Sawit, Deforestasi, dan Agenda Tersembunyi

Beni Bayu Sanjaya

2 min read

Presiden terpilih, Prabowo Subianto, baru-baru ini mengatakan bahwa Indonesia perlu menambah penanaman sawit dan kita dimintanya untuk tidak perlu khawatir akan dampak bahaya hingga menyebabkan deforestasi. Lalu apakah kita sebagai masyarakat menerima begitu saja atau sangsi terhadap pernyataan yang keluar dari seorang kepala negara yang baru mulai menjabat akhir Oktober 2024 itu ?

Sebelumnya kita uraikan singkat apa itu deforestasi. Menurut Forest Watch Indonesia (FWI), deforestasi secara harfiah dapat diartikan sebagai kehilangan hutan. Secara international, deforestasi dimaknai sebagai kehilangan Kawasan hutan yang berubah menjadi kawasan non hutan. Sedangkan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mendefinisikan deforestasi sebagai perubahan secara permanen dari areal berhutan menjadi tidak berhutan.

Dalam hal ini, arti hutan yang sesungguhnya adalah suatu lahan berisi aneka ragam tumbuhan yang menjadi habitat dan sumber penghidupan bagi segala macam jenis mahkluk hidup, tidak terkecuali manusia. Hal itu kontras dengan kebun sawit yang hanya satu jenis tanaman yakni sawit semata serta hanya akan memberi keuntungan bagi segelintir orang saja. Walaupun memang benar sawit selayaknya pohon pada umumnya yang dapat menyerap emisi karbon penyebab gas rumah kaca, kualitasnya tak sebaik ekosistem alamiah hutan yang perlahan menghilang akibat perkebunan sawit.

Baca juga:

Perkebunan sawit juga jika dilihat dari dekat tidak hanya sebatas kumpulan pohon besar yang memiliki buah saja, lebih dari itu. Bahkan diuraikan secara mendalam berdasar hasil riset dalam buku ‘Hidup Bersama Raksasa’ dari Tania Murray Li dan Pujo Semedi bahwa perkebunan sawit seperti halnya raksasa. Kehadirannya merusak kehidupan mulai dari merusak lingkungan dengan hanya ada satu jenis tanaman saja hingga turut merusak kehidupan masyarakat di sekitarnya. Sebab, masyarakat yang sebelumnya mengandalkan hutan untuk kebutuhan ekonomi, sosial, dan budaya harus tersingkir akibat hadirnya “raksasa”. Bahkan tidak jarang juga menyebabkan hilangnya kebudayaan, pranata sosial, hingga terjadinya konflik horizontal dan vertikal.

Kehadiran perkebunan sawit dengan mendeforestasi hutan alam tidak sebanding antara manfaat dan resiko. Jika masih beranggapan tidak ada bedanya, perlu dicurigai maksud tersembunyi di balik anggapan setara antara hutan dan kebun sawit tersebut. Kiranya juga tidak dapat dibendung apabila kita beranggapan maksud tersebut didorong dengan maksud adanya keinginan untuk perburuan rente bagi elite pemerintahan.

Penulis sendiri memilih posisi menyangsikan atau meragukan terhadap pernyataan dari Sang Presiden. Terlebih rekam jejak kebijakan serupa yakni Food Estate yang telah berjalan pada periode pemerintahan sebelumnya dengan melakukan penebangan hutan secara besar-besaran mengalami kegagalan. Bahkan citra Food Estate menjadi bahan olokan beberapa waktu yang lalu dengan narasi “nanam singkong tumbuh jagung”. Salah satu dalang di balik kegagalan itu adalah Prabowo Subianto yang pada saat itu menjabat sebagai Menteri Pertahanan dan ditunjuk Presiden Joko Widodo untuk memimpin proyek Food Estate.

Baca Juga:

Selain itu berdirinya IKN yang telah resmi menjadi Ibu Kota baru menggantikan Jakarta juga tidak lepas dari dosa deforestasi besar-besaran yang dilakukan terhadap hutan perawan di pulau Kalimantan tersebut. Namun nasibnya kini naas dan mengalami ketidakjelasan. Sebab sang presiden terpilih memutuskan enggan untuk pindah kantor kepresidenan baru ke IKN. Peluang mangkrak dan menjadi “candi” dikemudian hari pun semakin besar.

Apa yang ingin saya sampaikan adalah sudah seharusnya negara dibawa ke arah pelestarian sumber daya alam, bukan justru malah merusaknya demi kepentingan jangka pendek segelintir orang saja. Kebijakan yang mengatasnamakan demi kesejahteraan masyarakat dengan mengorbankan alam, pada akhirnya hanya menguntungkan kalangan oligarki dan para elit. Masyarakatnya, terutama masyarakat sekitar, justru yang harus menanggung dampak eksternalitas yang dialami akibat deforestasi hingga penambangan sumber daya alam yang juga marak terjadi.

Menyambung dengan topik utama, sehingga dalam hal ini, suatu kedunguan jika menganggap kehadiran perkebunan sawit memiliki nilai yang setara dan tak ada bedanya dengan hutan alam hanya karena sama-sama berbentuk pohon dan memiliki daun. Apalagi pernyataan tersebut datang dari sang kepala negara yang sudah seharusnya memiliki wawasan dan etika lingkungan yang lebih tinggi dibandingkan warga negara. Oleh karena itu juga kan kita memilih pemimpin untuk dapat menjadi panutan dalam kehidupan bernegara. Akan menjadi suatu pertanyaan besar, jika ternyata pemimpin yang dipilih malah jauh dari standar sebagai seorang pemimpin hingga perlu diajari hal-hal dasar dalam etika lingkungan. Semoga pemimpin kita, Presiden Prabowo Subianto, bukan pemimpin seperti yang kita takutkan tersebut. (*)

 

Editor: Kukuh Basuki

 

Sumber

Li, T. M., & Semedi, P. (2022). Hidup bersama raksasa: manusia dan pendudukan perkebunan sawit. Marjin Kiri.

https://fwi.or.id/persoalan-deforestasi-di-indonesia-sebuah-polemik/

Beni Bayu Sanjaya

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email