Di Sabana
sejuk sepinya berkelana
ke rimba paling jauh
yang senantiasa bernama kemarin
dan masa lalu
orang-orang menginjak pecahan gelas kaca
daun-daun ranggas yang basah
dan hujan masih rinai seperti biasa
di sini, sabana tergelar dalam bisu, kasih
ruang diam hijau berawan
kepak suara angin dan siul burung-burung kecil
bersama pohonan puspawarna berlumut tua
sekali waktu bisa jadi meranum
membiru
barangkali tersipu malu
benang-benang cahaya berkeretap bening
keemas-emasan
terkadang semburat seperti
derai-derai yang hadir di waktu pagi
sedang girang-girangnya
sewaktu usia
sedang dingin-dinginnya
dan batin
sedang sejuk-sejuknya
pada titik kerdil dari hamparan sejarah
tepat di saat itu
juga pada sebintik peta dari kekosongan tak terbatas
di jagat purwacaraka hingga mayapada
tiada lagi celah bagi kata-kata
doa-doa pun karam
pintu sorga lapuk
dikerubuti kelam
lalu neraka pun ikut remuk redam
namun kebisuan semesta rinduku padamu
tetap enggan padam.
(Sabana Buthak – Malang, 2020)
_
Mengusik Braga
kepada rembulan
aku menawar tajam usia
keluyuran menanggung miris
di jalanan Braga
kesenjangan sosial kian jelas
seperti kue lapis
dentum bass dan musik di kafe artifisial
pemuja setan meraung-raung
pak-bu tua yang rikuh dan lapar
berselimut sarung
redup binar mataku menusuk langit
adakah yang lebih sengit selain
perpaduan dua kontras
tanpa sekat pemisah
(Braga, 2016)
_
Kecuali untuk Kau Kenang
: jejak kebucinan yang bikin geli
kecuali kau renggut nafasku
dendam rinduku takkan pernah padam
oleh hatimu yang beku
kecuali kau siramkan neraka padaku
maut takkan pernah kuperhitungkan
selama perasaanmu padaku
masih betah membisu
kecuali ragaku kau betot sampai pedot
sekujur tubuhku masih akan khusyuk
menampung derai-derai air matamu
kecuali sang waktu membikin sendi-sendi sukmaku remuk
kau takkan usai kupeluk
sampai jagat semesta menjadi lapuk
dan ruang-ruang dingin nan sepi semakin terpuruk
dan jika kau bertanya kapan aku berhenti
kujawab:
kecuali untuk kau kenang
aku takkan pernah menghilang…
(G. Penanggungan, 2020)
_
Tarian Kematian
semesta berdansa
cakrawala menyusut
bintang-bintang menari
menuju mati
: satu penyatuan yang
menghancurkan segala belum
menjadi sudah
dan kelak hanya akan terkenang
sebagai pernah
sementara waktu sibuk merenda sunyi
merapal angan-angan manusia
agar mengutuh kembali
dan disidang secara jamaah
tapi bukan tentang siapa yang benar dan
siapa yang salah
melainkan siapa yang berguna dan siapa yang tak terlena
(Yogya, 2020)
_
Aku Masih Bisa Hidup Berkali-kali Lagi
belum waktuku terbaring di sini
aku masih siap mendekap sepi
dan kelak meranum
gugur perlahan-lahan
bersama tanah
menjadi pupuk bagi
semak belukar di
kosongnya rimba harimu
: tempat kau menyesapi hidup
yang penuh kabut
belum waktuku terdampar di sini
mataku masih awas dan nanar
mengeja namamu
dan baru akan tanggal nanti
saat kau pergi
membawa bunga kenanga dan kenangan
sewaktu kau ziarahi jejak-jejak tulisanku
yang kusurahkan untukmu
belum waktuku terbunuh sepi
aku masih bisa hidup berkali-kali lagi
menjadi embun bagi semak belukar di kosongnya
rimba harimu
: tempat kau meratap sedih
terduduk bisu di makam puisiku
—satu-satunya doa yang paling jujur dan murni
dari bisik hatiku
untukmu
Aku masih bisa hidup
berulang-ulang kali
sampai kematian dan kehidupan pecah
menyatukan segala belum, sedang, dan sudah
menjadi abadi
(G. Andong, 2020)
*****
Editor: Moch Aldy MA