Menulis musik dan beberapa pernik-pernik budaya populer lainnya

Lorong Kosong Pendengar Keroncong

Kukuh Basuki

4 min read

Dari banyaknya playlist musik teman-teman yang sering dipamerkan di platform story media sosial, sangat jarang ada lagu keroncong yang ada di dalamnya. Jika bertanya pada kebanyakan orang, siapa artis keroncong yang dikenal, tak banyak yang bisa menyebutkan lebih dari hitungan jari. Paling umum yang mereka ketahui adalah almarhum Gesang, Waljinah, dan Sundari Soekotjo. Selebihnya tidak banyak yang tahu.

Sebagai pendengar radio aktif, saya juga sering mengikuti perkembangan musik dalam negeri. Setiap radio biasanya mempunyai sesi acara tangga lagu terbaik atau terpopuler. Berbagai macam genre musik mulai dari pop, RnB, jazz, rock, folk, reggae saling berlomba-lomba menduduki peringkat teratas. Keroncong? Hampir tak pernah muncul.

Baca juga: 

Apakah ini sinyal sebegitunya eksklusivitas musik keroncong hingga karya-karya mereka hanya bisa dinikmati oleh komunitasnya sendiri? Saya kira reggae, ska, punk, dan jazz juga musik komunitas. Tapi mereka masih bisa menembus telinga khalayak musik populer di luar mereka.

Oke kalau membandingkan genre musik keroncong dengan genre-genre yang dari luar negeri itu dianggap tidak apple to apple, saya akan membandingkan dengan campursari dengan dangdut. Ya, keroncong, campursari dan dangdut adalah musik non tradisional yang sama-sama lahir di Indonesia.

Dalam beberapa tahun terakhir campursari menggeliat dengan merangsek masuk ke pendengar musik milenial. Dengan tokoh utama The Master of Broken Heart – almarhum Didi Kempot, campursari berhasil melahirkan gelombang baru penggemar mudanya yang terkenal dengan sebutan “sobat ambyar”. Campursari yang awalnya dianggap musik orang-orang tua atau setidaknya dulu beberapa pemuda malu mengakui menyukainuya, kini tidak lagi. Mereka dengan bangga menyanyikan lagu-lagu Mendung Tanpo Udan tanpa takut kehilangan jiwa mudanya.

Dangdut? Tidak perlu diragukan lagi bagaimana musik ini terus bermetamorfosis dan melahirkan subgenre-subgenre baru di dalamnya dengan keunikan ciri khas masing-masing. Stasiun televisi beramai-ramai menyiarkan acaranya di jam tayang utama dengan durasi yang sangat panjang. Dangdut seperti tak pernah kehabisan artis pendatang baru. Lagu-lagu baru dangdut juga terus bermunculan dan sering kali viral dan mengangkat nama penyanyinya. Dan poin penting dari kesuksesan dangdut adalah pendengarnya yang menembus batas usia dan strata masyarakat.

Lalu bagaimana dengan keroncong? Jika alat ukurnya adalah chart lagu pop nasional, keroncong jelas tidak ada di situ. Keroncong belum bisa menembus pangsa pasar musik di era modern ini. Keroncong juga belum bisa membuat gelombang besar anak-anak muda “sobat ambyar” yang siap memadati pertunjukan campur dengan berjoget sambil menangis merayakan euforia patah hati. Keroncong juga belum bisa menembus seluruh lapisan masyarakat seperti dangdut yang terus produktif memunculkan lagu-lagu barunya.

Sebagai salah satu penggemar musik keroncong dan pernah berkecimpung di dalamnya, sangat tidak adil kalau saya hanya melihat dari satu sisi saja dan menutup mata dengan sisi lainnya. Agar berimbang akan saya bahas juga faktor lain yang menghalangi berkembangnya keroncong dari sisi musisinya sendiri.

Fanatisme

Walaupun (sudah) tidak menjadi mainstream musik nasional, keroncong di Indonesia masih tetap berdenyut. Sebagai event rutin, Solo Keroncong Festival (SKF) dan Pasar Keroncong Kotagede menjadi bukti bahwa keroncong masih mempunyai nilai tawar di blantika musik tanah air. Kedua acara tersebut selalu meriah dan sukses. Pengisi acaranya pun sangat beragam dari generasi tua  maupun muda, dari keroncong pakem sampai keroncong modern.

Di tiap-tiap kota yang pernah saya datangi juga masih mempunyai event keroncong yang berskala kecil namun rutin. Setiap selasa malam di studio RRI Malang hampir selalu ada live musik keroncong dari group keroncong di Kota Malang. Di Yogyakarta saya juga beberapa kali menemui live musik keroncong di kafe dan beberapa event di kampus.

