Indonesia sedang menghadapi era transformasi besar-besaran. Proyek-proyek ambisius seperti food estate, bioetanol, transisi energi terbarukan, dan pariwisata super prioritas terus digaungkan sebagai langkah maju untuk memperkuat ketahanan pangan, mengurangi emisi karbon, dan meningkatkan daya saing global. Namun, siapa yang sebenarnya diuntungkan dari proyek-proyek ini? Dan siapa yang harus menanggung beban konsekuensinya?
Jika ditelaah lebih dalam, proyek-proyek pembangunan ini kerap mengabaikan prinsip keadilan sosial dan hak masyarakat lokal. David Harvey (2003) melalui konsep accumulation by dispossession menjelaskan bagaimana akumulasi kekayaan sering kali terjadi melalui perampasan tanah, sumber daya alam, dan hak masyarakat kecil. Dalam konteks pembangunan di Indonesia, pola serupa terlihat jelas. Penggusuran paksa untuk pembangunan infrastruktur, perampasan lahan atas nama modernisasi, hingga deregulasi yang melemahkan posisi masyarakat kecil menjadi bagian dari mekanisme tersebut.
Mengorbankan Masyarakat Lokal atas Nama Kemajuan
Food estate di Kalimantan dan Merauke misalnya, digadang-gadang sebagai solusi ketahanan pangan nasional. Namun, implementasinya justru membuka pintu bagi pengambilalihan lahan masyarakat adat dan petani lokal. Tanah yang sebelumnya dikelola secara kolektif berubah menjadi perkebunan skala besar di bawah kendali perusahaan swasta, sering kali tanpa melibatkan masyarakat dalam proses pengambilan keputusan. Masyarakat yang kehilangan akses terhadap tanah ini tidak hanya dirugikan secara ekonomi, tetapi juga kehilangan identitas kultural yang terikat dengan tanah leluhur mereka.
Baca juga:
Situasi serupa terjadi dalam transisi energi terbarukan. Ambisi Indonesia untuk mengembangkan energi panas bumi sebagai sumber energi ramah lingkungan sering kali bertentangan dengan kepentingan komunitas lokal. Proyek-proyek ini membutuhkan lahan luas yang sering kali diperoleh melalui pengalihan fungsi lahan secara paksa. Komunitas yang sebelumnya hidup bergantung pada sumber daya alam kini terpinggirkan, sementara keuntungan ekonomi mengalir ke perusahaan besar.
Dalam sektor pariwisata, proyek super prioritas seperti di Labuan Bajo menampilkan wajah lain dari perampasan. Pendekatan yang berpusat pada investor besar dan pemerintah menciptakan privatisasi ruang publik. Tanah yang sebelumnya menjadi sumber penghidupan bagi masyarakat lokal diubah menjadi destinasi wisata eksklusif. Sebagai hasilnya, masyarakat lokal kehilangan akses ke sumber daya yang vital untuk keberlangsungan hidup mereka.
Siti Maimunah (2021) menegaskan bahwa kebijakan pembangunan yang memutus keterikatan masyarakat terhadap tanah mereka menjadi instrumen dominasi negara dan korporasi. Dalam konteks ini, pembangunan tidak hanya memperparah ketimpangan sosial, tetapi juga menciptakan apa yang disebut oleh Fuentes dkk. (2021) sebagai “zona pengorbanan,” yakni wilayah yang dikorbankan demi kepentingan segelintir pihak atas nama pertumbuhan ekonomi.
Menggeser Paradigma: Pembangunan Berbasis Hak
Melihat dampak yang ditimbulkan, pendekatan baru yang lebih inklusif dan adil sangat diperlukan. Pembangunan Berbasis Hak (Rights-based Development) menawarkan perspektif yang menempatkan hak-hak masyarakat, terutama hak atas tanah, lingkungan sehat, dan partisipasi dalam pengambilan keputusan, sebagai inti dari setiap kebijakan pembangunan.
Pendekatan ini bukan sekadar idealisme, tetapi menawarkan langkah-langkah konkret. Dalam proyek food estate, misalnya, pemerintah perlu memastikan bahwa masyarakat lokal tidak kehilangan akses terhadap tanah tanpa kompensasi yang adil. Partisipasi masyarakat dalam perencanaan dan pelaksanaan proyek harus menjadi prioritas untuk mengurangi konflik dan memastikan hasil yang lebih berkeadilan.
Pada sektor energi terbarukan, hak masyarakat atas lingkungan sehat harus menjadi pertimbangan utama. Proyek-proyek energi panas bumi misalnya, dapat dirancang untuk melibatkan masyarakat lokal dalam pengelolaan sumber daya energi. Model pembangkit energi lokal berbasis komunitas dapat menjadi solusi untuk menciptakan keberlanjutan yang sejati.
Dalam sektor pariwisata, pendekatan berbasis hak dapat mengurangi privatisasi ruang dan ketimpangan yang diakibatkannya. Konsep pariwisata regeneratif, yang menekankan pelestarian ekosistem dan warisan budaya, menjadi alternatif yang lebih inklusif. Masyarakat lokal harus diberi hak penuh atas pengelolaan destinasi wisata, sehingga mereka dapat menikmati manfaat ekonomi secara langsung tanpa kehilangan kendali atas tanah dan budaya mereka.
Memberdayakan, Bukan Merampas
Kunci dari pembangunan yang berkeadilan adalah pemberdayaan masyarakat lokal. Bellato et al. (2022) menekankan pentingnya pemberian hak kepemilikan atas sumber daya kepada masyarakat sebagai langkah untuk mencegah marginalisasi. Proyek pembangunan harus dirancang untuk memperkuat kapasitas masyarakat, bukan melemahkannya.
Sebagai contoh, penguatan koperasi lokal untuk mengelola sektor pariwisata atau energi dapat menjadi cara efektif untuk memastikan manfaat ekonomi tidak hanya dirasakan oleh investor besar. Selain itu, transparansi dalam proses perencanaan dan pelaksanaan proyek sangat penting untuk membangun kepercayaan masyarakat dan mencegah konflik.
Baca juga:
- Realitas Konflik Agraria dari Proyek Strategis Nasional
- Menanti Pengesahan RUU Perlindungan Masyarakat Adat
Indonesia memiliki peluang besar untuk menjadikan pembangunan sebagai alat pemberdayaan, bukan perampasan. Dengan mengadopsi pendekatan Pembangunan Berbasis Hak, proyek-proyek besar dapat dirancang untuk memberikan manfaat yang adil bagi semua pihak, terutama mereka yang rentan.
Pembangunan tidak boleh dilihat semata-mata sebagai upaya akumulasi kekayaan atau modernisasi. Sebaliknya, pembangunan harus menjadi proses yang memperjuangkan keadilan sosial, pelestarian lingkungan, dan penghormatan terhadap hak-hak dasar manusia. Dengan cara ini, Indonesia dapat bergerak menuju masa depan yang lebih inklusif dan berkelanjutan, di mana tidak ada satu pun kelompok masyarakat yang dikorbankan demi kepentingan segelintir pihak. (*)
Editor: Kukuh Basuki