Kamis Tiba di Jakarta
Kereta berhenti dan ratusan wajah kantuk
mulai mengangguk. Pertanda lelah perjalanan telah usai, lalu berganti dengan lelah lain yang akan segera dimulai.
Pada sebuah Jakarta, yang uangnya
menggumpal; yang kesepiannya menyumpal;
yang jalannya membuatmu kesal.
Orang-orang turun dari kereta,
menginjakkan kaki di ibu kota
yang sebentar lagi akan purna
tugasnya. Karena ibu kota baru akan
dibangun dari kecamuk
isi kepala mereka yang
masih mengantuk.
Oh, ini ternyata rupa
Jakarta—yang masih
dan tak kunjung
pernah.
–
Jumat di Jakarta
Orang-orang mulai bertobat
khidmat dan hening mendengarkan
khotbah Jumat, di suatu masjid yang
megah.
Ada yang mendengkur, ada yang tersungkur—isi
kepalanya. Sebab bukan khotbah yang ia dengarkan,
tapi cicilan dan susu anaknya yang sedari malam
menangis tak karuan. Mampuslah ia.
Sholat Jumat selesai, perjudian kembali dimulai.
Mereka bertaruh nyawa untuk makan dan tidur
yang sepi dan dingin dilibas oleh pengapnya
Jakarta.
–
Sabtu di Jakarta
Pertemuan adalah kabar. Pertemuan
adalah peringatan. Ujar seorang kawan
yang kiwari menetap mantap di sini,
di Jakarta.
Ia mengabarkan, betapa berlubangnya dirinya
yang telah mapan sejak dalam pikiran. Ia tak mampu lagi
menahan gemerlap cahaya paha wanita
yang merdu dengan lentik jarinya mengirimi
pesan:
“Puncak yuk, Bang…”
Habislah ia. Tak ada filsafat
di atas ranjangnya. Tak ada lagi
keheningan Malioboro di balik
deru napas dan desah. Tak ada
Tuhan dalam kental ludah
yang saling bertukar.
Begitulah Jakarta, ujarnya.
Ia mengingatkan, di sini cinta
hanya omong kosong. Ibarat sebuah
pucuk layu merindu hujan di padang ilalang
yang gersang, kesetiaan adalah janji caleg
lima tahunan, janji gubernur lima tahunan;
Yang nyatanya Jakarta masih saja banjir.
Beginilah Jakarta, ujarnya.
–
Minggu Meninggalkan Jakarta
Sebelum aku meninggalkan Jakarta,
hari terakhir ini kupasrahkan diriku
dijilat habis oleh kesunyi-senyapan
Jakarta.
Yang berisik adalah telingaku
yang mendengarnya. Padahal, bisa
saja aku tak mendengar, lalu dengan gahar
menampar siapa saja yang berkelakar.
Tapi omong kosong.
Aku lebih melihat kesepian daripada keberisikan.
Aku mendengar kesunyian itu bersenyawa
melalui kaki-kaki anak kecil yang bermain sepak bola
di sebuah taman kota, yang bercampur dengan perjudian nasib,
pergulatan emosi, serta orang tua mereka
yang banting tulang untuk meja makan
mereka yang paling sempurna—meski hanya
berlauk tempe dan sedikit airmata
sebagai penyedap rasa.
Tapi itulah Jakarta.
Manis dan asin.
Kaya dan miskin.
Sepi dan berisik
pada detak yang
terus berdetik.
Selamat tinggal,
Jakarta.
–
Kembali dari Jakarta
Sekembalinya dari Jakarta, aku kembali
pulang pada –karta yang lain, yang liyan,
dan yang mulai usang.
Yogya-karta.
Di sini adalah rahim punggawa-punggawa seni dan kebudayaan tanah air ini—katanya.
Kusebut-sebut, kurebut-rebut,
hanya risau yang kudapat.
Betapa melelahkannya hidup
berkalungkan kecemasan, yang
hari demi hari kau tumpuk, yang
kian hari terus kau pupuk.
Duar…!
Kecemasan itu meledak, meniadakan puisi
dari kata-kata. Kau telah melakukan
perjalanan dari –karta ke –karta
yang melelahkan dan tiada melepaskanmu
dari kesepian.
Ingatlah! Pertemuanmu dengan sesiapa
tak akan pernah menolongmu
dari kekosonganmu
yang melompong.
(Jakarta-Yogyakarta, 2023)
–
Sebuah Pertanyaan Getir di Malioboro
Jalan Malioboro tampak lengang
ia melihat kekecewaan bekerja
semestinya.
Sepasang kekasih bertengkar hebat,
seorang perempuan sesenggukan
sambil bertanya:
“Apakah keperawanan masih ada harganya?”
(Tugu-Malioboro, 2023)
*****
Editor: Moch Aldy MA