Keluhan Benny Agung atas insignifikannya gerakan dalam tulisan Pemilu dan Keluhan Gerakan yang Insignifikan, agaknya perlu dijadikan bahan refleksi bagi gerakan progresif di Indonesia. Hal ini sebagai batu uji sejauh mana gerakan progresif berani mengintrospeksi diri di hadapan situasi sosial politik nasional dengan kritis dan jujur. Refleksi ini penting untuk meninjau kembali dan memahami bagaimana gerakan ini dipersepsikan oleh masyarakat luas.
Situasi sosial politik saat ini, khususnya selepas perhelatan Pemilu 2024 harus menjadi bahan pertimbangan dan basis utama dalam melakukan pendekatan. Hal ini sekaligus menguji relevansi strategi masa lalu yang barangkali ‘dulu’ dianggap efektif. Model pendekatan baru ini harus memasukkan perspektif yang lebih inklusif dan beragam, dan yang tak kalah penting adalah mengadopsi isu-isu yang relevan di masyarakat.
Kelompok gerakan progresif, yang umumnya diisi kelas menengah terdidik atau mereka yang memiliki keleluasaan akses terhadap informasi dan pengetahuan, kerap kali hanya concern terhadap isu-isu populer modern, seperti hukum, HAM, demokrasi, dan sebagainya yang mungkin justru jauh dari isu yang menjadi masalah harian masyarakat banyak.
Baca juga:
Kita tahu bahwa kelas menengah memiliki kecenderungan atau memusatkan perhatiannya pada isu-isu yang bersifat struktural, seperti hukum, HAM, dan demokrasi. Isu-isu tersebut dianggap memengaruhi kerangka kerja masyarakat secara keseluruhan dan memperjuangkan perubahan secara sistemik.
Sementara di sisi lain, kelas bawah atau masyarakat kebanyakan menghadapi tantangan yang lebih mendesak dan konkret dalam kehidupan sehari-hari. Mereka lebih fokus pada isu-isu yang berdampak langsung pada kelangsungan hidup mereka, seperti sulitnya akses terhadap lapangan pekerjaan, harga kebutuhan pokok, dan akses terbatas terhadap layanan kesehatan.
Tentu hal ini bukanlah sesuatu yang salah atau perlu dipertentangkan. Hanya saja perbedaan prioritas ini kemudian melahirkan ketimpangan isu yang justru menjadi penghambat gerakan progresif untuk menarik dukungan dari berbagai lapisan masyarakat.
Sejatinya ini adalah pekerjaan rumah gerakan yang kerap dikeluhkan dan menjadi kritik banyak orang sejak lama. Kalau saja pekerjaan rumah itu mau diseriusi dan diselesaikan meski dengan mencicil, barangkali kita tidak akan sebuntu dan segagap ini dalam menghadapi situasi sosial politik nasional baik sebelum maupun setelah Pemilu 2024.
Terjebak dalam Gelembung Sendiri
Valid jika ada anggapan bahwa gerakan progresif sering kali terjebak dalam bubble (gelembung) sendiri atau echo chamber (ruang gema) yang menyebabkan agendanya mengalami stagnansi dan kebuntuan. Ego ideologis dengan menjaga jarak dengan kelompok konservatif nyatanya semakin memperdalam jurang jarak dengan masyarakat kebanyakan.
Mengapa demikian? Nampaknya kita memang mesti jujur terhadap situasi ini. Jika dibuat sebuah kuadran, kita akan melihat sebuah gambaran nyata yang menunjukkan bahwa masyarakat pada umumnya menempati pos di mana mereka adalah bagian dari kelompok konservatif. Hal yang musykil untuk dimungkiri.
Baca juga:
Aspek krusial ini merupakan tantangan sekaligus peluang bagi gerakan untuk menarik dukungan yang lebih luas. Tanpa upaya mengagitasi kelompok konservatif karena kadung dianggap ‘berbeda jalan’, rasanya sulit membayangkan untuk dapat keluar dalam gelembung yang kita ciptakan sendiri. Apalagi membayangkan perubahan sosial total lewat revolusi yang tiap waktu di-fafifu-kan dalam banyak diskusi.
Apakah ini sebuah bentuk kompromis? Mungkin, iya. Tapi memangnya kenapa? Di hadapan kuasa yang powerful dan represif, kita punya peluang terasing, tergusur, terbuang. dan hilang yang sama besar. Maka, berhimpun dan bersolidaritas menjadi kebutuhan yang mendesak untuk dilakukan.
Privilese dan Bias Kelas
Anthony Giddens, dalam teori strukturasi misalnya, mengatakan bahwa struktur sosial dan individu atau kelompok saling memengaruhi dalam suatu hubungan dualitas. Struktur sosial membentuk tindakan individu atau kelompok, tetapi pada saat yang sama, tindakan individu atau kelompok juga dapat menghasilkan, mereproduksi, atau mengubah struktur sosial.
Dalam konteks ini, kelas menengah memiliki akses yang lebih besar terhadap sumber daya dan modal (seperti pendidikan, kekayaan, dan jaringan sosial) dibandingkan kelas bawah. Dengan sumber daya dan modal tersebut mestinya memberikan kelas menengah kemampuan yang lebih besar untuk memengaruhi struktur sosial.
Berdasarkan teori strukturasi Giddens tersebut, sebagai kelas yang memiliki sumber daya dan modal serta kemampuan yang lebih besar untuk memengaruhi struktur sosial, setidaknya kelas menengah dapat melakukan beberapa hal untuk menarik dukungan masyarakat banyak (kelas bawah) dan meminimalisasi ketimpangan isu, sehingga memiliki isu besar bersama untuk dibawa sebagai agenda perubahan sosial.
Misalnya, kelas menengah perlu kembali merefleksikan diri untuk membangun empati dan pemahaman yang lebih dalam terhadap realitas dan tantangan yang dihadapi oleh masyarakat kebanyakan. Mereka perlu mengevaluasi privilese dan bias kelas yang kerap menyebabkan perbedaan perspektif dan prioritas. Kemudian barulah lakukan pendekatan secara bottom-up sebagai upaya menciptakan ruang bagi partisipasi, kepemimpinan, dan pemberdayaan kelas.
Selanjutnya, gerakan progresif dapat mengintegrasikan isu-isu struktural dengan isu-isu yang memengaruhi kehidupan sehari-hari masyarakat banyak, sehingga dapat menghimpun agenda perubahan yang holistik dan komprehensif. Misalnya, memperjuangkan perbaikan sistem hukum dan demokrasi sambil mendorong kebijakan yang meningkatkan akses terhadap lapangan kerja, layanan kesehatan, dan kebutuhan dasar lainnya.
Dan yang terakhir dan agaknya menjadi penting adalah membangun aliansi lintas kelas. Membangun aliansi lintas kelas artinya membuka ruang untuk melakukan pendekatan terhadap banyak kelompok termasuk kelompok konservatif tempat masyarakat kebanyakan menghimpun diri.
Hal-hal di atas, di luar hal-hal normatif seperti pendampingan, pengadvokasian, dan lain sebagainya, sekali lagi, adalah sebentuk upaya refleksi atas kebuntuan dan kegagapan yang selama ini menghantui gerakan. Barangkali dengan begitu gerakan progresif dapat menarik lebih banyak dukungan, suara, dan pengalaman dari berbagai lapisan masyarakat, menghimpun energi kolektif untuk menciptakan perubahan sosial yang lebih substansial.
Editor: Prihandini N