Hasil lukisan Sultan Ternate yang ke-7, Sultan Baabullah Datu Sjah, yang tergantung di Kedaton Kesultanan Ternate tidak berdasarkan fakta sehingga menjadi lukisan tokoh fiktif.
Menggambar tokoh fiktif dan tokoh sejarah adalah dua hal yang berbeda. Pandangan masyarakat awam, semua seniman lukis dapat melukis apa saja, termasuk tokoh sejarah. Namun, hal itu salah. Menggambar tokoh fiktif lahir dari olah imajinasi dengan pendekatan karakter yang kuat. Sementara itu, menggambar tokoh sejarah perlu merujuk referensi yang faktual. Meskipun begitu, keduanya mempunyai standar teknis yang sama, yaitu harus memperkenalkan figur, memahami anatomi wajah dan tubuh, serta memahami komposisi bentuk tokoh yang jelas.
Baca juga:
Sebagai seorang seniman, kebetulan saya pernah diajak terlibat dalam tim riset mengenai pahlawan nasional Sultan Baabullah. Saya dipercaya untuk menggambar beliau. Tentu saja, saya perlu data untuk memperkuat argumen visual saya. Namun, beberapa kali saya meminta data atau arsip pendukungnya, tidak pernah diberi. Data dan arsip itu tidak dapat ditemukan. Akhirnya, saya menolak untuk melanjutkan kerja tersebut.
Sultan Baabullah adalah Sultan Ternate Ke-7 yang berkuasa di abad 16 (1570-1583). Dari tahun ke tahun, usulan pengangkatannya sebagai pahlawan nasional kerap dibahas. Berkas administratif untuk menggolkan usulan tersebut pernah diterima oleh Kementerian Pendidikan Nasional pada 2006, tapi tidak ada kelanjutannya hingga 2015.
Sultan Mudaffar Sjah (Sultan Ternate Ke-47) pernah menyarankan agar tidak perlu ada lanjutan. Sebab, menurut dia, Sultan Baabullah tidak memiliki dokumentasi foto atau gambar yang menjadi syarat penting atas gelar pahlawan nasional. Baru pada 2019, setelah 4 tahun wafatnya Sultan Mudaffar Sjah, Pemerintah Provinsi Maluku Utara bersama pihak kesultanan dan tim yang terdiri dari sejarawan, peneliti, dan akademisi kembali mengusulkannya.
Pertengahan 2019, syarat usulan gelar kepahlawanan diproses. Kementerian Sosial Republik Indonesia merealisasikan Sultan Baabullah sebagai pahlawan nasional berdasarkan Surat Keputusan 117/TK/2020 bertanggal 6 November 2020 di Jakarta. Setelah penandatangan surat tersebut, Pemerintah Daerah Maluku Utara menunjukkan hasil keputusan beserta gambar penerawangan potret Sultan Baabullah yang entah darimana sumbernya. Penerawangan gambar potret Sultan Baabullah dianggap tidak memiliki kekuatan data yang valid sehingga perlu dikaji kembali sesuai dengan fakta-fakta sejarah.
Menurut catatan perjalanan Francis Drake, penjelajah Inggris yang datang ke Ternate pada 1579, Sultan Baabullah berperawakan tinggi dan gemuk. Sementara itu, gambar Sultan Baabullah yang beredar sekarang belum bisa dijadikan sebagai bukti bahwa Sultan Baabullah memiliki perawakan kurus dan tinggi. Pertanyaannya, dari mana referensi gambar potret Sultan Baabullah tadi didapatkan?
Selain itu, tak ada identitas pembuat gambar potret Sultan Baabullah. Artinya, gambar ini secara intelektual penciptaan tidak jelas dan tanpa sumber sejarah yang kuat. Lantas, bagaimana kita dapat menerimanya jika secara visual dan fakta sejarah saja belum bisa diverifikasi kebenarannya?
Fakta sejarah adalah data yang penting untuk mengungkap seperti apa rupa figur sejarah. Sebagian besar data sejarah yang didapat hanya berupa skrip atau deskripsi kasar dari beragam sumber dan masih perlu diolah lagi untuk memastikan kebenarannya. Catatan Francis Drake tadi pernah dialihwahanakan ke bentuk ilustrasi dan dimuat di majalah Boy’s Own Annual tahun 1909-1910. Dalam majalah itu disebutkan bahwa Francis Drake bertemu dengan salah satu Sultan Ternate—tidak dijelaskan sultan yang mana—di atas kapal.
Saya percaya catatan tersebut benar. Namun, esensinya hanya mengulas catatan perjalanan seorang Francis Drake tentang pertemuan itu. Ini bukan berarti saya meyakini bahwa objek dalam visual tersebut adalah figur asli sehingga dapat membenarkannya.
Gambar ilustrasi termasuk karya seni rupa dua dimensi yang lebih mengutamakan fungsi gambar itu sendiri sebagai bahasa untuk menjelaskan suatu hal atau keadaan tertentu. Peranan seorang ilustrator atau pembuat ilustrasi sama pentingnya dengan arsip atau dokumentasi. Oleh karena itu, gambar di atas belum dapat dibenarkan secara mutlak sebagai visual figur seorang Francis Drake dan Sultan Baabullah karena bersifat imajiner secara visual, tetapi bukan pada referensinya.
Lalu, bagaimana dengan ilustrasi di atas? Gambar ini saya kutip dari unggahan blog milik Muhammad Ahmadullah, diplomat India yang sempat berkunjung ke Ternate pada 2018, yang berjudul Francis Drake (1579) and Henry Middleton (1605): Two Englishmen in Ternate. Ilustrasi tersebut beredar di beberapa museum di Eropa, tetapi tidak jelas siapa pembuatnya. Menurut sumber lain yang pernah saya temukan dari hasil penelusuran digital, sejumlah ilustrasi terkait Sultan Ternate kebanyakan bersumber dari majalah ilustrasi Boy’s Own Annual. Karya-karya ilustrasi diterbitkan secara kolektif atas nama majalah tersebut sehingga nama para ilustrator tidak diketahui.
Lalu, ada kaitan apa dengan ilustrasi di atas? Ternyata, kalau diperhatikan, ada kesamaan pada objek sultan. Ilustrasi sketsa Sultan Baabullah merujuk gambar di atas. Hasil pengamatan personal yang memahami hasil ilustrasi adalah hasil valid yang tidak perlu diubah lagi.
Baca juga:
Agaknya, tim kerja visualisasi Sultan Baabullah belum memahami pentingnya mengolah data visual menjadi karya visual. Harusnya, ada nilai etik yang diukur untuk mengimbangi nilai-nilai lain, salah satunya nilai estetik. Tujuannya agar hasilnya nanti bukan berupa plagiasi tanpa mengkredit asal-usul data yang lebih akurat.
Peran data dalam sebuah penelitian sama pentingnya dengan yang mengolah penelitian tersebut. Anatomi, proporsi, komposisi, dan sudut pandang dalam mengolah objek hanya dikuasai oleh seniman gambar yang benar-benar cakap. Hanya seniman yang cakap yang mampu mengolah data visual dengan porsi yang seimbang antara visual dan validitas sejarah.
Saya harap, ini bukan riset akhir untuk menentukan visual seorang Sultan Baabullah Datu Sjah, penguasa 73 negeri yang pernah memimpin kerajaan Ternate pada masa kejayaannya. Masih ada kesempatan lagi untuk menggali data penting agar rekonstruksi visual Sultan Baabullah bisa lebih tepat.
Editor: Emma Amelia