Perampasan ruang hidup di Indonesia menjadi kasus yang sering terjadi sepanjang tahun 2022- 2024 dengan dalih pembangunan nasional yang sering disebut sebagai hilirisasi sebagai sektor unggulan pemerintah pusat saat ini. Seiring berjalannya proses hilirisasi, eskalasi pelanggaran hak asasi manusia juga semakin menjadi-jadi. Penggusuran warga jadi pilihan pasti. Penangkapan dan pemenjaran sipil di balik jeruji besi sudah biasa terjadi. Apa lagi, peraturan presiden No 109 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Presiden Nomor 3 Tahun 2016 Tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional (PSN) melegitimasi kondisi tersebut.
Salah satu PSN yang baru disahkan oleh Presiden ialah Rempang Eco City, Batam, Kepulauan Riau. Proyek Rempang Eco City, rencananya akan dibangun berbagai sektor industri, jasa dan pariwisata. Proyek tersebut ditargetkan akan mencapai nilai investasi sebesar 381 triliun. Proyek ini dieksekusi oleh negara melalui BP Batam bersama PT. Makmur Elok Graha (MEG). Warga pulau Rempang Galang, yang tersebar di 16 kampung tua dan pemukiman lainnya terancam digusur. Padahal kampung tersebut telah menjadi ruang hidup masyarakat sekitar secara turun-temurun mulai 1834.
Rangkaian Konflik
Pada 07 September 2023 pihak BP Batam bersama dengan aparat gabungan yang terdiri dari, polisi, Tentara, Satpol PP dan Ditpam hendak melakukan pengukuran tanah warga yang rencananya akan digunakan sebagai tempat pembangunan Proyek Rempang Eco City. Tragedi ricuh pun tak terelakkan. Ribuan warga melakukan penahanan pasukan di jembatan 4 Barelang. Mereka menghadang dengan tangan kosong, sementara pasukan gabungan beralatan lengkap. Beberapa dari mereka membawa senjata laras panjang, water canon, gas air mata, tameng dan lainnya. Letusan konflik ini semakin memanas ketika gas air mata ditembakkan ke arah sekolah. Gas itu mengenai para siswa yang sedang belajar. Anak-anak menangis. Ibu-ibu lari ketakutan.
Gas air mata yang baru pertama kali dirasakan warga menyebabkan trauma yang mendalam. Suasana mencekam menyelimuti Rempang hampir seharian penuh. Di sore hari warga perlahan mundur ke arah kampung. Namun mereka tetap berusaha menghalau aparat agar tidak masuk kampung. Mereka memblokade jalan dengan cara menebang pohon dan meletakkannya di tengah jalan bersama rongsokan truk container ke tengah jalan. Mereka berharap pasukan gabungan tidak semakin masuk ke dalam kampung. Di malam harinya mereka berjaga dan tidur di tengah jalan beraspal. Akibat bentrokan tersebut 8 orang ditangkap oleh pasukan gabungan karena dituduh melawan aparat keamanan.
Letusan konflik kedua kembali terjadi pada tanggal 11 September 2023. Ribuan massa melakukan aksi di depan kantor BP Batam. Mereka datang dari berbagai tempat. Mereka bahu membahu menyuarakan tuntutan mereka untuk membebaskan warga ditangkap. Namun kondisi ricuh kembali tidak terelakkan. Akibatnya, 35 orang ditangkap dan dituntut dengan pasal-pasal berbeda.
Pembangunan Rempang Eco City masih terus dipaksa meskipun melakukan Penggusuran warga rempang. Berbagai tindakan represif dan pelanggaran HAM seakan didukung penuh oleh pemerintah. BP Batam bahkan tidak mengindahkan temuan dari Ombudsman dan Komnas HAM tentang maladministrasi dan pelanggaran HAM. Pasca kericuhan tanggal 7 dan 11 September 2024, pemerintah tetap menggunakan polisi dan ditpam untuk menakut-nakuti dan mengintimidasi warga rempang. Mereka datang ke rumah-rumah warga dan meminta penyerahan lahan milik warga. Berbagai cara penolakan telah dilakukan oleh masyarakat Rempang. Namun BP Batam seolah tidak peduli dan tetap melanjutkan proyek. BP Batam membangun Rumah contoh relokasi di Tanjung Banon di salah satu kampung tua di Rempang.
Penolakan Warga
Proyek Strategis Rempang Eco City sepenuhnya ditolak oleh warga Rempang yang tersebar di beberapa kampung yang saya dampingi : Sembulang Hulu, Pasir Merah, Camping, sembulang Tanjung, Pasir Panjang, Blongkeng, Tanjung Banon, dan Sei Buluh. Mayoritas menolak pembangunan tersebut dengan beberapa alasan sebagai berikut:
- Khawatir akan memulai semua dari awal dan tidak melihat masa depan yang lebih baik. Pulau rempang sejatinya telah menyediakan dan mampu memberikan kecukupan bagi masyarakat yang tinggal didalamnya. Mereka merasa bahwa apa yang mereka miliki sekarang sudah lebih dari cukup.
