persela Lamongan merupakan klub yang sangat sulit terkalahkan saat bermain di kandangnya sendiri, Stadion Gelora Surajaya Lamongan (GSL). Di hadapan para pendukungnya, sang Laskar Joko Tingkir selalu bermain kesetanan jika bermain di kandangnya sendiri. Entah karena panasnya cuaca Kota Lamongan atau memang stadion yang diambil namanya dari gelar Bupati pertama Lamongan ini memang angker, setiap klub yang melawan Persela di Surajaya pasti ada keder.
Persetan dengan sebutan sebagai klub yang memang jago kandang, Persela memang bisa dibilang seperti mempuanyi harga diri tersendiri jika kalah di GSL. Persela boleh kalah sebanyak apa pun di kandang lawan, namun jika di Surajaya: haram!
Di setiap pertandingan di Stadion Surajaya, seluruh penduduk kota tumplek blek untuk hadir menyaksikan pertandingan ini. Kabupaten dengan jumlah desa terbanyak di Jawa Timur ini menjadi sepi saat Persela bertanding. Semua orang Lamongan seperti menyempatkan waktu sorenya untuk datang di Surajaya atau menonton lewat layar tv masing-masing. Semua orang Lamongan dari ujung pantai utara Jawa hingga pelosok-pelosok desa yang masih dikelilingi sawah dan tambak seperti memberi dukungan penuh kepada Laskar Joko Tingkir. Dukungan penuh yang tentu dari penduduk asli Lamongan ini seperti memberi garansi agar Persela memenangkan setiap pertandingannya di Surajaya.
Stadion Surajaya menjadi selalu bergemuruh saat Persela berlaga. Para L.A Mania selalu tidak pernah berhenti bernyanyi selama 90 menit penuh. Mereka memberi dukungan penuh dengan membeli tiket, terus mengumandangkan nyanyian dukungan, hingga spanduk-spanduk yang memenuhi setiap pagar Surajaya.
Pada saat menjalani laga tandang pun Persela juga didukung oleh banyaknya warga Lamongan yang merantau ke tiap-tiap kota di Indonesia. Dari pedagang soto dan pecel lele hingga kuli bangunan dan pekerja kasar, perantauan Lamongan ini jadi meliburkan diri saat Persela bertanding di sana. Yang unik bahkan di saat tanding di luar kota seperti itu, kadang terlihat spanduk pecel lele yang terbentang di sisi stadion. Ini membuktikan bahwa orang Lamongan selalu tidak lupa akan identitas dari mana mereka berasal.
Seperti dalam buku Persela: Menegaskan Identitas Kami yang ditulis oleh Kamerad Miftakhul Fahamsyah, Persela telah mampu memberikan rasa percaya diri orang Lamongan di mana pun mereka berada. Dengan adanya Persela, orang Lamongan menjadi tak ragu untuk menunjukkan ke-Lamongan-annya.
“Kini anak-anak muda, juga yang tua, bisa dipastikan tak lagi segan menyebut Lamongan sebagai identitasnya. Mereka tidak pernah ragu menempatkan Lamongan sebagai jawaban pertama tentang daerah asalnya” kutip Mifta Fim dari bukunya itu.
Atas prakarsa Bupati Lamongan saat itu, H. Masfuk, Persela dibangkitkan lagi dari tidur lamanya sejak 18 April 1967. Persela dipakainya sebagai alat promosi kota yang berhasil. Bupati Masfuk juga mampu melihat minat anak-anak muda Lamongan yang memang menyukai sepakbola. Ini terbukti dari banyaknya pemain dari Lamongan yang terus malang melintang di persepakbolaan nasional. Dari alm. Huda, Taufik Kasrun, Birrul Walidain, Dendi Sulistiawan, Ahmad Nurhardiansyah, dan mungkin masih banyak lagi nantinya. Persela muda toh juga lebih berprestasi dari seniornya dengan pernah dua kali beruntun menjuarai ISL U-21 pada tahun 2010/2011 dan 2011/2012.
