IG: @mhrkmnv

Hilangnya Filosofi Minangkabau

Muhammad Harkim Novridho

2 min read

Bendera hitam simbol dukacita sepertinya sudah harus dikibarkan di tanah Minang yang dulunya sangat menjunjung erat filosofi hidup “adat basandi syarak, syarak basandikan kitabullah” (adat bersandingkan syari’at, syari’at bersandingkan kitab Allah (Al-Qur’an)).

Dulu tanah Minangkabau dikenal sebagai pencetak orang-orang hebat yang memberikan kontribusi besar bagi negeri ini. Mereka hanya terkenal di nusantara, tetapi juga diakui di dunia. Contohnya Ahmad Khatib Al-Minangkabawi, ulama besar Minangkabau yang pernah menjadi imam Masjidil Haram. Banyak pemimpin reformis Islam Indonesia yang kemudian belajar dengannya, misalnya dua pendiri ormas Islam terbesar tanah air, yakni Ahmad Dahlan pendiri Muhammadiyah dan Hasyim Asyari pendiri Nahdlatul Ulama.

Lalu ada Buya Hamka yang merupakan kemenakan dari Ahmad Khatib. Namanya masyhur sebagai ulama yang berkontribusi besar bagi dunia keislaman. Oleh karena itu, dia dianugerahi gelar kehormatan Doktor Honaris Causa dari Universitas Al-Azhar. Ia berhasil di dunia tafsir dengan menyelesaikan tafsir Al-Azharnya. Selain sebagai ulama, ia juga terkenal sebagai penulis buku dan novel. Salah satu novelnya berjudul Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck.

Baca juga:

Selain ulama, suku Minangkabau juga banyak melahirkan pemikir yang kemudian menjadi pendiri bangsa ini. Sebut saja Muhammad Hatta, Wakil Presiden pertama Indonesia. Lalu ada Sutan Sjahrir yang merupakan salah satu pejuang kemerdekaan dan menjadi perdana menteri Indonesia. Lalu ada Tan Malaka yang sangat mendorong semangat revolusi saat itu. Dan masih banyak tokoh lainnya, seperti Muhammad Yamin, Muhammad Natsir, HR Rasuna Said, dll.

Ke Mana Hilangnya Filosofi Minangkabau?

Kembali ke pemantik di awal, kenapa saya mengatakan saat ini masyarakat Minang mulai berkabung? karena filosofi hidup luar biasa yang dulu dipegang teguh sekarang ini seakan-akan dilupakan oleh beberapa oknum, bahkan di antara mereka merupakan kaum yang berpendidikan.

Belakangan ini, ada banyak kasus kekerasan seksual di Sumatera Barat yang dilakukan oleh orang-orang berpendidikan. Seperti kasus pelecehan seksual yang dilakukan seorang dosen Fakultas Ilmu budaya di salah satu kampus di Sumatera Barat pada Desember tahun lalu. Kemudian terjadi lagi hal yang sama, 12 mahasiswa kedokteran menjadi korban pelecehan seksual. Selain itu juga ada kasus guru olahraga yang mencabuli siswa SD dan membekaskan trauma. Tentu masih ada banyak kasus lain yang terungkap atau bahkan belum terungkap hingga saat ini.

Melihat peristiwa tersebut, tentu kita merasa miris sekaligus bertanya-tanya, ke mana perginya filosofi yang dijunjung tinggi oleh masyarakat Minangkabau? ke mana perginya adat yang bersandingkan syariat? Apa alasan terjadinya kasus yang justru dilakukan oleh orang-orang berpendidikan itu?

Hal tersebut tidak bisa terjadi, berdasarkan filosofi masyarakat Minangkabau, tentu adat harus bersanding dengan syariat, harus berlandaskan ayat-ayat Al-Qur’an dan tidak bisa bertentangan. Dengan kata lain, sumber utama masyarakat Minangkabau dalam menentukan etika atau nilai kehidupan haruslah berpijak pada kitab Allah.

Mengingat gaungan filosofi “adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah” ini, jika kita melihat realitas saat ini, generasi intelektual Minangkabau justru telah jauh menyimpang dari norma-norma ajaran Islam. Mereka seolah-olah melepas filosofi hidup yang dipegang teguh oleh masyarakat Minangkabau sejak lama. Mereka lebih memilih ditundukkan oleh nafsu bringas mereka sendiri.

Mungkin pandangan saya ini terkesan kurang objektif, seolah saya menggenalisasi generasi intelektual Minangkabau. Sejatinya pandangan ini saya ditujukan kepada mereka yang telah terjerumus. Ini menjadi bahan renungan bagi kita semua agar tetap memegang teguh filosofi yang menjadi pegangan hidup orang Minangkabau.

Baca juga:

Lalu pertanyaan selanjutnya adalah, siapa yang bertanggung jawab mengembalikan filosofi hidup yang saat ini hilang dari karakter generasi intelektual Minangkabau? Jawabannya adalah “tigo tungku sajarangan”, yang mana “tigo” artinya tiga, “tungku” artinya perapian, dan “sajarangan” artinya diatur baik. Tungku ini merujuk pada pusat kehidupan sosial dan budaya masyarakat Minangkabau, yaitu keluarga sebagai tempat utama pembentukan karakter serta moralitas. Sajarangan merujuk pada prinsip mengajarkan pentingnya keseimbangan dan harmoni dalam kehidupan sosial.

Ada pun tiga unsur tersebut adalah institusi sosial utama masyarakat Minangkabau, yakni adat, agama, serta negara. Ketiga institusi ini harus saling berkaitan dan berpegangan tangan dalam membangun keharmonisan dan keseimbangan masyarakat. Ketiga institusi ini bertanggung jawab untuk membentuk ulang konsep-konsep filosofi yang selama ini dipegang erat tersebut.

Melihat situasi ini, sudah seharusnya tigo tungku sajarangan mulai duduk bersama sambil menikmati teh talua untuk berbincang dan memikirkan mau dibawa ke mana generasi intelektual yang seharusnya disiapkan sebagai pewaris nenek moyang hebat mereka. Mereka juga perlu menyusun strategi untuk menanamkan kembali semangat filosofi hidup adat yang besanding dengan syariat Islam.

Sudah saatnya masyarakat Minangkabau kembali bangkit dan tidak terjebak oleh romansa masa lalu, mengembalikan kejayaan-kejayaan yang telah dibangun para pendahulu mereka, dan tentunya mengembalikan semangat intelektual berlandaskan filosofi hidup masyarakat Minangkabau sendiri.

 

Editor: Prihandini N

Muhammad Harkim Novridho

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email