- Warga Rempang awalnya tidak menolak pembangunan dan investasi. Mereka hanya menolak investasi yang merusak alam lingkungan baik dari darat, laut, bahkan udara. Sebagaimana yang telah mereka dapatkan dari nenek moyangnya, mereka berharap dapat meneruskannya ke anak cucu nya nanti. Sebab salah satu fokus pembangunan Rempang Eco City ialah sektor industri.
- Rempang sudah menjadi surga kecil bagi masyarakatnya. Warga hidup berdampingan, saling membantu, ikatan kekeluargaannya sangat kuat dan hubungan batin dengan laut sangat dijaga.
Paska kericuhan ditanggal 07 dan 11 September, penundukan keramat, penggunaan aparat setempat, pemanfaatan momentum politik, pendaftaran relokasi yang diimingi lahan dan rumah, pendataan dan pemetaan lahan, percikan perpecahan warga seakan mulai terlihat. Hal Ini memastikan bahwa, pembangunan Rempang Eco City justru merampas sendi kemanusiaan. Masyarakat yang dulunya bersatu kini mulai terbelah. Konflik sosial melawan pemerintah (vertikal), lambat laun bergeser ke permusuhan dengan tetangganya sendiri (horizontal).
Baca Juga:
- Mempertanyakan Negara dan Bangsa di Rempang
- Realitas Konflik Agraria dari Proyek Strategis Nasional
- Dari Eksil Sampai Rakyat Kampung Bayam, Negara Terus Merenggut Rumah Rakyat
Di beberapa kampung terjadi polarisasi atau perbedaan kubu yang mengakibatkan kesenjangan sosial. Masyarakat mulai tidak bertegur sapa ataupun saling membantu. Gotong royong kampung semakin menghilang, tidak seperti sebelum konflik berkecamuk. Di sisi lain, warga yang menerima relokasi pada dasarnya menyesal mendaftarkan diri. Dari beberapa pengakuan warga, mereka yang di relokasi tidak bisa memenuhi kebutuhan hidupnya dengan cukup. Mereka tidak bisa bertahan di kondisi sosial perkotaan. Bahkan beberapa orang harus pulang kembali ke kampungnya untuk bisa mencari nafkah seperti sedia kala.
Konsistensi Perjuangan
Ada dua fakta terkait penggunaan aparat negara yang tidak semestinya (Abuse of power) dalam melangsungkan PSN Rempang Eco City yang menghasilkan konflik sosio-agraria di Rempang. Pertama, Pembangunan yang digadang pemerintah akan mensejahterakan rakyat justru menggerus sendi dasar kemanusiaan itu sendiri. Proses pembangunan itu megakibatkan konflik vertikal dan horizontal. Kedua, masyarakat rempang harus berdaya untuk dapat bergerak sendiri dalam memperjuangkan haknya. Mereka harus menjaga konsistensi dalam penolakan PSN karena memang merusak alam lingkungannya.
Konflik vertikal sudah pasti subjeknya pemerintah. Situasi saat ini mayoritas masyarakat rempang tidak percaya dengan setiap kalimat yang diucapkan pemerintah. Janji manis yang di ucapkan selama ini tidak sesuai realita. Hal itu justru jadi boomerang bagi pemerintah dan juga BP Batam. Padahal di masa pemilihan walikota sebelumnya, suara Muhammad Rudi yang jadi Walikota sekaligus Kepala BP Batam sekarang selalu menang di kawasan Rempang. Semua niat baik pemerintah seusai konflik berkecamuk seakan tipu muslihat belaka dari pemerintah untuk bisa mendapatkan lahan mereka. Bergeser pada sisi konflik horizontal, warga justru saling bergesakan. Tatanan kekeluargaan yang telah mereka rajut dan rawat selama bertahun-tahun menjadi rusak.
Berdayanya masyarakat tentu menjadi tonggak penting untuk mempertahankan hak-haknya. Masyarakat patut mengetahui secara menyeluruh apa yang akan dibangun di kampungnya. Dengan itu mereka bisa mempunyai alasan yang tepat untuk menentukan apakah menerima proyek Rempang Eco City atau tidak.
Perjuangan yang selama Ini digaungkan oleh masyarakat rempang harus terus ada dan pantang padam. Kunci perjuangan ada pada warga itu sendiri. penolakan yang dilakukan warga didasari fakta bahwa mekanisme awal pembangunan banyak menyalahi aturan seperti: amdal yang belum tersusun, temuan Ombudsman bahwa BP Batam melakukan maladministrasi, dan pelanggaran HAM secara terang-terangan. Fakta itu harusnya menjadikan pertimbangan ulang bahkan pencabutan izin proyek PSN Rempang Eco City.
Masyarakat rempang sama sekali tidak anti dengan pembangunan apabila bertujuan untuk kemaslahatan bersama. Tapi pada faktanya, mekanisme pembangunan banyak yang bermasalah. Hal itu berpotensi mengahapus sumber mata pencaharian mereka.
Berdasarkan hal tersebut, pengkajian ulang pembangunan PSN Rempang Eco City harus melibatkan masyarakat secara langsung. Pemerintah juga harus menghentikan tipu muslihat iming-iming kepada warga untuk dapat melepaskan lahan warga. Pemerintah harus mengedepankan nasib warga yang terdampak proses pembebasan lahan terkait hilangnya sumber mata pencaharian mereka. (*)
Editor: Kukuh Basuki