Hutan Adat Papua dalam Bayang-Bayang Kapitalisme

Herlambang 🏴

3 min read

Hutan adat Papua telah lama menjadi tulang punggung kehidupan masyarakat adat. Namun, alih-alih dihormati sebagai penjaga hutan, masyarakat adat justru dianggap penghalang pembangunan.

Sekitar satu dekade terakhir, tanah Papua yang kaya akan sumber daya alam terus menjadi arena konflik antara kepentingan ekonomi dan hak-hak masyarakat adat. Konflik ini menggambarkan bagaimana sistem kapitalisme ekstraktif kerap melibas nilai-nilai budaya dan lingkungan demi keuntungan segelintir pihak. Dalam pusaran konflik ini, hutan adat Papua menjadi korban dari eksploitasi yang dilegitimasi oleh hukum.

Dari Harapan hingga Keputusasaan

Konflik ini bermula ketika izin konsesi lahan diberikan kepada perusahaan sawit oleh pemerintah tanpa melibatkan masyarakat adat setempat. Kasus masyarakat adat Awyu adalah salah satu contoh nyata. Masyarakat ini menggugat pemberian izin yang dianggap melanggar hak ulayat mereka ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) dan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN). Namun, gugatan mereka ditolak di dua tingkat pengadilan ini. Tidak berhenti di situ, masyarakat adat Awyu membawa kasus ini ke Mahkamah Agung (MA) melalui kasasi, tetapi putusan MA lagi-lagi tidak memihak pada mereka.

Putusan MA ini, yang memperkuat legalitas izin konsesi, menjadi pukulan telak bagi masyarakat adat. Mereka kehilangan tidak hanya tanah dan hutan, tetapi juga kepercayaan terhadap sistem hukum yang seharusnya melindungi hak-hak mereka. Hutan adat yang telah menjadi bagian dari identitas budaya mereka kini berubah menjadi lahan sawit, menghilangkan habitat alami dan merusak keanekaragaman hayati.

Baca juga:

Kapitalisme Ekstraktif 

Kapitalisme ekstraktif adalah model ekonomi yang berfokus pada eksploitasi sumber daya alam untuk keuntungan finansial tanpa memedulikan dampak sosial dan ekologis. Di Papua, model ini terlihat jelas melalui perizinan konsesi lahan yang diberikan kepada korporasi besar. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dan UU Cipta Kerja semakin mempercepat proses perizinan ini dengan mengorbankan prinsip-prinsip keberlanjutan.

Yang lebih ironi, pemerintah sering kali menjadikan Corporate Social Responsibility (CSR) sebagai alat untuk membungkam kritik masyarakat. Namun, program CSR jarang memberikan solusi nyata. Dalam kasus Papua, perusahaan-perusahaan hanya memberikan kompensasi sementara yang tidak sebanding dengan kerusakan yang ditimbulkan. Greenpeace mencatat bahwa lebih dari 50 ribu hektare hutan adat di Papua telah berubah menjadi perkebunan sawit dalam satu dekade terakhir.

Pelanggaran Prinsip Hukum Lingkungan

Prinsip-prinsip hukum lingkungan seperti keberlanjutan, kehati-hatian, dan partisipasi masyarakat yang seharusnya menjadi pilar utama perlindungan hutan adat, sering kali hanya menjadi mantra kosong tanpa substansi. Dalam kasus masyarakat adat Awyu, Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) yang diwajibkan oleh regulasi tidak lebih dari formalitas administratif belaka. AMDAL ini disusun dengan mengabaikan realitas ekologis di lapangan dan tanpa melibatkan masyarakat adat yang paling terdampak oleh izin konsesi tersebut. Hasilnya, dokumen yang seharusnya menjadi tameng bagi lingkungan hidup justru menjadi senjata untuk membenarkan kehancuran.