Meski begitu, patut diingat di awal perjalanannya sangat banyak pro-kontra mengenai besarnya anggaran daerah yang digunakan untuk membiayai Persela ini. Uang dari rakyat ini dipergunakan miliaran rupiah untuk menghidupi Persela Lamongan. Dalam satu musim kompetisi, Persela bisa menghabiskan anggaran puluhan miliar. Pengeluaran yang tentu tidak sedikit. Apalagi, bagi daerah atau kabupaten kecil seperti Lamongan yang notabene pendapatan asli daerahnya tergolong tidak besar-besar amat.
Pengeluaran tersebut juga seperti mengabaikan dua hal penting: pendidikan dan kesehatan masyarakat. Tentu juga mengabaikan pembangunan infrastruktur. Jalan salah satunya. Patut diketahui problem di Lamongan adalah jalan rusak yang entah kenapa bahkan sampai sekarang juga masih ditemukan jalan yang jerawatan seperti ini. Belum lagi saat musim penghujan tiba, selalu ada keluhan masyarakat mengenai jalan rusak dan banjir.
Tidak sedikit di antara kami, orang Lamongan, yang menilai gelontoran dana tersebut sangat tidak rasional. Tidak masuk akal. Menihilkan kepentingan masyarakat. Padahal, anggaran itu berasal dari rakyat dan semestinya dikembalikan untuk kesejahteraan rakyat.
Tidak sedikit pula yang menganggap Persela sekadar dijadikan kendaraan politik. Kendaraan bagi penguasa daerah untuk melanggengkan kursi kekuasaannya. Sebab, sepak bola selalu mampu menjadi alat untuk mengumpulkan massa. Juga selalu bisa dijadikan alat untuk menggerakkan massa.
Tapi langkah ciamik dari Bupati Masfuk toh seperti bisa orang Lamongan rasakan. Kita menjadi tidak minder dengan menjadi The Lamongans.
“Persela bukan sekadar kesebelasan sepak bola. Persela merupakan sarana untuk mempromosikan Lamongan. Sarana mengenalkan Lamongan kepada khalayak,” kata H. Masfuk, dikutip dari buku Persela, Menegaskan Identitas Kami.
Degradasi
Dalam perjalanan 19 tahun ini, peringkat tertinggi Laskar Joko Tingkir pun hanya bisa menduduki peringkat 4 pada tahun 2011/2012. Persela juga 3 kali mendapat peringkat 6 pada tahun 2006, 2007, dan 2008. Pada Indonesia Super League 2014, Persela juga sempat lolos hingga babak 8 besar. Untuk Piala Gubernur Jawa Timur, Persela bersama Persik Kediri menjadi pemegang Piala terbanyak. Pada turnamen yang pertama kali diadakan pada 2002 ini, alm. Choirul Huda cs pernah memenangkannya sebanyak 5 kali.
Peringkat tertinggi Persela Lamongan selama 19 tahun berkiprah di kasta tertinggi Liga Indonesia adalah peringkat 4 pada musim 2011/2012. Persela yang diasuh Miroslav Janu kala itu tampil edan-edan sehingga sulit untuk dikalahkan baik di kandang maupun tandang. Itu adalah musim yang indah bagi Persela Lamongan dengan lahirnya kelompok supporter baru di tribun utara yaitu Curva Boys 1967.
Dukungan pantang menyerah di setiap pertandingan oleh L.A Mania, D89, dan kelompok baru di tribun utara yaitu Ultras Persela itu membuat Persela memperoleh peringkat lebih tinggi dari klub-klub besar seperti Persija, Persib, maupun Arema. Di akhir musim, tim asuhan almarhum Janu itu memperoleh 15 kemenangan, 11 seri, dan 8 kekalahan dengan total poin 56. Momen bersejarah pada musim itu yang terkenang adalah saat pertandingan terakhir melawan Persiwa, topskor Persela saat itu yang juga merupakan runner up topscore liga dengan 22 gol, yaitu Mario Costas berselebrasi dengan menyalakan redflare ke tribun utara.
Jika diingat dari awal promosi di Stadion Manahan Solo pada 2003 lalu, Persela sungguh sangat memiliki arti bagi pecinta sepakbola di Lamongan. Persela telah memberi arti bagi hidup orang asli Lamongan yang fana ini. Teringat bahwa begitu meriahnya Lamongan saat diketahui bisa promosi ke Liga Bank Mandiri. Saya yang masih SD, masih mengingat bagaimana meriahnya Kota ini saat itu. Orang-orang jadi berbondong-bondong dengan bangga memakai pakaian biru muda dan menyanyikan chant-chant Persela di mana pun berada.