Lalu dengan adanya ratusan group keroncong yang aktif hingga sekarang mengapa keroncong belum bisa bangkit dari tidur panjang dan kembali menjadi arus masif musik permusikan nasional? Jawabannya akan sangat kompleks. Namun setidaknya dalam esai ini saya ingin menyoroti satu permasalahan yang paling umum di blantika keroncong yaitu adanya semacam gap atau ketegangan antara penganut keroncong pakem dan generasi yang ingin memainkan keroncong secara bebas.

Dalam pengamatan saya ada tiga arus utama keroncong yang eksis hingga saat ini yaitu keroncong pakem, keroncong garapan, dan keroncong bebas. Pembagian ini bukanlah pembagian yang formal akademik dan hanya saya gunakan untuk mempermudah klasifikasi secara umum saja.

Arus pertama adalah group keroncong pakem. Penganut keroncong pakem akan memainkan musik keroncong klasik sesuai pakem keroncong klasik. Mereka biasanya memainkan musik-musik keroncong klasik yang sudah terkenal dengan apa adanya. Tidak ada perubahan baik tempo ataupun struktur pengulangan lagu. Jika ada improvisasi itu biasanya hanya ada di prospel (awal lagu) atau di bagian solo melodi tanpa mengubah struktur lagu.

Arus kedua adalah keroncong garapan. Keroncong garapan biasanya memberikan ornamen-ornamen melodi yang di luar kelaziman melodi keroncong klasik. Mereka bisa memasukkan unsur-unsur musik yang lebih modern misal pop, jazz, bahkan rock. Beat yang mereka tawarkan biasanya juga cenderung lebih kuat dengan tempo yang lebih cepat daripada keroncong pakem. Walaupun terkadang dalam improvisasinya mengubah beberapa struktur dari pakem keroncong klasik, namun mereka tidak benar-benar mengubah pakem keroncong tersebut. Struktur keroncong formal masih terasa di awal sampai akhir lagu.

Arus ketiga adalah keroncong bebas, atau boleh juga disebut keroncong modern, atau keroncong kekinian. Keroncong dalam klaster ini sudah tidak lagi menggunakan standar klasik pakem keroncong dalam menggubah lagu-lagunya. Mereka lebih bebas dalam menggunakan berbagai struktur dalam lagunya. Mereka bisa menggabungkan instrumen musik keroncong dengan musik-musik lainnya yang tidak lazim dalam musik keroncong misal drum, saxophone, atau gitar elektrik berdistorsi.

Bagi penggemar berat musik keroncong di tiap arus tersebut tidak mudah menerima keberadaan arus lainnya. Kelompok keroncong pakem fanatik menganggap pengubahan pada pakem keroncong akan merusak keroncong itu sendiri dan akhirnya unsur estetik keroncong itu tak lagi bisa dinikmati. Kelompok keroncong garapan menganggap keroncong pakem membosankan dan itu justru membuat keroncong kehilangan pendengar mudanya. Iulah mengapa mereka menawarkan improvisasi pada beat, melodi, dan tempo tanpa meninggalkan pakem dan nuansa keroncong secara keseluruhan. Bagi kelompok keroncong bebas, mereka menganggap bermusik adalah suatu kemerdekaan. Mereka tidak mau dibatasi dengan pakem, struktur, atau nilai-nilai formal yang ada dalam keroncong. Mereka membangun attitude baru keroncong mereka sendiri tanpa harus terikat dengan tata cara lama.

Ketegangan pada tiap kelompok tersebut membuat ketiganya jarang bertemu, berdiskusi, atau bekerjasama membuat karya bersama. Ada memang beberapa musisi keroncong di tiap arus tersebut yang tidak fanatik. Mereka bisa melompat pagar bergaul ke arus keroncong mana pun tanpa rasa canggung. Tapi jumlah mereka tidak banyak dan bisa dibilang minoritas di tiap arusnya. Namun harapan satu-satunya dari rukunnya ketiga arus tersebut adalah dari mereka yang rajin bergaul arus-arus yang berseberangan di luar mereka. Dengan itu maka akan terjadi komunikasi, pertukaran pemikiran yang bermuara pada saling pengertian di semua kelompok arus keroncong. Mereka akan semakin solid bekerjasama dalam berkarya membuat lagu-lagu baru ataupun dalam pementasan.

Jika hal itu bisa terjadi saya yakin musik keroncong kembali bangkit menggeliat di tanah air. Mereka bisa membuat gelombang baru generasi muda layaknya “sobat ambyar” pada musik campursari dan dapat semasif acara-acara musik dangdut yang menembus semua lapisan masyarakat. Dan yang pasti dalam playlist spotify generasi muda akan terselip beberapa lagu keroncong di antara hingar-bingar musik modern lainnya. Semoga.

Kukuh Basuki
Kukuh Basuki Menulis musik dan beberapa pernik-pernik budaya populer lainnya

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email