Ketidaklibatan masyarakat adat dalam penyusunan AMDAL adalah pelanggaran terang-terangan terhadap prinsip Free, Prior, and Informed Consent (FPIC) yang diakui secara internasional. Prinsip ini menegaskan bahwa masyarakat adat harus diberikan informasi secara lengkap dan memiliki hak untuk menyetujui atau menolak setiap rencana yang berdampak pada tanah dan kehidupan mereka. Namun, apa yang terjadi? Informasi yang diberikan sering kali minim, bias, atau bahkan datang terlambat setelah keputusan diambil. Ini bukan hanya pengabaian hukum; ini adalah pengkhianatan terhadap hak-hak dasar masyarakat adat.

Lebih ironis lagi, Pasal 28H UUD 1945 yang secara eksplisit menjamin hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat hanya menjadi hiasan konstitusi. Dalam praktiknya, prinsip tersebut diabaikan secara sistematis demi memenuhi agenda korporasi besar. Putusan Mahkamah Agung (MA) yang memihak korporasi adalah pukulan telak bagi masyarakat adat Awyu. Keputusan ini tidak hanya mengabaikan hak-hak masyarakat adat, tetapi juga mengirimkan pesan yang jelas: hukum di Indonesia lebih sering tunduk pada kekuatan kapital daripada keberlanjutan lingkungan dan keadilan sosial.

Bagaimana mungkin kita berbicara tentang “hukum lingkungan” jika instrumen utamanya, seperti AMDAL, digunakan sebagai alat untuk melayani kepentingan eksploitasi? AMDAL yang disusun tanpa melibatkan masyarakat adat adalah seperti kapal tanpa kompas, yang hanya mengarahkan kita pada kehancuran. Ironi ini semakin tajam ketika pemerintah dan korporasi berdalih bahwa semua dilakukan demi “kemajuan”.

Kemajuan bagi siapa? Apakah pembangunan infrastruktur dan perluasan lahan sawit yang mengorbankan hutan adat benar-benar memberikan manfaat bagi masyarakat Papua? Ataukah semua ini hanya menciptakan jalur baru untuk menghancurkan ekosistem sekaligus membungkam suara mereka yang mencoba melawan?

Baca juga:

Ini adalah saat yang tepat untuk bertanya: jika hukum lingkungan tidak bisa melindungi mereka yang paling membutuhkan perlindungan, apa gunanya ia ada? Jika prinsip FPIC dan Pasal 28H UUD 1945 hanya menjadi retorika kosong, maka hukum kita tidak lebih dari alat legitimasi bagi eksploitasi tanpa batas.

Secercah Harapan

Meskipun situasi tampak suram, masih ada harapan yang bisa kita pegang. Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 35/PUU-X/2012 yang mengakui hutan adat sebagai bagian dari hak ulayat masyarakat adat seharusnya menjadi landasan bagi perubahan kebijakan yang lebih adil. Namun, pengakuan hukum ini perlu diiringi dengan langkah-langkah nyata, seperti revisi regulasi yang merugikan masyarakat adat dan memperkuat partisipasi mereka dalam pengambilan keputusan.

Untuk mengatasi konflik hutan adat di Papua, pemerintah harus mengambil langkah konkret. Pertama, revisi terhadap UU Cipta Kerja dan UU Kehutanan diperlukan untuk memastikan bahwa regulasi tersebut sejalan dengan prinsip-prinsip keberlanjutan. Kedua, pemerintah harus memperkuat mekanisme AMDAL dengan melibatkan masyarakat adat secara aktif. Ketiga, alokasi anggaran untuk mendukung program-program pemberdayaan masyarakat adat harus menjadi prioritas.

Hutan adat Papua adalah salah satu warisan paling berharga yang dimiliki Indonesia. Kehilangannya bukan hanya kerugian ekologis, tetapi juga kehancuran identitas budaya yang tak tergantikan. Konflik ini adalah cerminan kegagalan sistemik yang harus segera diatasi. Jika kita terus membiarkan kapitalisme ekstraktif dan hukum yang timpang menguasai, bukan hanya hutan Papua yang akan hilang, tetapi juga masa depan generasi kita. Maka dari itu, melindungi hutan adat berarti melindungi masa depan Indonesia, baik dari segi ekologi maupun keberlanjutan sosial. Jangan sampai kita terlambat dan hanya bisa mengenang hutan Papua dalam buku sejarah. (*)

 

Editor: Kukuh Basuki

Herlambang 🏴

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email