Di awal-awal perjalanan Persela, Kleber Dos Santos cs selalu didukung penuh oleh L.A Mania yang selalu memenuhi Stadion Surajaya. Jika Persela bertanding pada jam 3 sore, kita akan melihat pada jam 12 orang-orang sudah berdatangan untuk menduduki tribun timur. Orang-orang ini tentu ingin bisa mendapatkan tempat terbaik untuk menyaksikan Sang Laskar Joko Tingkir berlaga. Pada saat itu jika diingat kembali, orang-orang Lamongan mempunyai antusias yang besar untuk bisa menonton setiap pertandingan dari Persela Lamongan.
Sebelum Stadion Surajaya mempunyai lampu, Persela yang selalu bermain di sore hari selalu ditunggu oleh orang-orang Lamongan. Entah hujan deras atau panas terik, mereka sangat antusias dengan Persela. Bahkan saya yang masih SD itu ingat, ada teman-teman saya yang diperbolehkan orangtuanya untuk bolos saat Persela bertanding. Di awal masa-masa kejayaan George Rodrigez Guzman dan Oscar Aravena itu sangat teringat bahwa Persela adalah klub baru yang sangat ditunggu setiap minggunya meski Stadion Surajaya masih seadanya tidak seperti sekarang.
Surajaya menjadi stadion tempat bersilaturahminya orang Lamongan. Pekerjaan setiap hari sebagai pegawai pabrik, swasta, petani, nelayan, hingga penjual makanan ditanggalkan pada saat Persela berlaga. Persela telah menyatukan orang Lamongan dari beragam pekerjaan, tingkat ekonomi, hingga tiap desa di Lamongan yang mempunyai perbedaan budaya satu sama lain. Dalam hal kedatangan ke stadion, Persela pernah menempati posisi okupansi tertinggi ke dua pada musim 2016/2017. Persela hanya kalah 0,1 persen dari Persib Bandung yang menempati posisi tertinggi dengan okupansi sebesar 61 persen. Pada musim selanjutnya kedatangan supporter ke GSL juga tertinggi ke-dua di Indonesia dengan okupansi presentase 89 persen.
Teringat juga bagaimana saat Persela untuk pertama kalinya menjuarai Piala Gubernur Jawa Timur pada 2003. Itu adalah ke-2 kalinya orang Lamongan melakukan awayday besar-besaran setelah play-off di Manahan, Solo. Pada pertandingan melawan Deltras Sidoarjo yang dimenangkan Persela lewat adu penalti itu, kita semua yang hadir di Gelora 10 November, Surabaya sangat merasakan sukacitanya. Sepulang dari away, kita menjadi sangat mencintai Persela Lamongan. Besoknya di Lamongan sudah ramai dengan kabar bahwa Persela Lamongan adalah juara baru yang harus selalu orang Lamongan dukung.
Yah, kita semua tentu pasti selalu merindukan Stadion Surajaya yang di setiap pertandingannya kerap membuat macet jalan provinsi. Di sana kita bertemu kawan-kawan lama, minum-minum sebelum hingga sesudah pertandingan bersama, dan saat pertandingan menuntut keras agar Persela jangan sampai kalah.
Semangat kedaerahan yang tinggi sebagai sesama Lamongan membuat ada rasa kekeluargaan yang tinggi di kalangan supporter Lamongan. Itu adalah nilai lebih yang sepertinya tim besar lain tidak punya. Persela didukung oleh orang-orang Lamongan sendiri. Tidak wajar rasanya jika ada orang daerah lain menjadi pendukung Persela karena Persela tentu tidak menawarkan apa pun dalam hidupnya.
Tidak peduli dengan anggapan bahwa sepakbola adalah harus anti dengan politik. Adanya Persela dari awal hingga sekarang juga karena peran politik di Kabupaten Lamongan. Jika tidak ada politik yang turut membenahi Persela, orang Lamongan tentu tidak mempunyai hiburan setiap minggunya dengan menonton Persela bertanding. Toh sepakbola bagi orang Lamongan juga menjadi sangat politis sebagai cara orang Lamongan menunjukkan politik identitasnya.
