Saya yang pernah berkecimpung di pers mahasiswa (persma) meyakini bahwa pengorganisasian gerakan sosial yang melibatkan berbagai lapisan masyarakat sipil adalah penting. Namun, sebelum mencapai pembentukan gerakan watchdog pemerintah yang solid dan berkelanjutan, alangkah baiknya jika pengorganisasian pergerakan saat ini membenahi beberapa hal terlebih dahulu. Termasuk di dalamnya adalah eksklusivitas dalam gerakan yang melanggengkan gaya maskulinitas ala abang-abangan revolusi 1998.
Melihat situasi ini, saya mengajukan sebuah preposisi: sebelum kita bisa meluncur menuju gerakan masyarakat sipil yang solid, progresif, dan berkepanjangan, sebaiknya gerakan yang saat ini mulai terbentuk mengalami metamorfosis menjadi lebih inklusif dan dapat mengakomodasi diversitas identitas masyarakat sipil di Indonesia.
Inklusivitas ini dapat dimulai dengan melibatkan teman-teman perempuan untuk mengurangi watak maskulin abang-abangan gerakan kita saat ini. Ketika saya masih aktif di persma fakultas, banyak rekan laki-laki dari sesama persma atau organisasi kemahasiswaan lain mengeluhkan bahwa teman-teman perempuan enggan bergerak saat ada demo. Namun, sayangnya, teman-teman yang sama juga kadang melakukan konsolidasi atau rapat hingga malam. Ini bisa menjadi masalah, karena tidak semua perempuan nyaman pulang malam karena risiko kejahatan atau pelecehan seksual. Beberapa yang masih tinggal di lingkungan konservatif juga sering distigmatisasi sebagai “perempuan malam/perempuan tidak benar.”
Lebih jauh, turun ke jalan saat demo juga menimbulkan kerentanan lebih bagi perempuan. Mereka bisa menjadi target cat-calling dari masyarakat, sasaran pelecehan verbal atau kekerasan seksual, bahkan pemerkosaan oleh aparat. Dalam aksi Peringatan Darurat di Jakarta pada tanggal 23 Agustus kemarin, beberapa massa aksi perempuan menyatakan lewat akun @aetherdepokk di X bahwa mereka telah dilecehkan secara fisik maupun non-fisik oleh aparat, termasuk kata-kata merendahkan dan sentuhan tanpa consent.
Risiko-risiko ini belum mencakup kekerasan seksual atau kekerasan berbasis gender dalam gerakan itu sendiri. Gerakan yang cenderung “abang-abangan” sering kali menormalisasi bercandaan seksis dalam forum. Kata-kata protes yang dilayangkan juga kadang bernada misoginis. Dalam beberapa kasus, pemimpin gerakan menjadi pelaku utama kekerasan seksual seperti pada kasus Syarif Maulana—yang dekat dengan lembaga seperti Indoprogress, Logos, dan Social Movement Institute—atau Melki Sedek Huang—Ketua BEM UI.
Selain isu inklusivitas gender, pergerakan juga harus memperhatikan inklusivitas untuk teman-teman difabel, baik yang terlihat (seen) maupun yang tidak terlihat (unseen). Aksi seperti march cenderung sulit diikuti teman-teman tunadaksa karena memerlukan mobilitas di tengah kerumunan massa. Teman-teman difabel lainnya juga memerlukan penjagaan dan solidaritas agar tidak menjadi sasaran aparat karena dianggap lebih “lemah” atau “tidak normal”.
Di sisi lain, inklusivitas juga bisa dimulai dari hal-hal kecil seperti menciptakan ruang publik dalam gerakan yang bebas dari asap rokok. Rokok sering kali hadir dalam ruang diskusi, konsolidasi, maupun aksi. Ini mungkin terkait dengan bagaimana masyarakat patriarki menganggap merokok sebagai bagian dari maskulinitas—yang merupakan unsur penting dari keikutsertaan seseorang dalam gerakan, sebelum adanya suara perempuan yang menolak tunduk pada gerakan tunggal yang maskulin.