Tapi sekarang kita tahu, bahwa Persela Lamongan sedang terseok-seok dalam kompetisi BRI Liga 1. Persela yang dipaksa tidak bisa bertanding di stadionnya yang angker menjadi susah sekali untuk memperoleh kemenangan. Kami sebagai orang Lamongan menjadi selalu mengelus dada dan sport jantung saat Persela berlaga. Laskar Joko Tingkir yang selalu ditunggu pada setiap minggunya menjadi tidak menarik ditonton.
Sepeninggal Choirul Huda, bagi saya, rasanya Persela seperti kehilangan kekeluargaan di antara pemainnya. Persela tidak lagi menjadi family team seperti yang Cak Huda wariskan kepada tim ini. Budaya nyangkruk, memancing, atau makan-makan antar pemain lama dan pemain baru sudah tidak terlihat lagi di tim ini. Kehangatan ruang ganti dan Mess Persela yang selalu mudah kita pantau sudah tidak terasa lagi. Entah ada apa dengan tim kebanggaan masyarakat Lamongan ini, kita jadi merasa harus pasrah dengan semuanya.
Persela Lamongan musim ini sudah dipastikan untuk degradasi setelah pada beberapa pertandingan terakhirnya justru berakhir semakin tragis. Persela tidak mampu bertahan melawan Liga yang semakin ganas ini. Pertandingan yang terus dilangsungkan di Pulau Bali membuat Persela seperti kepayahan. Mereka yang tidak bisa didukung langsung oleh L.A Mania dan Curva Boys 1967 menjadi bermain ogah-ogahan.
BRI Liga 1 yang berjalan di tengah pandemi Covid-19 ini sungguh teramat berengsek. Persela yang menjadi tidak mendapat pendapatan dari berjualan tiket pertandingan menjadi harus kehilangan pendapatan untuk menghidupi tim ini. Persela seperti dipaksa untuk susah menang dengan seringnya kebobolan di menit akhir.
Bagi kami, warga Lamongan, asa dan harapan bahwa Persela Lamongan tidak akan pernah degradasi selama NKRI ini masih berdiri. Tapi apa daya sekarang, Persela yang tidak bisa bermain di kandang dan tidak bisa didukung langsung oleh pendukungnya menjadi susah sekali untuk menang. Melihat Persela yang tidak ada di kasta tertinggi Liga Indonesia besok, sepertinya kita harus siap meski susah. Suudzon kami, selalu ada akal bulus dari penguasa untuk mendegradasikan kami dari dulu, dan usaha ini berhasil dengan cara menjauhkan Persela dari Surajaya-nya.
Persela Lamongan musim depan sudah tidak ada di Liga tertinggi sepakbola nasional. Keputusan degradasi Persela semakin jelas setelah kalah 1-2 melawan PSIS Semarang pada pertandingan terakhir BRI Liga 1 pada Selasa 29 Maret 2022. Kekalahan pada pertandingan terakhir Persela ini semakin memperburuk rekor Persela musim ini yang kalah pada 19 pertandingan, 12 seri, dan hanya menang 3 kali saja.
Segala kenangannya akan terkubur mendalam di hati masing-masing warga Lamongan. Bagaimana setiap akhir pekan selalu bersama teman maupun keluarga datang ke Stadion Surajaya untuk menyaksikan Persela Lamongan bermain dengan sukacita. Selalu ada kerinduan akan lumpia stadion yang khas dengan saus tomat bercampur tepung dan juga daun bawang serta cabe rawit.
Kesetian terhadap Persela semestinya terawat dengan baik sebagaimana lagu Setia Bersamamu yang akan tetap selalu bergema saat Persela Lamongan berlaga. Kesetiaan bernama Choirul Huda mesti diwariskan kepada orang-orang Lamongan untuk terus bisa menyetiai Persela Lamongan bagaimanapun kondisinya. Meski Persela Lamongan ada di kasta ke-2 Liga Indonesia musim depan, L.A Mania dan Curva Boys 1967 semestinya terus menjaga panji Persela agar terus berkibar.
Hidup adalah bagaimana cara kita memaknainya dan menjalaninya sebagai laku kehidupan. Tulisan ini adalah bagian dari kami, warga Lamongan yang sakit hati dengan kompetisi yang busuk dan penuh borok tahun ini.