Apa pun penyebabnya, rokok bisa dianggap sebagai kawan revolusi yang seharusnya mulai dikurangi penggunaannya saat gerakan berhimpun. Selain menambah jumlah perokok aktif dan pasif yang dapat menyebabkan berbagai penyakit, banyaknya asap rokok juga mengurangi daya tarik gerakan bagi orang-orang yang belum terlibat dalam lingkungan gerakan atau serikat. Jika hipotesis ini tidak umum dirasakan pembaca, bagi saya dan beberapa rekan—baik perempuan maupun laki-laki yang tidak merokok—masalah asap rokok dalam pertemuan gerakan merupakan isu penting yang harus dievaluasi untuk keberlanjutan gerakan itu sendiri.
Kesadaran Politik Masyarakat
Kita harus menyadari bahwa tidak semua orang dapat langsung berpikir kritis untuk konsolidasi jangka panjang dalam membangun gerakan yang solid. Bagi sebagian orang, bahkan merajuk dan menuntut pada saat-saat seperti gerakan menolak perubahan putusan Mahakmah Konstitusi kemarin memerlukan keberanian ekstra. Mereka mungkin menghadapi risiko dicemooh oleh keluarga atau teman yang mendukung kubu lawan. Bahkan beberapa netizen mengolok-olok mereka yang bersuara tapi memilih paslon yang mendukung kartel Jokowi dan oligarki dalam Pilpres kemarin. Lihat saja? Merajuk pun memerlukan usaha di negara ini.
Selain itu, banyak dari kita mungkin baru saja menyadari pentingnya pergerakan politik. Tidak semua dari kita dibesarkan dengan kesadaran demokrasi. Mayoritas tumbuh dalam ekosistem pasca-reformasi yang, meskipun membuka ruang publik untuk berpolitik sedikit lebih lebar, tetap mempertahankan narasi-narasi kuno Orde Baru yang menganggap “politik itu kotor”, “politik itu tidak mempengaruhi kita”, atau “ujung-ujungnya cari makan sendiri”. Akan lebih produktif jika kita melihat aksi masif kemarin sebagai bagian dari pemantik awal pergerakan yang ideal, daripada melihatnya sebagai oksimoron yang justru memperburuk kemuakan rakyat dan netizen terhadap gerakan yang sudah dilabeli gerakan “kiri” (kata-kata netizen, bukan saya) yang dianggap hanya sebagai hobi “coli intelektual” tanpa “napak tanah”.
Berbenah Bersama
Sebelum menutup tulisan ini, saya ingin menekankan bahwa fokus tulisan ini bukanlah untuk menolak kebutuhan akan pengorganisasian gerakan yang solid dan berkelanjutan. Sebaliknya, tulisan ini lebih tepat disebut sebagai dukungan bersyarat. Jika pergerakan rakyat tetap diorganisasi seperti sekarang ini, sebagian akan merasa perlu mengikuti dan melanggengkan citra massa yang selama ini mendominasi pergerakan: fit, able, dan hyper-masculine—sementara sebagian lainnya lebih memilih untuk menjauh atau melawan secara sporadis, atau bahkan kemungkinan terburuk, menjadi tidak terlibat sama sekali.
Maka dari itu, ada baiknya jika pihak-pihak yang telah terlibat aktif dalam gerakan mulai mencoba untuk mengevaluasi cara pengorganisasian yang selama ini dilakukan dan mencoba membuat gerakan menjadi lebih inklusif. Di satu sisi, ini dapat berarti bertambahnya agenda pergerakan, namun di sisi lain, usaha-usaha untuk mewujudkan inklusivitas gerakan dapat mengakomodasi lebih banyak kepentingan serta massa yang dibutuhkan dalam pengorganisasian gerakan yang menyatu, matang, dan berkepanjangan.
Pada akhirnya, tulisan ini ditulis karena sebagai perempuan penyandang autoimun yang tak bisa berlama-lama tersengat matahari dan mudah flare, saya ingin bisa menaruh pengharapan pada gerakan masyarakat sipil kita untuk bersama-sama menumbangkan sistem yang represif. Dalam mencapai tujuan itu, tentu dibutuhkan upaya-upaya perbaikan sehingga gerakan masyarakat di masa depan tak hanya progresif dan berkepanjangan, namun juga bisa menjadi ruang aman bagi berbagai identitas yang termarjinalkan oleh budaya, sistem, dan penguasa.